Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ribut-ribut soal akta

Berbagai organisasi (pertubuhan) yang non-partai gencar berkampanye menentang amandemen societes act atau akta pertumbuhan. dianggap mencelakaan sistem demokrasi. (ln)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari ini suasana kampanye politik di Malaysia sedang hingar bihgar. Yang sedang diperebutkan ialah kursi "nomor dua" dalam pemerintahan. Terutama Menteri Keuangan Tengku Razaleigh atau Menteri Pendidikan Datuk Musa Hitam kini dijagoi dan jadi calon terkuat sebagai orang kedua sesudah Datuk Seri Dr. Mahathir Mohamad. Dr. Mahathir hampir dipastikan bakal menggantikan PM Hussein Onn yang sebentar lagi mengundurkan diri dari pemerintahan dan pimpinan UMNO, partai Melayu yang berkuasa. Mereka berkampanye di negara-negara bagian , sebelum menghadapi Perhimpunan Agung (kongres) UMNO 26 Juni nanti. Kongres itu akan memilih ketua dan wakilnya (naib), serta pimpinan Majlis Tinggi partai. Sementara itu berbagai organisasi (Pertubuhan) yang non-partai gencar pula berkampanye menentang amandemen Societes Act atau Akta Pertubuhan. Mulai berlaku 15 Mei, akta tersebut mereka anggap "mencelakakan sistem demokrasi". Mereka mengadakan gerakan mengutip tandatangan sebanyak mungkin sebagai tanda protes terhadap akta itu. Gerakan ini meluas ke kampus Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di kampus itu pernah (24 Mei) berlangsung rapat umum yang disponsori tidak kurang dari 12 organisasi-termasuk ilmuwan, kelompok agama Islam dan Kristen, pembela konsumen dan pencinta Lingkungan Hidup, bahkan juga persatuan tunanetra. Pertemuan di UKM itu tampak melanjutkan diskusi di Penang yang melahirkan Memorandum 19 Maret. Memorandum itu -- didukung 19 pertubuhan bertujuan mencegah Parlemen Malaysia meluluskan usul amandemen akta tersebut. Namun parlemen tetap menyetujuinya, yaitu memperbaharui Akta Pertubuhan 1966 mengenai partai politik dan pertubuhan persahabatan. Akta yang sudah diperbaharui itu, menurut mereka yang menentangnya, bisa melarang warganegara mengkritik pemerintah. Pihak pemerintah kebetulan sering jengkel terhadap perkumpulan atau grup organisasi sosial yang punya kecenderungan politik. Misalnya, Gerakan Pencinta Lingkungan Hidup (SAM) secara lantang mengingatkan bahwa masalah lingkungan di Malaysia makin serius. Perusahaan tambang tembaga, Mamut Copper Mine (patungan Malaysia-Jepang) di Sabah antara lain dituntutnya supaya memhayar ganti rugi kepada rakyat setempat, karena sudah merusak alam yang mengakibatkan banjir, polusi dan panen padi berantakan. Sedang Lembaga Konsumen Penang (CAP) sering meributkan soal operasi pabrik karet, kilang minyak sawit, kilang kayu dan tambang tembaga yang merusak lingkungan hidup. Seakan-akan di Malaysia pencemaran lingkungan sudah sampai ke puncak kritis, dan UndangUndang Lingkungan Hidup tidak dilaksanakan semestinya. Para pejabat pemerintah cenderung menilai gerakan antipolusi itu berbau politik, diperalat golongan tertentu atau pressure group. Deputi Mendagri Malaysia, Sanusi Junid, menangkis: "Jika mereka mendorong pemerintah melindungi hutan dari penebangan liar, gerakan itu memang terpuji. Hutan memang sumber devisa. Tapi kalau aksi mereka itu dapat mempengaruhi ekspor kayu Malaysia, masalahnya sudah lain. Itu merupakan kegiatan politik." Akta itu juga melarang seseorang yang sudah pernah dijatuhi hukuman penjara lebih setahun atau didenda 2 ribu ringgit memangku semua jabatan dalam partai politik atau ormas lainnya. Sejumlah organisasi non-parpol diduga akan dilarang jika ternyata kegiatannya dianggap pemerintah bersifat politik. Di samping itu setiap perkumpulan atau ormas dilarang berafiliasi, berkomunikasi dengan ormas di luar negeri tanpa sepengetahuan dan izin pemerintah. Sudu & Sendok Golongan oposisi seperti Ketua Partai Tindakan Demokrasi (DAP), Lim Kit Siang, mengatakan akta itu memungkinkan pemerintah bertindak lebih otoriter. Makin besar wewenang Menteri Dalam Negeri bertindak, walaupun tanpa melalui sidang pengadilan. Tentu saja Mendagri Tan Sri Ghazali Shafei bersuara terus terang. "Wewenang serupa toh ada juga pada akta yang lain, seperti Akta Perburuhan atau pun Akta Kehewanan," katanya. Akta yang baru saja berlaku itu bertujuan "membedakan antara sudu dengan senduk, antara sudu dengan sepit," tambahnya. Sementara itu Tunku Abdul Rahman Putra Al-haj, perdana menteri pertama dan "Bapak Malaysia", turut tak menyetujui Akta 1981 itu diberlakukan. "Kalau saya masih memegang tampuk kekuasaan, saya tidak akan tergesa-gesa melakukan amandemen. Itu memerlukan waktu yang panjang," kata Tunku yang kini Presiden Perkim (Pertubuhan Kebajikan Islam Malaysia) dan kolumnis The Star di Penang. Wakil PM Dr Mahathir yang dikenal dulu jadi lawan Tunku, menanggapi pro dan kontra soal Akta 1981 dengan dingin. "Selalu ada orang yang dapat menerima dan menolak suatu ide," kata Mahathir, yang pada tahun 1970 pernah dipecat dari UMNO, tapi kini satu-satunya calon Ketua UMNO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus