TEHERAN terasa sepi dan mencekam pekan ini. Polisi dan laskar Ansar'e Hezbolah—semacam Pam Swakarsa yang dilengkapi senapan otomatis—terlihat di mana-mana, terutama di depan gerbang Universitas Teheran. Sementara itu, ribuan mahasiswa yang sempat enam hari berturut-turut berunjuk rasa, di lebih dari selusin kota, sulit dicari batang hidungnya.
Padahal, Selasa lalu, lebih dari 10 ribu mahasiswa masih bentrok dengan polisi dan laskar Ansar di berbagai bagian ibu kota Iran ini. Pertarungan akhirnya merebak menjadi kerusuhan. Bus dibakar, toko-toko dilempari batu, dan kantor koran "pro-status-quo" Kayhan nyaris dibakar. Mereka ramai menuntut agar Ayatullah Ali Khamenei, penguasa utama di negara yang menasbihkan diri sebagai negara Islam itu, mundur. Mereka juga mengajuk agar iklim kehidupan yang dirasa terlalu represif dilonggarkan. Mereka minta reformasi digulirkan.
Reformasi? Begitulah istilah yang digunakan oleh kaum muda yang umumnya menjadi pendukung Presiden Mohammad Khatami yang dikenal luas sebagai tokoh reformis itu. Mullah terpandang yang bersikap moderat ini berhasil mengalahkan tokoh yang direstui Ali Khamenei dalam pemilu untuk kursi kepresidenan, Mei 1997. Namun, itu tidak lantas berarti presiden yang banyak senyum ini dapat segera mengubah Iran sesuai dengan pandangannya. Kelompok konservatif masih menguasai parlemen, jajaran penegak hukum, dan dinas intelijen. Lagi pula, mereka didukung sang penguasa tertinggi, Ayatullah Khamenei.
Itu sebabnya upaya reformasi mantan menteri kebudayaan ini—dijatuhkan kelompok konservatif pada 1992—dihadang di mana-mana. Pendukung utamanya, seperti Gholamhossein Karabaschi, Wali Kota Teheran yang populer, dijebloskan ke penjara dengan tuduhan korupsi. Koran Salam, yang rajin mendukung Khatami, diberangus, 7 Juli lalu, dengan alasan yang dicari-cari.
Kebanyakan orang menyangka dibredelnya Salam itu karena terlalu berani melacak pembunuhan pasangan aktivis Dariush dan Parvaneh Foruhar. Menteri tenaga kerja dalam kabinet pertama era Ayatullah Khomeini dan istrinya itu ditemukan tewas oleh tusukan pisau bertubi-tubi, 22 November lalu.
Presiden Khatami membentuk komisi investigasi untuk menguak kasus pembunuhan pasangan yang kerap keluar-masuk penjara karena kegiatan politiknya itu. Kemudian terungkap bahwa pembunuhan misterius itu dilakukan oleh 10 oknum dinas intelijen, termasuk seseorang yang berpangkat deputi menteri yang kemudian ditemukan tewas di tahanan karena "minum cairan peluruh bulu."
Pemberitaan pers tentang kasus seperti ini rupanya membuat dukungan rakyat terhadap Khatami makin menguat. Buktinya, para pendukungnya berhasil meraih 80 persen suara dalam pemilihan parlemen lokal, Februari lalu. Maka, bisa dimaklumi jika parlemen yang dikuasai kaum konservatif segera menyusun rancangan undang-undang pers yang sangat represif setelah Salam dibungkam. Wajar juga jika 200 mahasiswa Universitas Teheran lantas turun ke jalan untuk memprotesnya.
Protes itu semula berjalan damai. Namun, polisi kemudian bertindak brutal dengan menyerbu asrama mahasiswa untuk menangkapi mereka, 8 Juli lalu. Bentrok tak dapat dihindarkan. Peluru muntah dari laras senjata dan seorang mahasiswa tewas serta puluhan lainnya luka dan ditangkap.
Penembakan dan penyerbuan inilah yang membuat ribuan mahasiswa di berbagai kota lantas berunjuk rasa. Mereka menuntut Kepala Polisi Iran dipecat. Pemberhentian komandan lapangan penyerbuan tak membuat demo mereda, bahkan tuntutan melebar menjadi meminta Khamenei turun. Maka, polisi dan laskar Ansar pun semakin keras bertindak dan kerusuhan pun sempat marak.
Khatami tak bisa lain kecuali mengutuk terjadinya kerusuhan itu. Ia mengimbau agar para pendukungnya berhenti berunjuk rasa, apalagi ketika kelompok konservatif kemudian mengorganisasi 100 ribu pendukung mereka untuk turun ke jalan, Rabu lalu. Kerumunan yang terdiri atas wanita yang mengenakan chador hitam dan pria berbaju longgar ini meneriakkan yel-yel anti-AS dan tekad bulat untuk mempertahankan sistem Islam di Iran.
Untunglah mahasiswa, yang umumnya menyatakan tidak anti-sistem Islam, tak meladeni demo tandingan yang berlangsung dua jam ini. Walhasil, Teheran pun kembali tenang kendati tetap terasa mencekam.
Sebab, tak seorang pun tahu sampai kapan ketenangan ini akan bertahan.
BHM, R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini