Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Restu dari Altar Kardinal

Uskup Agung Manila, Gaudencio Rosales, kembali menunjukkan peran Gereja Katolik dalam politik Filipina seperti yang telah ditanamkan pendahulunya, Kardinal Jaime Sin.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah keteduhan atap Katedral San Agustin yang bergaya barok, kelima kandidat presiden itu bergandeng tangan. Bibir mereka bergerak seirama, membisikkan ujud doa dalam perayaan Ekaristi Suci di hadapan Uskup Agung Manila, Gaudencio Borbon Rosales: "Berilah kami kerendahan hati untuk menerima apa pun hasil pemilu, termasuk kekalahan. Untuk kemenangan yang bukan hakku, adalah kehendak-Mu."

Tapi doa permohonan di altar San Agustin Minggu pekan lalu itu, persis sehari sebelum pemilu Filipina digelar, seolah tak mampu menyejukkan hawa gerah persaingan di antara mereka. Di depan 800-an jemaat gereja, kelima kandidat—Edward Villanueva, Raul Roco, Fernando Poe Junior, Panfilo Lacson, dan Presiden Gloria Macapagal Arroyo—memang berusaha keras duduk manis. Toh, mata jemaat tak bisa ditipu. Arroyo terlihat begitu tersiksa duduk di sebelah Lacson. Mati-matian ia berusaha menghindari kontak mata. Arroyo pasti tak bisa lupa, Lacson-lah yang saat berkampanye gencar menuding suaminya korup.

"Memang ada semacam atmosfer kebencian di sana," ujar Arroyo belakangan. Bahkan, sebelum masuk gereja, perang dingin sudah merebak. Begitu turun dari mobilnya, Villanueva, yang datang terlambat, langsung menggerutu. Ia menyalahkan pengawal kepresidenan yang memblokir jalan sehingga mobilnya terpaksa minggir, memberi kesempatan Arroyo melintas.

Ini memang bukan pertemuan sukarela. Demi menghormati pihak pengundang, yaitu mantan presiden Corazon Aquino dan Uskup Agung Rosales, mereka bersedia datang. Dan mana berani mereka mangkir datang jika itu sama artinya dengan bakal kehilangan restu Kardinal Rosales, yang amat penting untuk melempangkan jalan ke Istana Malacanang.

Sejarah Filipina telah membuktikan, restu penguasa tertinggi Gereja Katolik Filipina—yang dibawahkan seorang uskup agung atau kardinal—adalah setengah jalan menuju kursi presiden. Meskipun konstitusi Filipina melarang gereja dan kekuatan politik saling bersentuhan, kenyataan berbicara lain. Adalah kardinal legendaris Jaime Lachica Sin, pendahulu Rosales sebelumnya, yang mengawinkan keduanya.

Dunia masih mengingat bagaimana tahun 1986 Kardinal Sin menarik picu revolusi people power, yaitu ketika jutaan orang turun ke jalan-jalan di Manila untuk menggulingkan Marcos. Sang diktator akhirnya terguling dan Sin "membaptis" Corazon Aquino menjadi presiden.

Ketika people power 2 bergemuruh di jalanan Manila, Sin kembali menyokongnya dengan gerakan seribu SMS, sebuah aksi memaksa mundur Presiden Joseph Estrada yang korup. Cukup dengan kalimat pendek, "Estrada telah kehilangan moral kekuasaan pemerintahannya", jutaan rakyat bergerak dan Estrada tumbang. Lalu, lagi-lagi Sin melempangkan jalan Arroyo menjadi Presiden Filipina.

Bahkan Fidel Ramos yang Protestan pun harus mengakui kekuatan "restu dari langit" melalui tangan Jaime Sin untuk menaiki kursi presiden. Restu Gereja Katolik memang jadi incaran siapa pun yang ingin memimpin Filipina. Sin telah pensiun sejak September tahun lalu, digantikan Gaudencio Borbon Rosales. Dan Rosales bukanlah Sin.

Meski mewarisi semangat nasionalis dan religius pendahulunya, karismanya masih akan diuji. Apalagi, ia dikenal sudah menolak mencampuri politik dari jauh-jauh hari. "Tugas saya adalah meneguhkan kerajaan Tuhan di atas bumi Filipina," ujar Rosales di saat pengurapannya sebagai kardinal baru Filipina. "Untuk itu, saya akan memisahkan diri sepenuhnya dari politik," ia menambahkan. Tapi, Rosales agaknya tak bisa menepis dunia politik yang telah puluhan tahun meliliti Gereja Katolik Filipina.

Debut pertamanya ia lalui pada pekan silam: Yang Mulia turun tangan untuk mendamaikan perseteruan para kandidat presiden di Katedral San Agustin. Hasilnya? Ternyata bukan cuma kerajaan Tuhan yang sulit diteguhkan, mengatur "kerajaan manusia" pun bukan kepalang rumitnya: hanya sehari setelah ia mengumpulkan para kandidat dalam katedral, belasan orang kembali meregang nyawa setelah bom mengoyak kawasan selatan Filipina.

Endah W.S. (Phil Star, Sun Star, Manila Bulletin, AP, Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus