Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Maut Mengintai di Pantai Surabaya

Air susu ibu penduduk Kenjeran, Surabaya, tercemar logam berat. Tapi pemerintah seperti tak peduli. Calon Minamata berikutnya?

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU laut menyengat hidung. Aroma khas kampung nelayan menebar di sepanjang Kenjeran, kawasan pantai timur Surabaya. Beberapa perempuan sibuk menjemur ikan di bawah siraman matahari. Di atas puluhan anyaman bambu, berjajar adonan kerupuk ikan, udang, dan terung yang sedang dikeringkan. Sejumlah lelaki tampak mencangkung, merajut jala. Anak-anak berlarian di gang sempit, di tepi kali berair hitam. Lalat mendengung seperti suara rebab. Ketenangan pecah saat penduduk tahu ada wartawan datang. Beberapa perempuan datang merubung dengan gusar. "Gara-gara berita sampean, dagangan saya tak laku," kata Muslichah. Perempuan 37 tahun ini mengeluh, dalam sebulan terakhir, penjualan kerupuk merosot. Semula, ia mengaku bisa menjual kerupuk kewer rata-rata 10 kilogram sebulan. Setelah ada berita pencemaran di Pantai Kenjeran, penjualan makanan khas Surabaya ini anjlok hingga kurang dari separuh. "Saya rugi," kata Muslichah, ketus. Pertengahan Juni lalu, sejumlah surat kabar memang memuat laporan penelitian kontaminasi logam berat pada ibu hamil dan balita di Kenjeran. Penelitian ini digelar Pusat Kajian Regional Gizi Masyarakat dari Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit Eschborn, sebuah LSM Jerman. Responden yang dipilih adalah 94 ibu menyusui berusia 20-50 tahun dan 10 balita. Hasilnya mengejutkan. Semua sampel darah balita mengandung timbal melebihi batas normal, yang 10 mikrogram per liter. Sampel darah ibu-ibu, 71 persen melebihi nilai ambang batas timbal (30 mg per liter), 33 persen melebihi ambang batas kadmium (5 mg per liter), dan 8,5 persen melampaui ambang batas merkuri (15 mg per liter). Semua sampel air susu ibu alias ASI juga mengandung timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) lebih dari batas ambang yang ditentukan oleh Center for Disease Control. Celakanya, sampai kini belum ada satu pihak pun yang merasa perlu melakukan sesuatu. Padahal, ini bukan hasil penelitian pertama yang mengkhawatirkan. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya pernah meneliti pencemaran di Kenjeran. Hasilnya, berbagai jenis kerang dan ikan di Kali Wonoayu, kawasan pantai timur Surabaya, diketahui tercemar logam berat. Rupanya, sederet penelitian itu lebih sering tersimpan di laci ketimbang dipakai untuk menggebrak para pencemar. Buktinya, pabrik-pabrik di bagian "bokong" kota Surabaya ini masih saja leluasa membuang limbah ke Sungai Wonoayu. Ikan yang berenang di lautan beracun menyerap logam berat. Manusia yang menyantap ikan tercemar itu, mau tak mau, juga menimbun logam berat dalam tubuhnya. Dan karena tak ada penyuluhan, para penduduk rupanya tak paham dengan bahaya yang mengancam. Beberapa warga mengaku heran, mengapa ASI istri dan darah anak-anak mereka dinyatakan tercemar. "Kami tak pernah sakit macam-macam. Paling-paling masuk angin. Malam dikerokin, paginya sembuh," kata Abdul Hasan, seorang nelayan. Dampak logam berat memang tak langsung terasa. Setelah bertahun-tahun, logam yang mengendap dalam tubuh ini mengacaukan sistem pernapasan. Pertumbuhan sel otak balita bisa terhambat. Akibatnya, tingkat kecerdasan merosot. Logam berat juga sanggup melumpuhkan jaringan saraf seperti di telinga, lidah, dan mata. Contoh legendaris ulah logam berat terjadi di Minamata, Jepang. Dalam kurun waktu 1932-1968, pabrik kimia Chisso Corp. membuang 600 ton limbah methyl mercury ke Teluk Minamata. Akibatnya, lebih dari 2.000 orang cacat seumur hidup. Di Indonesia, gejala serupa Minamata pernah muncul di Teluk Jakarta. Di sini, 17 sungai—tempat ribuan pabrik melepas limbahnya—bermuara. Pada awal 1980, kadar merkuri Teluk Jakarta 0,007 ppm, di atas batas normal yang dibolehkan, yang hanya 0,005 ppm. Pada 1985, tiga remaja belasan tahun dilaporkan lumpuh mendadak dengan gejala mirip dengan penderita di Minamata. Sampai kini, pencemaran Kenjeran maupun Teluk Jakarta belum ditangani secara serius. Memang, korban yang nyata-nyata jatuh karena tercemar logam berat belum ada. Adji Vera Hakim, ahli gizi dari Universitas Indonesia yang memimpin penelitian di Kenjeran, merekomendasikan beberapa langkah darurat. Misalnya, penduduk harus diberi penyuluhan, bagaimana meminimalkan dampak logam berat. "Makan ikan boleh saja, tapi, buang bagian usus dan hati. Logam berat terkumpul di kedua organ itu," katanya. Selain itu, sumber pencemar tentu saja harus ditindak sesuai dengan peraturan. Itu artinya, pengawasan pengolahan limbah pabrik harus diperketat. Jangan menunggu sampai ketenangan di Kenjeran berubah menjadi kepiluan. Mardiyah Chamim, Hardy Hermawan, dan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus