Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang Flamboyan Penentang Nazi

WILLY Brandt terkenal sebagai politikus anti-Nazi. Dia bergabung dengan partai pekerja sejak masih belia dan memulai karier politik dengan menulis di

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
stiftung-exilmuseum.berlin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-MULA Willy- Brandt hanya meluruskan sebuah karangan bunga di depan Monumen Pemberontakan Ghetto, Warsawa, Polandia, pada 7 Desember 1970. Kala itu, belasan pasang mata orang di sekelilingnya, terdiri atas jurnalis dan politikus, memantau setiap geraknya. Kamera mereka siap mengabadikan momen yang terjadi berikutnya. Brandt mundur beberapa langkah, dan setelahnya adalah sejarah. Dengan segera dia berlutut di monumen tersebut sebagai simbol permohonan maaf atas tindakan Nazi pada masa lalu. Hening menyergap sebelum dipecahkan bunyi klik kamera dalam momen yang berlangsung selama 30 detik itu. Kelak, peristiwa tersebut dikenal sebagai Kniefall von Warschau atau Genuflection of Warsaw.

Hubungan Jerman dengan Polandia mengalami titik terkelam dalam sejarah setelah Partai Nazi berkuasa dan Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada 1934. Setelah memerintah, Nazi hendak melebarkan wilayah kekuasaan Jerman dengan mencaplok Austria dan Cekoslovakia pada 1938-1939. Hitler menganggap bangsa Jerman superior. Adapun bangsa Yahudi ia pandang sebagai ancaman terhadap kemurnian ras Arya Jerman. Pemerintah Nazi pun mengusir 30 ribu orang Yahudi lewat program Kristallnacht atau Crystal Night ke Dachau, wilayah di bagian tengah Jerman. Puncaknya adalah serangan Jerman ke Polandia pada 1 September 1939, yang memicu Perang Dunia II. Belakangan, Jerman kalah perang dan situasi politik Eropa pun berubah.

Willy Brandt di depan Monumen Pemberontakan Ghetto, Warsawa, 7 Desember 1970. rarehistoricalphotos.com

Brandt terpilih sebagai Kanselir Jerman pada 1969 melalui koalisi Partai Sosial Demokrat dan Partai Demokrat Bebas. Salah satu misinya adalah memulai rekonsiliasi dengan musuh politik Jerman, terutama negara di kawasan Eropa Timur seperti Polandia dan Rusia (Uni Soviet kala itu). Dia mengawalinya dengan meneken traktat antinuklir dan perjanjian damai. Dengan Polandia, Brandt memudahkan kunjungan warga kedua negara yang tercerai-berai akibat perang. Setahun setelah Kniefall von Warschau, pada 1971, Brandt mendapat Hadiah Nobel Perdamaian. “Saya sering ditanyai, apa ide di balik gestur itu? Tidak ada. Kolega terdekat saya sama terkejutnya dengan jurnalis yang ada di sana,” kata Brandt dalam otobiografinya, My Life in Politics.

Kisah heroisme itulah yang ditonjolkan Museum Willy Brandt Haus di Lübeck, kota kecil di utara Jerman. Lübeck terletak di Schleswig-Holstein, yang berbatasan dengan wilayah selatan Denmark. Lübeck merupakan kota terbesar kedua setelah Kiel, ibu kota negara bagian tersebut. Brandt lahir di kota ini pada 18 Desember 1913 dengan nama Herbert Ernst Karl Frahm. Museum Willy Brandt Haus didirikan pada 1994 oleh Federal Chancellor Willy Brandt Foundation. Organisasi ini juga bertindak sebagai pengelola Forum Willy- Brandt di Berlin.

Saya mengunjungi museum itu pada pertengahan April lalu. Kisah hidup Brandt diceritakan dengan lengkap di museum lewat berbagai macam dokumen, foto, video, hingga rekaman suara. Perjalanan hidup Brandt dikisahkan secara kronologis sejak bocah hingga masa tua dalam enam bagian. Piagam Hadiah Nobel Perdamaian yang diraih Brandt juga dipajang di museum tersebut.

willy-brandt-biography.com

Saat itu Willy Brandt Haus tengah menggelar pameran tentang sejarah Perang Dunia II dan peran politik Willy Brandt sebagai kanselir. Pameran yang diselenggarakan sepanjang 2019 itu menyuguhkan foto-foto kondisi kawasan Lübeck sebelum perang serta kondisi Jerman secara menyeluruh sebelum dan seusai perang dalam bentuk diorama. Ada pula kliping koran dan foto yang menampilkan aktivitas Brandt, terutama saat dia menjadi kanselir.

Willy Brandt alias Herbert Frahm lahir di tengah situasi politik yang tidak menentu pada pengujung 1913 di sebuah kawasan pekerja di Lübeck. Masa kecilnya diwarnai politik kecemasan setelah berakhirnya Perang Dunia I, terjadinya Revolusi November, dan perpecahan Jerman pada tahap awal dimulainya demokrasi di negara tersebut. Sejak remaja, dia menunjukkan minat pada dunia jurnalistik. Frahm, yang kala itu baru 17 tahun, menerbitkan artikel berjudul “Nach der travequelle” di halaman anak-anak koran milik Partai Sosial Demokrat, Lübecker Volksbote. Frahm mengisahkan petualangannya selama beberapa hari ke sebuah tempat di sekitar kota kelahirannya. Karena tulisannya menarik, Frahm diminta pengelola koran mengisi kolom secara reguler.

Frahm muda juga menunjukkan ketertarikan pada dunia pergerakan dan politik. Dia menjadi aktivis buruh dan bergabung dengan partai politik. Pada usia 16 tahun, ia menjadi anggota Partai Sosial Demokrat. Sempat keluar dan bergabung dengan Partai Pekerja Sosialis, ia lalu kembali ke Partai Sosial Demokrat. Dia mengikuti gymnasium—semacam persiapan masuk ke universitas—dan memperoleh ijazah untuk memulai kuliah pada 1932. Hanya, akibat ketiadaan biaya kuliah, Frahm mencari kesempatan magang di sebuah perusahaan perkapalan di Lübeck pada awal 1932. Dia membantu kapten kapal yang umumnya berlayar ke kawasan Skandinavia memverifikasi berat muatan dan pembayaran pajak.

Hidup Frahm berubah drastis setelah Adolf Hitler naik sebagai pemimpin Nazi dan menjadi penguasa Jerman. Frahm sejak awal mendeklarasikan diri sebagai anti-Nazi. Dalam sejumlah selebaran di kota itu, dia menggelorakan semangat antifasis dan penyatuan sayap kiri. Bersama anggota Partai Pekerja, Frahm memproduksi selebaran ini secara rahasia dan mengirimnya ke kotak surat penduduk kota pada malam hari. Dalam sebuah unjuk rasa pada 1933 di Holstenhalle di Lübeck, Frahm tampil sebagai salah satu orator. Dia pun menjadi salah satu orang yang paling dicari Nazi kala itu.

 


 

Dalam sebuah konferensi partai di Berlin pada 1948, Brandt mengecam kudeta yang dilakukan kelompok komunis di Praha. Brandt juga tak segan-segan menunjukkan kedekatannya dengan kelompok demokrasi dan menjunjung tinggi kebebasan sipil. ”Siapa pun yang tergabung dalam Front Komunis Bersatu akan sia-sia dengan usahanya itu,” kata Brandt pada 12 Maret 1948.

 


 

Untuk mencegah persekusi dari lawan politik, Herbert Frahm mengubah namanya menjadi Willy Brandt. Pada April 1933, Brandt menyamar sebagai turis pergi ke Oslo, Norwegia, menggunakan kapal Dronning Maud dan hidup sebagai eksil. Kepergiannya dikecam berbagai kalangan di Jerman. Dalam sebuah wawancara dengan German TV pada 1988, Brandt menceritakan alasannya meninggalkan negeri itu. Awalnya, tutur Brandt, pemimpin partai memintanya menyelundupkan seseorang ke Oslo. Namun rencana itu gagal. Brandt pun mengusulkan ia sendiri yang berangkat. “Lagi pula, kalau tetap di Jerman, saya bakal ditangkap,” ucapnya.

Pada Desember 1935, Brandt memulai kehidupan baru bersama pasangannya, Gertrud Meyer, di sebuah apartemen kecil di timur Oslo. Meyer kala itu bekerja sebagai sekretaris Wilhelm Reich, psikoanalis berkebangsaan Austria. Setelah perjanjian Norwegia dan Swedia tentang konvensi penanganan pengungsi diteken, Brandt memperoleh dokumen identitas yang disebut paspor Nansen. Dengan paspor itu, Brandt kembali menggunakan nama Herbert Frahm. Pada 1938, pemerintah Jerman mencabut kewarganegaraannya. Pencabutan ini membuat sentimen anti-Nazi ala Brandt makin bergejolak. “Hitler bukan orang Jerman,” ujar Brandt dalam sebuah artikel di Telemark Arbeiderblad, 28 September 1938.

Setelah Jerman berhasil menguasai Norwegia, Brandt bermigrasi ke Swedia pada 1940. Menggunakan paspor Norwegia, Brandt menjadi koresponden untuk Overseas News Agency New York yang berbasis di Stokholm. Setahun kemudian, dia menulis buku berjudul War in Norway yang menceritakan pertarungan perebutan wilayah di Norwegia pada 1940. Buku itu mendapat sambutan hangat di Swedia dan Jerman. Setelah itu, Brandt juga menulis buku mengenai upaya Norwegia memperoleh kebebasan, perang di Eropa, dan rencana-rencana benua tersebut berikutnya. Karier jurnalistik Brandt makin menanjak setelah ia ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif Biro Pers Swedia-Norwegia.

Willy Brandt (kiri) saat menjabat sebagai kanselir Jerman, bersama Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, 29 Desember 1971. wikipedia

Brandt kembali ke Jerman pada 1947 dengan menjadi bagian dari misi militer Norwegia di Berlin. Pekerjaan itu memberinya kesempatan luas bertemu dengan jurnalis serta perwakilan sekutu Jerman dan lawan politik mereka, seperti para politikus di Jerman. Pada tahun itu pula Brandt melepaskan segala bentuk keterikatannya dengan Norwegia. Dia ingin memasuki dunia politik di Jerman dan bergabung dengan Partai Sosial Demokrat. Sebagai ungkapan perpisahan, Brandt menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Norwegia Halvard Lange. “Norwegia telah membentuk saya sebagai manusia politik dan dalam banyak hal,” tulis Brandt dalam layangnya.

Pada 1948, Brandt kembali memperoleh kewarganegaraan Jerman yang dicabut satu dekade sebelumnya. Belakangan, saat berusia 34 tahun, Brandt mengubah namanya dalam semua dokumen resmi dari Herbert Ernst Karl Frahm menjadi Willy Brandt. Sebagai anggota partai sosialis, Brandt menunjukkan kecenderungan antikomunis dalam sikap-sikap politiknya. Dalam sebuah konferensi partai di Berlin pada 1948, Brandt mengecam kudeta yang dilakukan kelompok komunis di Praha. Brandt juga tak segan-segan menunjukkan kedekatannya dengan kelompok demokrasi dan menjunjung tinggi kebebasan sipil. ”Siapa pun yang tergabung dalam Front Komunis Bersatu akan sia-sia dengan usahanya itu,” kata Brandt pada 12 Maret 1948.

Di dunia politik, karier Brandt berjalan gangsar. Pada 19 Agustus 1949, Brandt terpilih sebagai anggota Parlemen mewakili Partai Sosial Demokrat di Bonn. Pada tahun itu pula Brandt berhasil menjadi ketua partai wilayah Wilmersdorf di barat Berlin. Karier politik Brandt makin tak terbendung. Pada April 1950, Brandt terpilih sebagai anggota komite eksekutif partai pada usia yang ter-amat belia dalam politik, yakni 36 tahun. Dia juga terpilih sebagai anggota Parlemen Berlin pada Desember 1950. Lima tahun kemudian, Brandt terpilih sebagai Presiden Parlemen Berlin. Perjalanan politik Brandt di tingkat lokal terus berlanjut hingga ia terpilih sebagai Wali Kota Berlin.

Kartu pers Willy Brandt saat menjadi koresponden Overseas News Agency di Stokholm. 

Periode terpenting dalam karier politik Brandt adalah saat ia menjadi Menteri Luar Negeri dan Kanselir Federal Jerman pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Brandt secara konsisten menyuarakan perdamaian dan sikap anti terhadap penggunaan senjata atom. Saat berpidato setelah terpilih sebagai kanselir, Brandt menyampaikan pentingnya memperkuat posisi Jerman dan meningkatkan kebebasan bagi masyarakat sipil. Dia pun memperkenalkan retorika politiknya sebagai Ostpolitik. Dia ingin menguatkan kerja sama dengan negara di kawasan Eropa Timur seperti Uni Soviet, Polandia, dan Cekoslovakia. “Kita perlu menjaga keamanan Republik Jerman, bersolidaritas untuk menjaga perdamaian dan berkontribusi dalam menciptakan sebuah era damai di Eropa,” tutur Brandt.

Setahun kemudian, terjadilah peristiwa Kniefall von Warschau yang mengabadikan nama Brandt. Semua media di Jerman menjadikan peristiwa itu sebagai tajuk utama di halaman pertama mereka. Komunitas internasional memuji tindakan Brandt. Majalah Time menobatkan Brandt sebagai Man of the Year. Namun pujian tidak datang dari komunitas politik domestik. Kebijakan Ostpolitik menuai kontroversi karena menguatkan hubungan Jerman Barat dan Jerman Timur. Media Jerman, Der Spiegel, membuat survei untuk mengetahui pendapat masyarakat Jerman mengenai peristiwa Kniefall von Warschau. Hasilnya, 41 persen responden menyetujui gestur itu. Namun 48 persen responden menyebutnya sebagai sesuatu yang “berlebihan”.

Museum Willy Brandt Haus di Lübeck. TEMPO/Wayan Agus Purnomo

Setelah Kniefall von Warschau, karier politik Brandt justru berbalik menuju titik rendah. Pada April 1974, Günter Guillaume, asisten pribadi Brandt, ditangkap karena melakukan spionase di Jerman Timur. Penangkapan itu menjadi santapan empuk media di Jerman. Sebulan setelah penangkapan tersebut, Brandt mundur sebagai Kanselir Jerman. Namun ia tetap berpolitik di luar Jerman. Dia menjadi anggota Parlemen Eropa pada 1979-1983. Dia juga tetap memimpin Partai Sosial Demokrat hingga 1987. Lima tahun kemudian, Brandt meninggal di Bonn akibat menderita kanker.

WAYAN AGUS PURNOMO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus