Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOSE Andres Arocena misuh-misuh. Anggota Majelis Umum Uruguay dari sayap nasionalis itu memilih keluar dari ruangan tempat majelis menggelar rapat, Senin sore pekan lalu, di Montevideo, ibu Kota Uruguay. Ia tak tahan lagi. Masalah yang dibahas di ruangan kongres membuatnya muak. Setengah berlari, Arocena menuju mobilnya yang terparkir di lantai bawah tanah gedung parlemen.
Namun gerakannya yang tergesa-gesa justru menarik perhatian jurnalis yang sedang memburu isu paling digunjingkan di Uruguay: legalisasi ganja. "Maaf, saya tidak bisa berkomentar banyak, tapi usul pemerintah itu sudah tidak masuk akal," ujarnya sambil membanting pintu mobil dan berlalu.
Di dalam ruangan, suasana anteng saja. Para anggota Majelis Umum Uruguay serius mengamati pemaparan Eleuterio Fernandez Huidobro, Menteri Pertahanan Uruguay, mengenai skema perang melawan narkotik. Salah satu bagian dari paparannya adalah melakukan legalisasi ganja, yang merupakan gagasan presiden mereka, Jose Alberto Mujica Cordano. Penjelasan inilah yang membuat jengkel Arocena. Tapi, apa boleh buat, lebih dari setengah anggota majelis mendukung Presiden.
Berdasarkan pemaparan Huidobro, kelak pemerintah Uruguay jadi negara yang pertama melegalisasi produksi, konsumsi, dan distribusi ganja tapi dengan kontrol penuh dari pemerintah. Tujuannya melemahkan kejahatan dengan cara merebut keuntungan haram para pengedar narkotik di negaranya, serta mengalihkan ketergantungan pengguna kokain ke ganja. "Kami percaya, larangan akan menciptakan lebih banyak masalah bagi Uruguay," katanya.
Dalam usulan Mujica, nantinya setiap orang yang berumur 18 tahun ke atas di negara yang berpenduduk 3,3 juta orang itu diperbolehkan membeli 40 batang ganja setiap bulan. Syaratnya, setiap pengguna harus mendaftarkan diri ke kantor pemerintah dan kepolisian untuk mendapatkan kartu kontrol pembelian yang diperbarui setiap bulan. "Nanti pengawasan konsumsi dilakukan di setiap toko yang ditunjuk pemerintah, dengan cara menyeleksi kartu para pengguna," katanya.
Untuk memenuhi permintaan konsumsi itu, pemerintah Uruguay menyatakan siap menanam ganja di lahan milik mereka dengan mempekerjakan petani dari pedalaman Uruguay. Pemerintah juga bakal mengatur ketat produksi ganja menurut kebutuhan, sehingga tidak terjadi penyelundupan, serta memperketat jalur distribusi agar tidak bocor ke negeri jiran, seperti Brazil dan Argentina.
"Hukum pasar akan memerintah di sini: siapa pun bisa menjual yang terbaik dan termurah, pemerintah akan mengambil alih ceruk itu demi pemberantasan bandar narkotik," kata Mujica. "Pembelian hanya untuk konsumsi sendiri, tidak ada penjualan kembali di antara pengguna."
Ganja memang tidak pernah diharamkan di Uruguay. Ada aturan yang berlaku pada 1974, ganja boleh dikonsumsi dalam jumlah kecil dan hanya untuk keperluan pribadi. Namun yang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah adalah penyelundupan dan perdagangan ilegal dalam skala besar yang menenggelamkan negara itu ke pusaran peredaran narkotik. Menurut data pemerintah, saat ini perdagangan ganja ilegal sudah mencapai US$ 750 juta per tahun, tanpa satu sen pun tersentuh pajak. "Tahun lalu 20 persen rakyat kami mengakui mengkonsumsi ganja. Jiwa dan pendapatan mereka itulah yang harus diselamatkan dari tangan-tangan penyelundup ganja," ujar presiden yang bekas gerilyawan berhaluan kiri itu.
Mujica tak punya rencana menjadikan penjualan ganja sebagai pendapatan negara. Baginya, hasil penjualan ganja itu hanya porsi kecil dari pendapatan negara dengan perekonomian paling stabil di Amerika Latin ini. Pendapatan dari ganja akan digunakan untuk membiayai rehabilitasi para pecandu narkotik. "Ini seperti daur ulang uang narkotik, agar pembayar pajak yang bukan pengguna narkotik tidak terbebani urusan rehabilitasi," katanya.
LEBIH dari seribu orang tua muda berkumpul di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Argentina, pada 5 Mei lalu. Mereka berparade keliling kota mengusung poster yang meneriakkan soal penolakan kriminalisasi terhadap penggunaan ganja. Hari itu mereka mengusung aksi bertema "Pergerakan Global untuk Legalisasi Ganja". "Kriminalisasi ganja itu ide Amerika, sementara di negaranya, mereka juga melegalkan beberapa toko obat menjual ganja untuk obat-obatan. Itu standar ganda," ujar Pedro Higuain, salah seorang aktivis, kepada surat kabar The Argentina Independent.
Ya, benar, dalam dokumen Stratfor—sebuah perusahaan konsultan intelijen asal Amerika Serikat—disebutkan bahwa beberapa negara bagian Amerika, seperti California, memiliki undang-undang yang melindungi individu pengguna ganja di bawah pengawasan dokter. Bahkan, menurut penelitian mereka, produksi ganja ilegal di Amerika setara dengan kemampuan tanam Zetas—kartel narkotik asal Meksiko—yakni sekitar 10,2 juta tanaman pada 2010. Walau hidup kartel bergantung pada pendapatan dari penjualan obat keras kimia, seperti sabu dan heroin, ganja diperkirakan tetap ditanam sebagai pengingat akar bisnis mereka.
Stratfor mengungkapkan sejumlah data yang cukup menarik mengenai ganja di Amerika Selatan. Menurut mereka, ganja bisa dijadikan alat perlawanan negara-negara Amerika Latin. Tentu saja dengan modus perselingkuhan para kartel yang ikut menyuplai pembiayaan negara. Namun tidak ada bukti kuat yang mendukung dugaan ini. "Kebijakan sebagian negara di Amerika Selatan memang memperbolehkan kepemilikan ganja. Itu menunjukkan peran pemerintah memberi ruang pada barang ilegal," begitu hasil penelusuran Stratfor.
Kebijakan Mujica di Uruguay memang yang pertama untuk urusan campur tangan pemerintah dalam "tata niaga" ganja. Namun itu bukan yang pertama untuk pengaturan penggunaan ganja. Di Venezuela, Chavez membebaskan rakyatnya memiliki ganja untuk kebutuhan pribadi. Ia bahkan mengusir badan narkotika Abang Sam (DEA) saat hendak memberangus para petani tanaman koka, bahan baku kokain. "Tanaman itu untuk keperluan tradisional, jadi tidak ada salahnya, asalkan terkontrol," kata Chavez.
Walau juga mengusir DEA dari negaranya, yang dilakukan Evo Morales di Bolivia berbeda dengan Chavez. Morales, yang diisukan anak petani koka, kini diam-diam menggodok kebijakan yang membebaskan kokain. Slogannya, "Koka ya, Kokain Tidak."
Di Ekuador, Presiden Rafael Correa Delgado mengumpat kebijakan pemerintah sebelumnya mengenai obat-obatan terlarang. Ia menyebutnya aturan "barbar" karena menjatuhkan hukuman berat bagi para pengguna dan pengedar narkotik. Correa lantas ingin memperingan hukuman pengguna dan memberi masukan skala bisnis narkotik dalam pertimbangan hukum para hakim di negaranya. "Pengguna dan pengedar skala kecil, terutama dari kalangan miskin, lebih baik dihukum ringan," ujarnya.
Mungkin apa yang diramalkan Stratfor bisa jadi benar. Ramainya kebijakan tentang narkotik yang lembut terhadap para pengguna di Amerika Selatan merupakan bagian dari komoditas politik kaum kiri untuk menarik simpati. Namun para kepala negara itu bukan pula tak beralasan. Di Montevideo, dalam kondisi setengah teler akibat ganja, seorang ibu berusia 30 tahun lantas berseloroh ketika ditanya mengenai kebijakan ganja. Menurut dia, kebijakan Mujica adalah hal yang lucu. "Tak bisa dibayangkan, saya akan bilang kepada pemilik toko, saya minta telur, satu kilogram kentang, popok bayi, pembalut, dan satu pak rokok ganja," ujarnya sambil terkekeh.
Sandy Indra Pratama (El Paper Observador, Telegraph, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo