PETI kemasan dibuka. Dan terlihatlah kemudian, kertas-kertas
bertulisan Arab -- yang digunakan sebagai pengganjal. Ternyata
tulisan itu tak lain ayat-ayat Qur'an dalam huruf cetak.
Begitulah awal kisahnya. Dan Pak Guru SMA Negeri Beureunun itu,
di Kabupaten Pidie, Aceh, yang membuka kemasan alat laboratorium
IPA kiriman Departemen P&K bersama dua orang siswanya, kemudian
menyerahkan perca-perca tersebut kepada kepala sekolah. Lewat
laporan Pak Kepala ke Kanwil P&K setempat, surat lantas dikirim
ke Menteri Daoed Yoesoef.
Maka masalah itu pun turut dibawa Menteri dalam rapat kerja
dengan Komis IX DPR 16 dan 17 Mei. Menteri, tampaknya,
pagi-pagi ingin menjauhkan sangkaan -- yang bisa ada -- seolah
departemennya terlibat soal "pengganjalan dengan kertas Qur'an"
itu. Tak heran bila ia membentuk tim peneliti segala.
Pengusutan lantas dilakukan -- mula-mula ke gudang ekspeditur CV
Gunung Salak di Jatinegara, Jakarta. Ini adalah perusahaan yang
melakukan pengiriman alat laboratorium sekolah tersebut. Semua
kertas pembungkus dan pengganjal, diperiksa. Tapi tak ada
tulisan Qur'an.
Begitu juga di gudang PT Glastronic Indonesia di Bandung -- yang
memenangkan lelang Departemen P&K sebagai penyedia peralatan. Di
situ masih terdapat kemasan berisi sekitar 750 akuarium plastik.
Tapi tak ada kertas Qur'an.
Juz 'Amma
Hanya, dari seorang karyawan didapat keterangan bahwa PT
Glastronic membeli kertas sisa dari seorang pedagang loak di
Jalan Lodaya, Bandung. Juga dari beberapa percetakan --
antaranya PT Ganaco dan PT Al-Ma'arif. Si pedagang loak juga
menyatakan hal yang sama.
Tim lantas meminta Direksi Glastronic membeli kertas sisa dari
Al-Ma'arif -- sebanyak 57 kg. Ketika barangnya datang, ternyata,
menurut laporan itu, memang ditemukan beberapa helai kertas
bertuliskan ayat Qur'an. Semuanyakah bikinan Al-Ma'arif?
Logisnya begitu. Dan tim sendiri juga menyimpulkannya sebagai
"kemungkinan besar". Tapi menurut pihak Al-Ma'arif, tidak semua.
Dalam surat kepada Departemen P&K belakangan, Direktur (yang
waktu kedatangan tim itu tidak bisa dihubungi, berhubung
berlibur hari Jum'at) menuturkan bahwa dari kertas Qur'an yang
ditemukan itu, yang bertuliskan ayat-ayat Juz 'Amma memang dari
pihaknya. Tapi selebihnya ternyata dari penerbit lain -- yang
"telah kami hubungi, supaya lebih berhati-hati." Tak diterangkan
penerbit mana -- tapi dalam laporan Menteri diterangkan maksud
Al Ma'arif itu -- yakni PT Ganaco.
Agak kisruh, memang. Bahkan Direktur Al-Ma'arif sendiri, H.M.
Baharthah, kepada TEMPO menyatakan lewat telepon, ia pernah
menjumpai kertas Qur'an di loakan di Bandung yang ternyata dari
penerbit lain: Pembimbing Masa. Akan halnya kertas Qur'an yang
sampai ke Aceh itu, H.M. Baharthah, 78 tahun masih merasa perlu
mengirim seorang putranya untuk turut mengusutnya ke Departemen
P&K, agar tahu sendiri barangnya.
Dokumen Negara
Betapa pun, pokok soalnya pertama kali tentunya di pihak
percetakan. Termasuk ke dalamnya baik soal keteledoran,
jual-beli maupun juga pencurian kertas. Kemudian pihak pemakai
-- seperti PT Glastronic itu -- yang mungkin teledor
mempergunakan kertas sisa Qur'an itu buat kemasan. Tapi mengapa
jual-beli dilakukan juga -- untuk kertas ayat-ayat yang
dihormati itu?
"Sebaliknya kertas sisa itu 'kan tidak dikilokan. Bisa ramai,"
kata Djatiwijono SH, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen
Agama. Yang dimaksudkannya termasuk kertas yang salah cetak,
yang hurufnya tidak terang atau tintanya mblobor. "Dibakar saja,
seperti dokumen negara," katanya. Memang,yang dikorbankan
mungkin jadih lebih banyak. Sebab mencetak. Qur'an diakui
termasuk sulit.
Karena itulah, kata H. Mohd. Rasyid Latif, Direktur PT Al Husna
di Jakarta, "Orang Islam, atau mereka yang tahu pasti tak akan
mau mengambil kertas demikian untuk membungkus sesuatu. Apalagi
menjualnya."
Tapi di Al-Ma'arif, kertas sisa Qur'an sebenarnya tidak diumbar.
Melainkan dikumpulkan di dua gudang. Jumlahnya? Sekarang ini 200
ton, menurut Direktur di rumahnya. "Saya tidak izinkan
dikeluarkan, dan saya tidak menjualnya," katanya. Tetapi begitu
banyak?
Ya. Penerbit ini, yang sudah mencetak Qur'an selama 30 tahun,
setiap bulan mengeluarkan 150.000 jilid kitab suci -- termasuk
pesanan dari Rabithah Alam Islami di Mekah yang semuanya
berjumlah 5 juta eksemplar. Niat berha-tihati dari penerbit
besar yang mencetak buku-buku agama untuk rakyat itu (ada yang
berharga Rp 30, Surah Yasin), dan punya pekerja 1.300 orang
(80% wanita), agaknya bisa dipercaya. Soalnya, ia pernah juga
"kecolongan".
Vonis 1,5 Tahun
Begini. Tahun 1965, perusahaannya diadukan ke Pengadilan Negeri
Cianjur -- karena kasus sisa kertas Qur'an juga. Waktu itu ia
menjual kertas apkir itu kepada sebuah pabrik karton di sana
untuk diolah kembali jadi bahan baku sebanyak tujuh truk. Tak
tahunya ketika diproses, rupanya banyak huruf Qur'an yang tidak
hilang -- dan terbawa bersama kertasnya menjadi pembungkus di
pasar. Ia divonis 1,5 tahun -- meski di tingkat banding
dinyatakan bebas.
Tampaknya ia juga akan memanfaatkan kertas sisa yang 200 ton
itu, bila memang dirasa benar-benar aman. "Hanya saja," katanya,
"kalau ada yang tersisa di luar atau terselip, mana mungkin saya
bisa menelitinya dalam jumlah sebanyak itu?", katanya di
rumahnya, dengan wajah gundah.
Yang terselip mudah-mudahan saja memang tidak banyak . Di antara
50 kemasan yang dikirim ke Aceh itu misalnya, hanya sebuah yang
mengandung sisa kertas Qur'an. Masalah ini sendiri tidak sempat
ramai, tampaknya -- juga di DPR -- mungkin karena bukan topik
terpenting menyangkut agama sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini