HARI-hari ini suasana kampanye politik di Malaysia sedang hingar
bihgar. Yang sedang diperebutkan ialah kursi "nomor dua" dalam
pemerintahan. Terutama Menteri Keuangan Tengku Razaleigh atau
Menteri Pendidikan Datuk Musa Hitam kini dijagoi dan jadi calon
terkuat sebagai orang kedua sesudah Datuk Seri Dr. Mahathir
Mohamad.
Dr. Mahathir hampir dipastikan bakal menggantikan PM Hussein Onn
yang sebentar lagi mengundurkan diri dari pemerintahan dan
pimpinan UMNO, partai Melayu yang berkuasa. Mereka berkampanye
di negara-negara bagian , sebelum menghadapi Perhimpunan Agung
(kongres) UMNO 26 Juni nanti. Kongres itu akan memilih ketua dan
wakilnya (naib), serta pimpinan Majlis Tinggi partai.
Sementara itu berbagai organisasi (Pertubuhan) yang non-partai
gencar pula berkampanye menentang amandemen Societes Act atau
Akta Pertubuhan. Mulai berlaku 15 Mei, akta tersebut mereka
anggap "mencelakakan sistem demokrasi". Mereka mengadakan
gerakan mengutip tandatangan sebanyak mungkin sebagai tanda
protes terhadap akta itu. Gerakan ini meluas ke kampus
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di kampus itu pernah (24
Mei) berlangsung rapat umum yang disponsori tidak kurang dari 12
organisasi-termasuk ilmuwan, kelompok agama Islam dan Kristen,
pembela konsumen dan pencinta Lingkungan Hidup, bahkan juga
persatuan tunanetra.
Pertemuan di UKM itu tampak melanjutkan diskusi di Penang yang
melahirkan Memorandum 19 Maret. Memorandum itu -- didukung 19
pertubuhan bertujuan mencegah Parlemen Malaysia meluluskan usul
amandemen akta tersebut. Namun parlemen tetap menyetujuinya,
yaitu memperbaharui Akta Pertubuhan 1966 mengenai partai politik
dan pertubuhan persahabatan. Akta yang sudah diperbaharui itu,
menurut mereka yang menentangnya, bisa melarang warganegara
mengkritik pemerintah.
Pihak pemerintah kebetulan sering jengkel terhadap perkumpulan
atau grup organisasi sosial yang punya kecenderungan politik.
Misalnya, Gerakan Pencinta Lingkungan Hidup (SAM) secara lantang
mengingatkan bahwa masalah lingkungan di Malaysia makin serius.
Perusahaan tambang tembaga, Mamut Copper Mine (patungan
Malaysia-Jepang) di Sabah antara lain dituntutnya supaya
memhayar ganti rugi kepada rakyat setempat, karena sudah merusak
alam yang mengakibatkan banjir, polusi dan panen padi
berantakan. Sedang Lembaga Konsumen Penang (CAP) sering
meributkan soal operasi pabrik karet, kilang minyak sawit,
kilang kayu dan tambang tembaga yang merusak lingkungan hidup.
Seakan-akan di Malaysia pencemaran lingkungan sudah sampai ke
puncak kritis, dan UndangUndang Lingkungan Hidup tidak
dilaksanakan semestinya.
Para pejabat pemerintah cenderung menilai gerakan antipolusi itu
berbau politik, diperalat golongan tertentu atau pressure group.
Deputi Mendagri Malaysia, Sanusi Junid, menangkis: "Jika mereka
mendorong pemerintah melindungi hutan dari penebangan liar,
gerakan itu memang terpuji. Hutan memang sumber devisa. Tapi
kalau aksi mereka itu dapat mempengaruhi ekspor kayu Malaysia,
masalahnya sudah lain. Itu merupakan kegiatan politik."
Akta itu juga melarang seseorang yang sudah pernah dijatuhi
hukuman penjara lebih setahun atau didenda 2 ribu ringgit
memangku semua jabatan dalam partai politik atau ormas lainnya.
Sejumlah organisasi non-parpol diduga akan dilarang jika
ternyata kegiatannya dianggap pemerintah bersifat politik. Di
samping itu setiap perkumpulan atau ormas dilarang berafiliasi,
berkomunikasi dengan ormas di luar negeri tanpa sepengetahuan
dan izin pemerintah.
Sudu & Sendok
Golongan oposisi seperti Ketua Partai Tindakan Demokrasi (DAP),
Lim Kit Siang, mengatakan akta itu memungkinkan pemerintah
bertindak lebih otoriter. Makin besar wewenang Menteri Dalam
Negeri bertindak, walaupun tanpa melalui sidang pengadilan.
Tentu saja Mendagri Tan Sri Ghazali Shafei bersuara terus
terang. "Wewenang serupa toh ada juga pada akta yang lain,
seperti Akta Perburuhan atau pun Akta Kehewanan," katanya. Akta
yang baru saja berlaku itu bertujuan "membedakan antara sudu
dengan senduk, antara sudu dengan sepit," tambahnya.
Sementara itu Tunku Abdul Rahman Putra Al-haj, perdana menteri
pertama dan "Bapak Malaysia", turut tak menyetujui Akta 1981 itu
diberlakukan. "Kalau saya masih memegang tampuk kekuasaan, saya
tidak akan tergesa-gesa melakukan amandemen. Itu memerlukan
waktu yang panjang," kata Tunku yang kini Presiden Perkim
(Pertubuhan Kebajikan Islam Malaysia) dan kolumnis The Star di
Penang.
Wakil PM Dr Mahathir yang dikenal dulu jadi lawan Tunku,
menanggapi pro dan kontra soal Akta 1981 dengan dingin. "Selalu
ada orang yang dapat menerima dan menolak suatu ide," kata
Mahathir, yang pada tahun 1970 pernah dipecat dari UMNO, tapi
kini satu-satunya calon Ketua UMNO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini