Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan helikopter tempur dikirim menuju Damaskus, Suriah. Rusia-lah pemasoknya. Helikopter ini melengkapi tank dan artileri berat milik militer Suriah yang akan digunakan menghadapi suku-suku pemberontak di berbagai daerah. Eskalasi serangan dari kubu pemerintah meningkat setelah kekerasan menewaskan 108 orang di Kota Houla akhir bulan lalu. Bak api disiram bensin, kelompok kesukuan bangkit melawan pemerintah. Presiden Suriah Bashar al-Assad makin tak mampu mengendalikan. "Ini bisa menjadi perang saudara," kata Perwakilan Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Operasi Penjaga Perdamaian di Suriah, Herve Ladsous, Rabu pekan lalu.
Ketika semua langkah menabrak tembok, Assad terjepit pada satu cara: kekerasan. PBB menyatakan korban tewas sejak bergulirnya gerakan revolusi melawan Assad mencapai 9.000 orang. Maret tahun lalu, gerakan kesukuan ikut memicu kerusuhan bersamaan dengan bentrokan oposisi dan militer. Militer mengepung Kota Homs, Allepo, Dera'a, dan wilayah perbatasan Suriah-Turki yang dianggap menjadi pusat gerakan oposisi. Kelompok penentang pemerintah, Dewan Nasional Suriah, semakin kuat. Sejumlah suku di Suriah yang selama ini berada di area abu-abu—tidak mendukung ataupun menentang rezim Assad—satu per satu bergabung dengan oposisi. Gerakan perlawanan anti-Assad yang dimotori sejumlah suku telah menjangkau hingga wilayah pedesaan.
Dewan Nasional Suriah mengklaim telah mendapat dukungan dari berbagai suku di Suriah sejak pertengahan April lalu. Para pemimpin suku di Suriah, yang biasa disebut syekh, membentuk Dewan Suku. Mereka siap menjalankan peran utama dalam politik Suriah tanpa melihat perbedaan agama, ideologi, dan daerah asal. "Dewan Suku telah mendukung kami," kata perwakilan suku yang juga anggota Dewan Nasional Suriah, Mahmut al-Maslat, saat membacakan pernyataan persekutuan. Ia mengklaim telah menggaet beberapa pemimpin suku yang mewakili 40 persen dari jumlah penduduk Suriah. "Kami siap mengubur perbedaan," kata Ahmad al-Jaburi, salah satu perwakilan suku Arab.
Sebelum Dewan Suku merapat, sebenarnya beberapa suku telah menyatakan dukungan kepada oposisi. Misalnya, persatuan suku di Suriah, yang berjumlah 20, di antaranya Jabbour, Ta'i, Al-Hasakah, dan Ounaiza, pada awal Februari tahun lalu mulai menunjukkan sikap antipemerintahan Assad, yang otoriter. Para syekh sempat bertemu dengan pemerintah Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Amerika Serikat secara diam-diam.
Mereka memang harus bertindak sangat hati-hati agar tidak salah langkah, yang membuat etnis mereka dihabisi pasukan pemerintah. Deklarasi mendukung oposisi diunggah di Internet dalam tayangan berdurasi tiga menit. Sejumlah pemuda berpakaian ala tentara, menutup sebagian mukanya dan memegang senjata, menyatakan sebagai suku penentang pemerintah. "Kami terpanggil melawan pemerintahan yang korup, otoriter, dan menggelar pemilihan baru," kata Syekh Ali Issa al-Abeid, seorang kepala suku Arab di Suriah.
Suku Baqqara, yang menguasai Kota Deir al-Zor, semula menempel pada pemerintah, tapi balik badan. Deir al-Zor merupakan kota tambang minyak bumi. Syekh Nawaf al-Bashir, pemuka suku Baqqara, ikut memperpanjang barisan anti-Assad setelah ada ancaman atas keselamatan keluarganya. Baqqara memiliki pengikut 1,2 juta orang atau sekitar enam persen dari jumlah penduduk Suriah. Dia pun sempat ditahan militer selama 72 hari. Al-Bashir pernah memuji reformasi pemerintahan yang dilakukan Assad di siaran televisi nasional Suriah. Namun kini dia menyatakan ingin menggulingkan rezim yang ia sebut sebagai mafia dan pembunuh itu.
Tak sekadar menunjukkan dukungan politik, beberapa suku di Suriah juga bergabung dalam kelompok bersenjata melawan pemerintah Assad, khususnya Pasukan Pembebasan Suriah (FSA) dan afiliasinya. Pasukan Pembebasan Suriah didominasi pemuda dari suku yang membelot dari militer Suriah. Mereka berjuang di daerah masing-masing. Mereka mendapat pasokan senjata dari kerabat sesuku yang tinggal di luar Suriah. Suku-suku yang tersebar di timur dan timur laut Suriah, seperti Shammar, Baggara, Jabbour, Dulaim, dan Ougaidat, memiliki hubungan erat dengan suku Sunni di Arab Saudi, Qatar, dan Irak.
Seorang syekh asal Irak mengaku telah mengirim uang US$ 300 ribu atau sekitar Rp 2,7 miliar beserta ratusan pucuk senjata api. Mereka berutang budi karena, ketika krisis politik di Irak pada 2004, ratusan ribu warganya mengungsi ke wilayah timur Suriah. Seorang syekh lainnya bercerita, suku Sunni Suriah juga membeli persenjataan dari Al-Qaidah, seperti 50 roket peluncur granat, 100 senapan mesin, dan beberapa senapan laras panjang seharga Rp 680 juta. Milisi Sunni Irak juga banyak menyeberang ke Suriah.
Sikap suku-suku yang akhirnya melawan pemerintah sebenarnya merupakan hasil dari kebijakan rezim Assad sendiri. Selama memerintah, Assad menekan dan melemahkan kelompok-kelompok yang tidak loyal dan memberi keistimewaan terhadap yang setia. Bahkan politik adu domba pun dilakukan terhadap suku Jabbour, Al-Hasakah, dan Ta'i, yang tinggal di wilayah timur, yang diadu dengan Kurdi. Pemerintah menjanjikan memasok senjata dan uang logistik sebagai hadiah loyalitas mereka terhadap pemerintah bila bersedia memerangi Kurdi.
Jalinan hubungan suku-suku di Suriah dengan pemerintah Partai Baath Suriah berawal ketika Presiden Hafez al-Assad—ayah Bashar al-Assad—berkuasa pada 1970. Setelah Hafez merengkuh pemerintahan, ia membutuhkan dukungan kuat dari rakyatnya. Caranya dengan menggencarkan pengembangan pertanian dan reformasi agraria. Partai yang beraliran sosialis itu mengucurkan bantuan dana ke setiap desa untuk mengembangkan pertanian.
Ketika kondisi politik dan ekonomi memburuk pasca-Arab Spring, hubungan pemerintah pusat dengan sejumlah suku tak berjalan mulus. Apalagi Partai Baath dikuasai aliran Alawit dari Syiah, sedangkan suku di Suriah mayoritas Sunni. Kecenderungan melawan pemerintah pun menguat. Pemerintah mengambil langkah tegas melemahkan suku dan pemimpin lokal melalui intimidasi dan infiltrasi atau membangun ketergantungan. Pemimpin yang berpengaruh dipindahkan. Kepala suku diiming-imingi hidup tenang di kota besar, seperti Damaskus dan Allepo. Maka kekuatan dan kendali kewenangan para syekh juga melemah.
Pemerintah membatasi kucuran bantuan dan pembangunan ke wilayah selatan dan timur. Generasi muda pun banyak yang menjadi penganggur dan melarat. Kondisi yang buruk telah memicu wilayah itu menjadi basis perlawanan. Hasan al-Shammari dan Hamza Khateeb adalah dua pemuda pencetus kekuatan oposisi di wilayah itu. Mulanya pemerintah Assad mencoba menjinakkan mereka dengan cara merekrut anak-anak muda menjadi anggota paramiliter dengan nama Shabiha, pasukan yang setia kepada Assad. "Assad mengirim utusan 50 orang mengenakan pakaian adat untuk membujuk, tapi kami tolak," kata seorang pemuda lokal.
Mayoritas anggota paramiliter Shabiha adalah etnis Alawit, kekuatan pendukung utama Bashar al-Assad. Shabiha tak pernah dijerat hukum meski gerombolan ini bertindak kriminal. Mereka menyelundupkan tembakau, barang-barang elektronik, mobil, barang antik, dan obat-obatan dari Libanon. Pekerjaan lainnya adalah memeras pelaku bisnis. Mohammad, yang mendukung oposisi, mengatakan tetangganya yang awalnya miskin telah memiliki rumah megah hanya dalam beberapa bulan setelah bergabung dengan Shabiha. "Dulu mereka sampah, kini berada di atas," kata Joshua Landis, peneliti Suriah di University of Oklahoma, Amerika Serikat.
Shabiha menjanjikan akan mengamankan kekuasaan Assad, bahkan menjadi pasukan berani mati. Mereka membarter loyalitas dengan jaminan pemerintah tak mengutak-atik semua sepak terjang mereka. Menurut Landis, aksi Shabiha untuk membendung para pembelot dan menakut-nakuti oposisi. Hanya, kata dia, Shabiha tidak memiliki pemimpin. Maka pemerintah kesulitan mengendalikan gerakan kelompok ini.
Pada akhirnya kekuatan sejumlah suku di Suriah semakin berbeda kutub—antara yang pro dan yang anti terhadap pemerintah. Perang saudara sudah terasa di ambang mata.
Eko Ari Wibowo (Jamestown.org, Reuters, Al Arabiya, The Daily Star, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo