Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Revolusi untuk Mursi

Muhammad Mursi mengakhiri dominasi militer dengan memenangi pemilihan Presiden Mesir. Revolusi terus berlanjut.

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lapangan Tahrir di pusat Kota Kairo mendadak hening, Ahad siang pekan lalu. Ribuan orang dengan takzim mendengarkan pengumuman pemenang pemilihan Presiden Mesir, yang disiarkan langsung secara nasional melalui radio dan televisi.

Kesunyian pecah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Agung Farouk Sultan menyatakan Muhammad Mursi, 61 tahun, menjadi presiden baru Mesir. Ribuan orang mendadak sontak bersujud syukur. Mereka yang menyaksikan pengumuman itu melalui siaran televisi di kafe-kafe di sekitar Lapangan Tahrir berhamburan ke jalan, bergabung dengan puluhan ribu orang yang menyesaki lapangan bersejarah itu. Takbir bergema di udara, "Allahu akbar, Allahu akbar...."

"Mulai hari ini saya dapat memperoleh hak-hak saya sebagai warga Mesir yang bebas," ujar seorang pendukung Mursi, Ahmad Shabana. Mursi memenangi pemilihan presiden putaran kedua dengan meraup 51,7 persen suara dari 25,5 juta lebih pemilih. Ia mengalahkan bekas perdana menteri yang didukung militer, Ahmad Shafik, yang memperoleh 48,3 persen suara.

Pesta kemenangan calon dari al-Ikhwan al-Muslimun (Persaudaraan Muslim) ini tak berhenti sampai di situ. Malam harinya, kembang api berpendaran di atas lapangan yang menjadi tempat lahirnya revolusi Mesir itu. Ribuan orang bertahan sampai fajar menyingsing.

Kemenangan Mursi mengawali babak baru demokrasi di negeri itu. Ia menjadi presiden sipil pertama sejak militer berkuasa lebih dari lima dekade, mulai Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, hingga Husni Mubarak.

Namun kemenangan Mursi bukanlah akhir dari revolusi rakyat Mesir, yang bergolak sejak Januari 2011 dan telah menewaskan lebih dari 800 orang. Dewan Militer masih kukuh berkuasa: berhak membubarkan parlemen, yang didominasi kelompok Islam, dan memangkas kewenangan presiden.

Sebagian warga Mesir khawatir demokrasi tak akan berjalan sesuai dengan cita-cita revolusi, yakni membangun masa depan Mesir yang lebih baik sebagai negara sipil modern, demokratis, dan independen.

Kekhawatiran itulah yang kemudian mengobarkan tekad untuk memaksa dewan menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil. "Bila Dewan Militer menghargai keinginan rakyat, kami dapat bekerja sama. Bila tidak, mereka tahu persis di mana Mubarak mendekam saat ini," ujar Abdul Mawgoud Dardery, anggota parlemen dari partai Mursi, Partai Kebebasan dan Keadilan.

Sejarawan dari Universitas Amerika di Kairo, Khaled Fahmy, mengatakan revolusi masih jauh panggang dari api meski rezim Mubarak sudah tumbang pada Februari 2011. "Keinginan kami belum terkabul." Banyak rakyat Mesir, muslim dan nonmuslim, masih ragu apakah Mursi, yang datang dari Al-Ikhwan al-Muslimun, bakal merangkul seluruh elemen masyarakat Mesir yang beragam.

Kekhawatiran mereka bisa dimaklumi mengingat organisasi yang didirikan Hassan al-Banna pada 1928 ini telah ditindas oleh militer selama lebih dari lima dekade. Rezim militer melarang organisasi ini dan tak mengizinkan anggotanya mencalonkan diri sebagai presiden. Sedangkan kaum revolusioner khawatir, bila berkuasa, organisasi ini bakal melakukan balas dendam dan memproklamasikan negara Islam.

Namun bekas Ketua Parlemen Mesir Muhammad Katatny mengatakan kekhawatiran itu tak perlu karena Mursi berpihak kepada semua golongan. "Kami juga menolak negara agama," ujarnya. Dalam pidato kemenangannya, Mursi menegaskan akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat Mesir.

"Persatuan nasional ini menjadi satu-satunya cara membawa Mesir keluar dari krisis," ujar doktor engineering dari Universitas Carolina Selatan, Amerika Serikat, itu. Juru bicara kampanye Mursi, Sameh el-Essawy, mengatakan rakyat Mesir akan segera sadar kekhawatiran mereka berlebihan. "Setelah satu bulan, orang akan menyadari kami bukan monster. Kami hanya warga biasa."

Untuk menyelamatkan revolusi, Mursi bersama Al-Ikhwan al-Muslimun serta Partai Kebebasan dan Keadilan menggalang dukungan semua golongan. Dua hari menjelang pengumuman pemenang pemilu, Mursi, yang sudah tahu bakal menang, membentuk front persatuan bersama para pemimpin politik, tokoh agama, dan masyarakat untuk menghadapi kemungkinan Dewan Militer mengingkari janjinya menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil.

Dalam pertemuan itu, mereka sepakat menolak Dewan Militer serta dekrit dan keputusan yang mereka bikin. Mereka berjanji akan setia pada tujuan revolusi. Mursi menjanjikan lembaga kepresidenan akan berisi orang-orang dari berbagai golongan. Ia mengatakan wakil presiden tidak akan berasal dari partainya.

Pejabat Partai Kebebasan dan Keadilan, Muhamad Beltagy, mengatakan konsensus nasional itu mengembalikan kekuatan revolusi, yang terbukti sukses menyatukan bangsa Mesir. Ia mengatakan semua pihak yang terlibat dalam dialog mengesampingkan kepentingan politik masing-masing dan membawa revolusi ke arah yang benar. "Konferensi itu merupakan awal dari era baru kemitraan yang tulus," tuturnya.

Sebagai bentuk dukungan bagi revolusi, Al-Ikhwan al-Muslimun dan para pendukungnya akan bertahan di Lapangan Tahrir sampai cita-cita rakyat Mesir terwujud.

Mursi beruntung karena dukungan juga mengalir dari mancanegara, termasuk Palestina, Israel, Amerika Serikat, dan sejumlah organisasi kemasyarakatan. Hamas, partai politik di Palestina yang menguasai Jalur Gaza, bahkan merayakan kemenangan Mursi dengan tembakan ke udara. Ahmad Yousef, anggota Hamas yang dikenal moderat, berharap Mursi dapat membantu membuka isolasi Barat terhadap gerakan Hamas sekaligus mengakhiri blokade terhadap Gaza.

Ia yakin Mursi akan mengajak komunitas internasional mengakui dan berhubungan dengan Hamas, yang dicap teroris oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Harapan Yousef itu tak berlebihan mengingat Al-Ikhwan al-Muslimun ikut membidani lahirnya Hamas pada 1987. Sejak 2007, Hamas menguasai Jalur Gaza, yang berbatasan dengan Mesir.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun menyambut kemenangan demokrasi di Mesir. Israel berharap bisa bekerja sama dengan pemerintah baru Mesir atas dasar perjanjian damai 1979.

Di Libanon, kelompok Hizbullah memuji Mursi. Meski berbeda aliran—Al-Ikhwan al-Muslimun beraliran Sunni dan Hizbullah menganut Syiah—Hizbullah berharap Mesir tetap menjadi pemimpin di dunia Arab. Hizbullah dan Mesir tak pernah akur semenjak Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979. Mereka juga menuding Mubarak terlibat dalam serangan Israel ke Jalur Gaza pada akhir 2008.

Sedangkan Amerika Serikat berhati-hati: berharap Mursi membentuk pemerintahan secara hati-hati dan menghormati hak seluruh rakyat Mesir. Juru bicara Gedung Putih, Jay Carney, mengatakan Amerika berharap Mesir tetap menjadi pilar bagi perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan Timur Tengah.

Kini ujian berat sudah menunggu Mursi. Rakyat Mesir berharap ia mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Lebih dari 40 persen rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari.

Sapto Yunus (Reuters, Al Ahram, CNN, Ikhwanweb)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus