SITUASI politik di Papua Nugini bak roller-coaster. Bayangkan. Hanya beberapa saat setelah Perdana Menteri Bill Skate mengundurkan diri, nama John Pundari, Ketua Advance PNG Party (APP) disebut-sebut sebagai bintang muda yang dijagokan seluruh negeri. Nyatanya, pada pemilihan perdana menteri Papua Nugini, 14 Juli 1999, nama Sir Mekere Morauta, pimpinan People's Democratic Movement (PDM), justru menang.
Pemilihan tersebut memang untuk mengisi kekosongan pemerintahan setelah peristiwa mundurnya Bill Skate secara mendadak akibat langkahnya membuka hubungan diplomatik dengan Taiwan (TEMPO edisi 12-16 Juli 1999). Konsesinya adalah pinjaman US$ 2,35 miliar, yang bertujuan menyelamatkan negara dari krisis ekonomi. Cara nekat itu diambil karena Skate terlanjur menolak bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang memberikan persyaratan reformasi kebijakan fiskal dan sektor publik.
Terpilihnya Morauta, menurut harian The Australian, merupakan "saat yang paling dramatis di dalam sejarah politik Papua Nugini". Senin pekan lalu, hanya nama Pundari yang beredar sebagai calon kuat pengganti Skate. Bahkan, dalam hasil simulasi pemilihan di parlemen, Pundari mengalahkan Morauta dengan 57 lawan 45. Perubahan dukungan itu terjadi hanya dalam 20 jam sebelum pemilu berlangsung.
Cerita bermula dari Mirigini House, kediaman Skate, Ketua PNG First Party yang masih menjadi pejabat perdana menteri. Di tempat itulah Pundari bersama 57 anggota parlemen yang mendukungnya merancang skenario. Isi skenario: anggota parlemen, yang merupakan gabungan dari partai Pundari dan Skate, akan memberikan suara kepada Pundari. Dengan demikian, Skate masih bisa campur tangan ke pemerintahan. "Saya yakin, dalam pemilihan nanti, pemerintahan saya akan menang," kata Skate, sehari sebelum pemilihan.
Pundari mendapat informasi bahwa kubu Morauta berencana memberikan suara kepada Chris Haiveta, salah satu kandidat perdana menteri dari partai yang memerintah. Setelah itu, wakil Pundari sempat bernegosiasi dengan pihak Morauta agar sebaiknya mengalirkan suaranya ke pihak Pundari. Jawaban yang diberikan ternyata tak pasti: yang datang pertama itulah yang dilayani.
Esok harinya, beberapa saat setelah jam gedung parlemen menunjukkan pukul 9.30, dengan pengawalan polisi, rombongan Pundari berangkat dari Mirigini House ke gedung parlemen, yang jaraknya hanya beberapa ratus meter. Tiba-tiba dua dari tiga kendaraan rombongan Pundari berbelok masuk ke pintu masuk untuk partai oposisi. Sambil mengacung-acungkan tangan, mereka berteriak bahwa mereka telah membentuk pemerintahan baru.
Setengah jam kemudian, Morauta memimpin pihak oposisi memasuki ruangan sidang, dengan Pundari berjalan di sampingnya. Pemandangan itu menunjukkan betapa tak jelas arah angin politik Papua Nugini.
Tiupan arah angin terasa ketika kursi anggota parlemen di deretan pemerintah hanya terisi 27 orang saja, sisanya duduk di deretan oposisi. Toh Havieta masih menunjuk Pundari sebagai calon perdana menteri. Pundari pun menolak dan serta-merta menyebut nama Morauta, sementara Pundari diangkat sebagai wakil perdana menteri.
Sebenarnya masyarakat sudah menjagokan pasangan Morauta, 53 tahun, dan Pundari, 32 tahun, sebagai perdana menteri dan wakil perdana menteri setelah Skate mundur. Menurut harian nasional Papua Nugini, Post Courier, kombinasi tersebut mencerminkan kesegaran generasi muda, tetapi toh tetap berpengalaman dan matang dalam dunia politik. "Morauta bukan orang yang haus kekuasaan," kata seorang anggota parlemen. Latar belakangnya sebagai pengusaha dan jabatannya yang bekas direktur bank sentral sangat cocok dengan kondisi Papua Nugini. Sementara itu, Pundari, yang aktif di Gereja Advent Hari Ketujuh, dinilai sebagai politisi yang bermoral mulia.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah pasangan itu benar-benar mampu menyelamatkan Papua Nugini? Ujian mereka yang terbesar adalah bagaimana mereka bisa menyelesaikan kasus Taiwan. "Pemerintah butuh waktu 30 hari untuk mengkaji masalah Taiwan," dan,"Kami akan mencoba berunding lagi dengan IMF dan Bank Dunia," demikian bunyi janji pemerintahan Morauta-Pundari. Janjinya untuk menyelesaikan soal Taiwan tentu akan penting, bukan hanya untuk kepentingan dalam negeri, tetapi juga regional. Papua Nugini pasti harus tetap memandang "saudara tua", Australia, dan negara-negara ASEAN di sekelilingnya, yang mengakui Cina dan bukan Taiwan.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini