Pada awal kemenangan kaum mullah dalam Revolusi Iran pada 1979, Iran adalah sebuah negeri bertemperamen tinggi, khususnya terhadap Barat. Kepemimpinan Ayatullah Khomeini, yang menjatuhkan Shah Iran dukungan AS dalam sebuah revolusi, menjadikan wajah Iran tampak garang dan siap melindas apa saja yang berbau Barat. Meskipun demikian, sebenarnya citra mullah tak segarang yang muncul ke permukaan.
Kalangan mullah sebenarnya terbelah dalam dua kelompok, yaitu mullah yang digolongkan sebagai Ruhaniyyun-i-Mubbarriz, yakni ulama yang berpendangan moderat, dan kelompok Ruhaniyyat-i-Mubbariz, yakni ulama konservatif radikal. Perbedaan kedua kelompok ini adalah dalam menangkap isu politik luar negeri, khususnya dalam hubungan dengan negara Barat, dan masalah ekonomi antara penswastaan dan nasionalisasi. Kelompok moderat umumnya didukung oleh intelektual berpendidikan Barat.
Konflik acap kali mencuat di antara kedua kelompok ini dalam perebutan pengaruh politik. Sejak awal revolusi hingga wafatnya Ayatullah Khomeini pada 1989, kelompok garis keras menguasai atmosfer politik Iran. Korban pertama konflik garis keras dengan kelompok moderat adalah Abol Hassan Bani-Sadr, bekas presiden Republik Islam Iran, yang didepak Imam Khomeini karena tak sejalan dengan politik garis keras rezim mullah. Padahal, Bani-Sadr adalah penasihat Khomeini selama memimpin kampanye menjatuhkan Shah Iran dari tempat pengasingannya di Paris.
Sejak saat itu, korban dari kelompok moderat terus berjatuhan, antara lain Perdana Menteri Sadeq Gotzadeh, yang dihukum mati pada 1982, dan bahkan Ayatullah Montazeri, yang sempat ditasbihkan sebagai pengganti Imam Khomeini. Montazeri dipecat sebagai putra mahkota karena mengkritik pembantaian tahanan politik. Anehnya, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, yang waktu itu menjabat selaku ketua parlemen, yang juga dianggap sebagai ulama moderat yang mengkritik pemecatan Montazeri, selamat dari murka sang Imam Besar.
Atmosfer politik Iran mulai lebih berwarna saat Ayatullah Khomeini wafat pada 1989, yang kemudian digantikan oleh Ali Khamenei. Bekas presiden Iran ini waktu itu dianggap sebagai ulama moderat, bersama-sama Hashemi Rafsanjani. Duet kedua tokoh inilah yang kemudian membawa angin segar pada kelompok moderat di Iran, apalagi kemudian Rafsanjani terpilih sebagai presiden pada 1989.
Sejak saat itu, popularitas Rafsanjani makin meningkat. Ia berhasil meredam konflik tajam antara kelompok moderat dan kelompok konservatif. Kebijakan politiknya yang "bermuka dua" membuat ia terpilih sebagai presiden untuk periode yang kedua pada 1993. Bahkan, ia didukung oleh Ahmad Khomeini, anak Imam Khomeini, yang merupakan tokoh konservatif. Tapi secara cerdik Rafsanjani tetap mengembangkan politik moderatnya, yang kemudian "diwariskan" kepada Mohammad Khatami, yang menggantikannya sebagai presiden pada 1997 lewat pemilu yang sangat demokratis.
Sejak Khatami berkuasa, citra Iran semakin moderat lewat dukungan kuat kaum muda terpelajar yang lahir pascarevolusi. Tapi kekuatan kelompok konservatif masih terus membayangi lewat kekuatan politik riil di parlemen dan militer. Bahkan, pemimpin spiritual Ali Khamenei, yang dulu merupakan ulama moderat, kini berada di kubu konservatif. Aksi mahasiswa dalam dua pekan terakhir ini mungkin akan menentukan pemenangnya: moderat atau konservatif?
Rfx
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini