Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suara Hilang, Pistol Bicara

Main curang dalam pemilu Filipina merentang dari Istana Malacanang hingga kawasan pedesaan. Kemiskinan dan hukum yang lemah menyuburkan praktek tersebut.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Miniong Mentebon mencabut sepucuk pistol kaliber 45. Senjata itu ia tempelkan ke jidat seseorang di hadapannya sembari menghardik: "Jangan curang, atau otakmu saya pisahkan dari batok kepala." Ini bukan adegan sinetron, bukan pula teror dalam penyanderaan. Ini bagian dari perhelatan pemilu di Filipina, yang berlangsung Senin pekan silam. Miniong adalah kandidat di Dewan Perwakilan Basilan, tempat kelompok Abu Sayyaf bermarkas. Yang dia ancam adalah petugas penghitungan suara tak resmi di daerah tersebut.

Kenekatan Miniong Mentebon hanya satu contoh betapa kecurangan pemilu sudah sampai memancing kekerasan secara terang-terangan di Filipina. Sejak pemilu dilangsungkan, setidaknya 20 orang sudah kehilangan nyawa. Sebagian besar korban adalah pekerja kampanye di Manila maupun di daerah-daerah lain.

Ironisnya, pemerintah menyatakan pemilu aman-aman saja. Sementara itu, angka kematian sejak masa kampanye Desember silam hingga seusai pemilu telah menohok angka 100 orang, dan 150 orang luka berat. Sebagai pembanding, 98 orang tewas saat pemilihan anggota kongres pada 2001.

Saling jegal, main curang ataupun sogok dalam berbagai bentuk, serta kerusuhan merupakan laporan panas di media massa dalam pemilu kali ini. Kubu Fernando Poe Junior, misalnya, menuduh Presiden Gloria Macapagal-Arroyo menggunakan dana publik untuk memoles citranya. Politisi lain menebar berkarung-karung beras dan uang ke puluhan juta pemilih. Seorang kandidat presiden mengaku menyewa helikopter guna menerbangkan kardus yang sarat berisi uang untuk ditebar wilayah terpencil.

Banyak pemilih mengeluhkan nama mereka yang raib dari daftar pemilih. Tak berbeda jauh dengan pemilu di Indonesia, di kawasan-kawasan terpencil perangkat pemilu terlambat dikirim atau tidak sama sekali. Pengawas pemilu independen, NAMFREL, menyatakan daftar registrasi yang tak lengkap menyebabkan dua juta orang kehilangan hak pilih. "Rakyat marah, frustrasi, dan bingung," ujar Guillermo Luz, Direktur Eksekutif NAMFREL.

Pola-pola kecurangan dilakukan dengan beberapa cara. Umpama, mengakali daftar pemilih. Nama fiktif atau nama orang yang sudah mati "dihidupkan" kembali. Praktek ini berhasil melejitkan jumlah pemilih sebanyak 30 persen. Biasanya, kandidat menyuap petugas pemilu untuk menambah nama palsu seusai pencoblosan. Cara lain adalah memunculkan kandidat yang punya nama belakang sama dengan kandidat lawan. Tujuannya, agar pemilih bingung karena ada dua nama yang sama di kertas suara.

Kecurangan yang paling populer adalah pembelian suara. Sejumlah politisi mengeluarkan sogokan US$ 100 (sekitar Rp 860 ribu) per suara. Jumlah ini setara dengan biaya hidup dua bulan bagi keluarga miskin. Jika membeli suara terlalu mahal, penghitung suaralah yang disuap.

Bagaimana jika gagal menyodok? Putuskan saja aliran listrik setelah pencoblosan berakhir. Praktek ini berlangsung hampir di semua TPS. Biasanya diikuti dengan pencurian kotak suara.

Pada Selasa malam pekan lalu, misalnya, 15 orang menyerang kantor kota praja di Isabela, membakar kantor Komisi Pemilihan Umum (Comelec) setempat, dan merampas enam kotak suara. Dua jam kemudian, di Kota Jones, 16 orang menyerang tempat pemeriksaan suara dan membakar hasil penghitungan suara.

Upaya terakhir adalah membunuh lawan politik. "Nyawa amat murah di Filipina," kata Ronald Llamas, Wakil Ketua Institute for Politics and Governance. Cukup dengan 5.000 peso (sekitar Rp 750 ribu), politisi dapat menyewa pembunuh untuk menghabisi saingannya. Dan fenomena main curang ini bukan baru terjadi sekarang.

Pada 1986, saat Ferdinand Marcos berkuasa, kecurangan pemilu juga terjadi secara masif. People power memang berhasil menyingkirkan Marcos, tapi permainan kotor tak terkubur bersama runtuhnya sang Diktator. "Parah banget. Anda tak tahu harus tertawa atau menangis," kata Djorina Velasco, peneliti di The Institute for Popular Democracy. Dan entah bagaimana mesti mencegahnya. Sebab, pemilu di Filipina adalah musim panen duit bagi puluhan juta rakyat miskin. Dengan senang hati, mereka melego suara untuk segepok peso.

Raihul Fadjri (ABS-CBN News, S.F. Chronicle, The Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus