Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah negeri bernama Chechnya, ramalan bisa berumur pendek saja. Sembilan hari. Cuma sembilan hari. Setidaknya itulah yang terjadi pada Presiden Chechnya Ahmad Kadyrov, yang mati dibunuh pekan silam. ”Tak seorang pun yang hidup abadi,” kata Ahmad Kadyrov ketika ditanya wartawan di taman rumahnya yang penuh bunga di Tsentoroi, 50 kilometer dari Ibu Kota Grozny. ”Karena itu, saya siap mati kapan saja,” ujarnya. Kadyrov mengaku tak gentar walaupun pejuang muslim Chechnya menempatkan namanya di urutan pertama orang yang harus dibunuh karena sikap politiknya. Sembilan hari kemudian bom fougasse dari teroris meledakkan tempat duduknya dan mengakhiri kefanaannya. Kadyrov te-was di tempat.
Perayaan kemenangan Rusia atas Nazi Jerman di Stadion Dinamo di Grozny, yang dihadiri sang presiden, berubah menjadi hari berkabung nasional. Perdana Menteri Sergei Abramov lalu naik menjadi presiden sementara. Kendati menurut konstitusi Chechnya presiden yang baru seharusnya dipilih bulan depan, sulit mencari figur lain yang setia kepada Kremlin.
Kadyrov, 52 tahun, adalah pejabat tertinggi Chechnya yang tewas dalam konflik bersenjata yang sudah berumur lebih dari 200 tahun. Konflik itu terus berkobar antara Chechen—sebutan untuk orang Chechnya, yang mayoritas Islam dan ingin merdeka—dan Rusia, negeri patronnya yang belakangan menjadi komunis.
Sejak Syekh Mansur menghancurkan balatentara Kekaisaran Rusia pada akhir abad ke-18, politikus Kremlin selalu meragukan loyalitas Chechen kepada Rusia Raya. Saat Joseph Stalin berkuasa di Uni Soviet, semua orang Chechnya diasingkan ke Asia Tengah karena takut mereka memberontak. Saat Soviet runtuh pada 1989, Chechnya—seperti beberapa provinsi Rusia di kawasan Pegunungan Kaukasus—memerdekakan diri.
Presiden Rusia Boris Yeltsin, yang tak rela melepas daerah yang kaya minyak bumi itu, mengirim serdadunya. Pada saat yang sama Kadyrov sudah menjadi mufti, pemimpin spiritual bagi para pejuang muslim. Dalam perang yang melelahkan selama lima tahun itu, Rusia menarik mundur pasukannya dan negeri di utara Pegunungan Kaukasus itu kembali berdaulat. Tapi, ketika pejuang muslim Chechen mencaplok negeri tetangganya Dagestan, Rusia kembali menyerang dan menguasainya sampai hari ini.
Di tengah kobaran perang kedua itulah Kadyrov memilih berjabat tangan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan menerima tawaran menjadi Presiden Chechnya dalam Federasi Rusia. Padahal Rusia sudah menginjak-injak kedaulatan Chechnya dan menggulingkan Presiden Ashlan Maskadov, yang menentang Moskow. Yang kian membuat masygul para pejuang, Kadyrov mulai memerangi kaum pemberontak yang tak lain kawan-kawannya sendiri.
Di pihak Rusia, Kadyrov adalah sekutu yang setia dan mampu meredam pemberontakan. Putin berharap, kalaupun terjadi perang lagi, itu adalah perang saudara sesama muslim. Maka Rusia pun siap menyokong Kadyrov dengan uang dan peralatan militer.
Tetapi presiden boneka itu rupanya tak menyukai orang-orang yang lebih kuat di sekitarnya. Itu sebabnya tak pernah terjadi pergantian dalam tongkat komando militer dan pemerintahan di Chechnya selama ia berkuasa. Harapan Rusia akan sebuah ”perang saudara sesama muslim” pun tak kunjung kesampaian.
Pola Kadyrov memperkuat diri adalah menempatkan anggota keluarga besarnya di seputar lingkaran kekuasaannya, termasuk anaknya sendiri, Ramzan Kadyrov. Ketika Putin menerima Ramzan di ruang kerjanya pekan lalu, rumor berembus kencang bahwa ia akan menggantikan ayahnya. Tetapi memberikan jabatan presiden kepadanya dinilai berisiko tinggi. Ia bisa mengobarkan perang balas dendam sehingga negeri itu kembali banjir darah.
Moskow sendiri telah kebagian darah serta petaka lain sejak Grozny diambil alih Moskow pada Februari 2000. Masih ingat 700 warga Moskow yang dicomot dan dijadikan sandera oleh para pemberontak Chechen pada Oktober 2002 dari sebuah teater di Moskow? Sekitar 100 sandera akhirnya tewas. Dua bulan kemudian bom meledak di Grozny, memetik 80 nyawa. Kemudian satu bom bunuh diri dalam konser musik rock di Moskow pada pertengahan 2003. Lalu kini Ahmad Kadyrov sudah rata dengan tanah.
Maka, majelis rendah parlemen Rusia, Duma, pun menolak nama Ramzan Kadyrov yang dicoba-coba disodorkan untuk menggantikan ayahnya. Tapi Ramzan tak bisa diabaikan, karena ia punya kadyrovtsi, prajurit yang loyal kepada Kadyrov. Kekuatan mereka sekitar tiga ribu orang atau tiga batalion. Maka Putin memberinya jabatan deputi pertama perdana menteri, dengan tugas utama menjaga keamanan pemerintah.
Seperti ditulis dalam kolom di gerai Internet Radio Free Europe, kematian Kadyrov memberi Putin tiga pilihan untuk masa depan Chechnya. Pertama, ia mau menerima utusan khusus Komisi Eropa untuk menyelenggarakan pemilu. Kedua, Rusia membantu Ramzan menggempur habis-habisan para pejuang muslim Chechen. Ketiga, membagi kekuasaan antara keluarga Kadyrov dan para pejuang. Saran terakhir ini paling sulit, karena Ramzan sudah bertekad berperang melawan Aslan Maskhadov dan Shamil Basayev—dua pemimpin di kubu pejuang Chechen—yang dituduhnya mendalangi pembunuhan ayahnya.
Sampai pekan lalu Putin belum memutuskan langkahnya. Lagi pula, Chechnya memang tak menawarkan banyak pilihan bagi Moskow. Bahkan seorang penulis kolom bisa meramalkan masa depan negeri itu ketika menuliskan kematian Ahmad Kadyrov: Chechnya bisa kembali berdarah. Atau memulai perdamaian.
I G.G. Maha Adi (Reuters, Itar Tass, Al-Jazeera)
Seorang Mufti Berbaju Kremlin
Haji Ahmad Kadyrov tak mungkin hadir di stadion Moskow menyaksikan klub sepak bola Terek Grozny miliknya bertarung dalam final Rusia Cup nanti. Bom teroris sudah mengakhiri hidup Presiden Chechnya itu, pekan silam. Kematiannya memusingkan Moskow karena kehilangan seorang kaki tangan yang setia. Pilihan Kadyrov bersetia kepada Moskow adalah titik balik yang mencengangkan teman-teman seperjuangannya di masa bergerilya melawan tentara Federasi Rusia.
Kadyrov lahir 23 Agustus 1951 di Desa Tsentoroi, Kazakhstan, dari ayah seorang ulama. Berasal dari klan Benoi (ini marga terbesar di daerah asalnya), di masa kanak-kanaknya ia turut merasakan pahitnya hukuman yang diberikan Moskow kepada Chechnya dalam Perang Dunia II. Jauh di tahun 1944, ketika Stalin berkuasa, keluarga-keluarga Chechnya yang dianggap membantu Jerman (saat Jerman berperang melawan Rusia) dibuang ke padang-padang rumput Kazakhstan.
Bersama Dzhokhar Dudayev—teman masa kanak-kanak Kadyrov yang di kemudian hari menjadi pemimpin gerakan pembebasan Chechnya—Kadyrov mencecap beratnya hidup di padang yang membeku dalam musim dingin. Maka, tumbuhlah Kadyrov sebagai pejuang militan melawan tekanan Rusia. Kadyrov bahkan menyerukan jihad di masa itu.
Namun, Moskow menundukkan Kadyrov dengan takhta. Dia diberi jabatan Presiden Chechnya oleh Putin pada Februari 2000. Sejak itu, bekas pejuang kemerdekaan ini menjadi lunak seperti agar-agar dalam menerapkan kemauan Kremlin. Kerap tampil dalam topi wol, dikelilingi sekumpulan penasihat militer Rusia, Kadyrov tampil lebih mirip politisi Kremlin ketimbang orang Chechen.
Kadyrov menyelesaikan pendidikan menengahnya di Bukhara sebelum masuk jurusan studi Islam di Institut Islam di Tashkent, Uzbekistan. Tahun 1989, ia mendirikan Universitas Islam di Kota Kurchaloi, sekolah Islam pertama di kawasan utara Pegunungan Kaukasus. Setahun kemudian, ia bergabung dengan Sekolah Tinggi Shari’ah di Universitas Yordania. Tapi, cuma betah setahun, ia kembali ke Chechnya setelah runtuhnya Uni Soviet.
Dua tahun kemudian, Kadyrov diangkat sebagai anggota majelis agama (muftiyat) Chechen dan deputi mufti, pemimpin spiritual kaum muslim. Saat itu Dzhokhar Dudayev mulai mengobarkan perang terhadap Rusia, dan Kadyrov ikut masuk hutan dan bahu-membahu dengan sesama pejuang Chechen.
Perpecahan terjadi ketika ia memproklamasikan Gudermes dan Kurchaloi sebagai kawasan bebas kaum Wahabi dan mengutuk penyerangan oleh muslim Chechen ke Dagestan. Akibatnya, ia diturunkan dari jabatannya sebagai mufti oleh Presiden Chechnya, Aslan Maskhadov.
Ketika Rusia menggempur Chechnya kedua kalinya pada tahun 1999, ia memelopori penyerahan diri secara damai beberapa provinsi Chechnya. Ia juga membantu operasi anti-teror Rusia di negerinya. Presiden Rusia Vladimir Putin kemudian mengangkat Kadyrov menggantikan Presiden Aslan Maskhadov. Chechnya pun masuk ke Federasi Rusia—keputusan yang membuat Kadyrov dicap pengkhianat.
Tiga tahun masa kepresidenannya, hanya kantor pemerintahan di Ibu Kota Grozny yang dialiri listrik, saluran telepon, dan air bersih. Keberhasilannya cuma satu: menekan pemberontakan. Para aktivis hak asasi manusia mencatat, ribuan orang Chechen hilang tak tentu rimbanya ka rena diciduk tentara Rusia dan milisi pro-Moskow pimpinan Ramzan Kadyrov, salah satu dari empat anaknya.
Toh, tidak semua yang ia tinggalkan menimbulkan amarah dan kertak gigi. Di Kota Gudermes, nama Ahmad Kadyrov dipatrikan di sebuah sasana tinju sebagai tanda hormat.
I G.G. Maha Adi (BBC, Russia Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo