Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Raja Lear dari Lampung

Komunitas Berkat Yakin dari Lampung membuka Pekan Teater Nasional yang diikuti 15 kota di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Pendekatan eklektik yang berhasil.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Komunitas Berkat Yakin, Lear, dalam Pekan Teater Nasional di Jakarta, 7 Oktober 2018. -@evatobing1112/Dewan Kesenian Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADUT (Danil Padila) terus-menerus memperingatkan sang raja agar segera kembali ke istana. Badut mengatakan bahwa Putri Sulung yang menjaga singgasana istana saat raja bertamasya tak bisa dipercaya. Dia melakukan pengkhianatan. Dia melakukan kudeta. Tapi keyakinan badut tak dihiraukan raja tua tersebut.

Cara mempresentasikan King Lear, raja tua yang sudah mulai hilang ingatan yang tengah rehat berlibur jauh dari istana, tak terduga. Suatu saat ia disorong dalam sebuah kotak plastik yang ukurannya tampak tak cukup menampung tubuhnya hingga kakinya harus menekuk. Tubuh raja tua yang dimainkan Alexander G.B. telanjang. Ia dikesankan tengah mandi di sebuah bathtub.

King Lear, yang dipentaskan Komunitas Berkat Yakin di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 7 Oktober lalu, bertolak dari naskah penulis Jepang, Rio Kishida (1946-2003), Lear Asia. Naskah ini mencuat tatkala sutradara Singapura, Ong Keng Seng, mementaskannya secara multibahasa keliling Jepang dan Eropa serta mampir di Jakarta pada 1997. Ia menggunakan aktor Cina, Jepang, Thailand, dan Malaysia yang di panggung berdialog dengan bahasa masing-masing. Penata tari saat itu adalah Boi G. Sakti dan penata musik Rahayu Supanggah. Pertunjukan Ong Keng Seng tersebut terasa eklektik. Tapi strategi artistik pentas Komunitas Berkat Yakin juga terasa penuh percampuran unsur.

Pertunjukan yang mengawali Pekan Teater Nasional hasil kerja sama Dewan Kesenian Jakarta dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu dibuka secara mengejutkan dengan lagu Paint It Black dari The Rolling Stones. Raja Lear dikelilingi oleh Putri Sulung (Erma Yunita) dan tiga bayangannya. Raja sepuh itu digambarkan memiliki perhatian kepada putri sulungnya karena dianggap menjaga kekuasaannya. Tapi ia merendahkan Putri Bungsu (Mike Fena), yang dianggap tak mempedulikan kekuasaan.

Adegan-adegan pentas tak realis, condong simbolis. Strategi artistik Ari Pahala, sutradara Komunitas Berkat Yakin, yang terus-menerus menghadirkan sisipan dan interupsi tari secara tiba-tiba ke tengah ade-gan terasa segar. Tarian perempuan itu menjadi metafor bagi watak-watak Putri Sulung. Tarian itu sebagai cerminan lapisan ketidaksadaran Putri Sulung. Diiringi tabuhan, kemunculan tari menjaga tempo pertunjukan tidak kendur. Meski banyak menggunakan kosakata ragam tradisi khazanah tari Sumatera, terutama elemen tortor, pertunjukan tak terjebak pada sebuah pentas bunga rampai. Kemampuan Ari mencampurbaurkan dan menjuktaposisikan tari dengan berbagai elemen pop, seperti musik Rolling Stones di atas menjadi penyebabnya.

Ari tak mentah-mentah mementaskan Lear versi Rio Kishida. Dalam pementasan selama dua jam itu, ia melakukan adaptasi terhadap beberapa teks di naskah asli yang ditulis Kishida, terutama dalam struktur. ”Tapi dialog para karakternya tetap sama. Hanya ada bagian-bagian dialog yang kami padatkan supaya teks menjadi lebih solid dan cergas,” ucapnya.

@evatobing1112/Dewan Kesenian Jakarta

Ari ingin menonjolkan kalimat-kalimat yang puitis. ”Kamu telah meninggalkan takhta. Menelantarkan kebesaran raja,” kata Putri Sulung ketika ayahnya kembali ke istana. Lear tercengang melihat sikap anaknya. Tapi Putri Sulung dengan sinis mengejek ayahnya: ”Jadi kamu kembali? Kalau begitu, aku akan menyiapkan kamar untukmu. Bagaimana kalau kandang kuda? Atau kamu memilih penjara?” ujarnya.

Raja tua merasa ditipu putrinya. Ia terdiam, lalu marah-marah sampai akhirnya terjatuh ke tanah. ”Hari esok senantiasa ada. Apa guna hari ini berduka? Esok adalah esok. Hari ini, hari ini. Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok hari. Di dunia ini segalanya terbalik, rajaku! Jika Anda ratapi pengkhianatan putrimu, balaslah! Bila Anda murka lantaran takhtamu dicuri, rebut kembali! Begitu kan, Raja? Anda masih raja, bukan? Masih, kan? Dunia ini gila, sinting, edan.” Badut menghibur raja malang itu.

Ari terutama mampu menghadirkan perasaan getir sang raja. Khususnya suasana adegan-adegan setelah Putri Bungsu dibunuh oleh kakaknya. Strategi menampilkan kolase berbagai rekaman audio dan musik, yang sesungguhnya bila diputar sendiri-sendiri sangat tidak berkaitan satu sama lain, mampu melahirkan pemaknaan pada adegan. Tiba-tiba ada pidato propaganda Nazi untuk menggambarkan bagaimana Putri Sulung menguasai kerajaan dan kemudian berubah gila karena dirasuki berbagai sifat jahat.


 

Ari tak mentah-mentah mementaskan Lear versi Rio Kishida. Dalam pementasan selama dua jam itu, ia melakukan adaptasi terhadap beberapa teks di naskah asli yang ditulis Kishida, terutama dalam struktur. ”Tapi dialog para karakternya tetap sama. Hanya ada bagian-bagian dialog yang kami padatkan supaya teks menjadi lebih solid dan cergas,” ucapnya.

 


 

Tiba-tiba menggaung di panggung, suara Gregorian menyanyikan Ave Maria dan Libera Me, Domine. Panggung seolah-olah diseret ke dalam suasana rekuiem. Juga tatkala menggema komposisi Sarabande dari Handel. Raja tua dengan tertatih-tatih membawa kain melambangkan kematian putri bungsunya. Di lantai, dipasang pacak-pacak pendek kayu bercabang yang mengesankan salib berduri. Tiba-tiba muncul adegan pertarungan silat, yang melambangkan perebutan kekuasaan.

Alexander G.B. mampu menampilkan secara simbolis raja yang kesepian, raja yang rapuh, raja yang kehilangan dan terombang-ambing dalam kekosongan. Erma Yunita, yang memerankan Putri Sulung, cukup bisa menampilkan keculasan. Danil Padila sebagai badut cekatan hilir-mudik, meski bagi mereka yang pernah menyaksikan permainan Godi Suwarna sebagai badut yang mendampingi Suyatna Anirun, pemeran King Lear, dalam pentas StudiKlub Teater Bandung, itu masih terasa belum apa-apa.

Akhirnya Putri Sulung menikam sang ayah. Lear rebah ke tanah. Lagu Johnny Cash, The First Time Ever I Saw Your Face, yang menggema di panggung terasa membawa kita ke suasana masygul.

SENO JOKO SUYONO, PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus