Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senyum mengembang dari bibir Hamid Karzai di Balai Agung Rakyat, Beijing, Jumat dua pekan lalu. Mengenakan setelan serba hitam dibalut jubah bercorak garis-garis hijau-biru, Presiden Afganistan itu menjabat erat tangan Presiden Cina Hu Jintao. Karzai pantas tersenyum karena kunjungannya ke negara jiran tak sia-sia. Cina menjanjikan bantuan 150 juta yuan atau setara dengan Rp 220,5 miliar pada tahun ini.
Dalam pertemuan itu, Karzai dan Hu meneken kesepakatan kerja sama di berbagai bidang, antara lain perdagangan, ekonomi, investasi, pengembangan infrastruktur, dan energi. Kedua negara juga sepakat bertukar intelijen dan memperkuat kerja sama melawan terorisme, imiÂgrasi ilegal, serta perdagangan senjata ilegal dan narkotik. "Saat ini Afganistan memasuki masa transisi yang kritis. Cina adalah tetangga tepercaya dan teman Afganistan," ujar Hu kepada Karzai.
Cina memasukkan Afganistan sebagai pengamat dalam Organisasi Kerja Sama Shanghai, blok kerja sama pertahanan antarpemerintah yang didirikan Cina, Rusia, Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan pada 2001. "Dalam sepuluh tahun terakhir, hubungan kami tumbuh ke arah positif, makin meningkat dan mendalam," kata Karzai.
Bagi Cina, kerja sama pertahanan itu penting untuk meredam pemberontakan etnis muslim Uyghur di wilayah otonomi Xinjiang di bagian barat Cina. Lebih dari satu dekade terakhir, sejumlah kelompok separatis bekerja sama dengan Taliban untuk memerdekakan diri dari Cina. "Cina membantu komunitas internasional di Afganistan, tapi tak mau mengirimkan militernya," tulis Zhao Huasheng, Direktur Pusat Kajian Rusia dan Asia Tengah di Universitas Fudan, Shanghai.
Menurut Direktur Keamanan Yayasan Asia-Pasifik, yang berbasis di London, Sajjan Gohel, selama ini Cina telah menjalin komunikasi dengan Taliban melalui saluran-saluran di dalam militer Pakistan. "Beijing ingin mendapat jaminan bahwa Taliban tak akan memberi suaka atau menyokong teroris Uyghur setelah penarikan pasukan," katanya.
Namun perhatian utama Cina bukan kerja sama militer, melainkan ekonomi. Cina bergerak cepat menancapkan pengaruhnya di Afganistan menjelang penarikan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat dari negara itu pada 2014. Pada Desember 2011, perusahaan minyak milik pemerintah, China National Petroleum Corporation (CNPC), menjadi perusahaan asing pertama yang mendapatkan tender eksÂplorasi minyak dan gas alam di Afganistan. CNPC mendapatkan konsesi dua blok di Cekungan Sungai Amu Darya selama 25 tahun. Cekungan tersebut terletak di Provinsi Sari Pul dan Faryab di timur laut Afganistan. Awal tahun ini, Presiden CNPC untuk Urusan Internasional Lu Gong Xun menyatakan pihaknya akan membangun kilang minyak pertama di Afganistan dalam tiga tahun ke depan. Perusahaan itu menggandeng Grup Watan, perusahaan lokal milik sepupu Karzai.
Menteri Pertambangan Afganistan Wahidullah Shahrani mengatakan nilai awal proyek itu US$ 700 juta atau sekitar Rp 6,6 triliun. Menurut dia, bila proyek itu sudah beroperasi, nilai sesungguhnya bisa sepuluh kali lipat. Ia mengatakan pemerintah Afganistan akan mendapat bagian 70 persen dari keuntungan penjualan minyak. Afganistan menyiapkan unit khusus beranggotakan personel polisi dan tentara untuk menjaga proyek tersebut.
Blok ini pernah dieksplorasi oleh Uni Soviet pada 1960-an. Kala itu Soviet memperkirakan cadangan emas hitam di cekungan tersebut mencapai 87 juta barel. Namun baik Afganistan maupun Cina memperkirakan cadangannya jauh lebih besar dari itu. Survei yang dilakukan Soviet menyatakan Afganistan kaya mineral, seperti minyak, gas alam, tembaga, bijih besi, uranium, dan litium. Menurut lembaga Survei Geologis Amerika Serikat, cekungan Afgan-Tajik, zona geologis di timur laut Afganistan, diperkirakan memiliki cadangan minyak 1,9 miliar barel dan gas alam cair 1,5 miliar barel. Namun perusahaan-perusahaan tambang Barat enggan berinvestasi karena keamanan tak terjamin dan infrastruktur rusak akibat perang.
Sejauh ini perusahaan-perusahaan Cina yang paling agresif berinvestasi di Afganistan. Tiga tahun lalu, China Metallurgical Construction Co (MCC) menandatangani kontrak eksplorasi tembaga di Aynak, Provinsi Logar, sekitar 40 kilometer sebelah selatan Kabul. Perusahaan itu menanamkan investasi US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 330,7 triliun sekaligus menjadi investasi asing terbesar di Afganistan.
Juru bicara Kementerian Pertambangan, Jawad Omar, mengatakan, sesuai dengan perjanjian kontrak, CNPC dan Grup Watan akan mulai memproduksi minyak pada Oktober 2012. Selama ini, kata Omar, setiap tahun Afganistan selalu mengimpor minyak dari negara lain. Nilainya mencapai US$ 3 miliar per tahun.
Cina tak cuma tergiur emas hitam, tapi juga merambah ke sektor infrastruktur kereta api. Duta Besar Cina untuk Afganistan, Xu Feihong, mengatakan, dua pekan lalu, sejumlah insinyur dari China Railway Company—anak perusahaan MCC—tiba di Afganistan untuk memulai kajian teknis pembangunan jalur kereta api. Mereka juga akan melatih insinyur Afganistan di bidang konstruksi kereta api. "Insinyur kami berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum Afganistan," kata Xu.
Jalur kereta api sepanjang hampir seribu kilometer itu akan menghubungkan tambang tembaga Aynak dengan Provinsi Kabul, Nangarhar, Torkhan, Hairantan, hingga perbatasan dengan Uzbekistan di utara. Menurut Wahidullah Shahrani, pembangunan jalur kereta api merupakan kewajiban MCC, yang memenangi tender pada 2008. "Kajian teknis akan dilakukan China Railway Company, perusahaan kereta api ternama," ujarnya seperti dikutip situs berita Afganistan, TOLOnews, Kamis dua pekan lalu. Ia mengatakan seluruh biaya pembangunan jalur kereta api—sekitar US$ 4 miliar—ditanggung MCC.
Kerja sama infrastruktur menjadi salah satu perhatian Cina, selain sektor energi. Meluasnya ancaman teroris dan minimnya infrastruktur untuk mengangkut sumber daya alam ke Cina menjadi alasannya. "Kerja sama ekonomi dan perdagangan antara Cina dan Afganistan bergantung pada situasi keamanan di Afganistan," kata pakar Asia Selatan di Universitas Peking, Wang Lian, seperti dikutip The Financial Times.
Namun manfaat kerja sama pertambangan dengan Cina itu belum dirasakan masyarakat Aynak. Mullah Mira Jan, pemimpin suku di Desa Aynak, mengatakan ia pernah dijanjikan pekerjaan di tambang tembaga pada era Presiden Daud Khan pada pertengahan 1970-an. Namun janji itu menguap seiring dengan invasi Uni Soviet ke Afganistan pada 1979. "Saya didaftarkan sebagai pekerja harian," ujar Mira Jan sambil menunjukkan selembar tanda pengenal lusuh. "Ini foto saya waktu berumur 14 tahun."
Mira Jan mengatakan, hingga jenggotnya memutih, tambang itu belum juga beroperasi. Padahal, kata dia, perjanjian kontrak dengan MCC sudah diteken lima tahun silam. Inilah yang membuat sejumlah pihak ragu Cina bakal mematuhi isi perjanjian kontrak. "Kapan tambang itu menghasilkan pendapatan untuk negara dan perusahaan yang telah berinvestasi?" ujar Haseeb Humayoon, seorang konsultan pertambangan di Kabul.
Sapto Yunus (Xinhua, Reuters, AP, The New York Times, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo