Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Salman rushdie, tentang islam dan ..

Beberapa hari setelah buku the satanic verses karya salman rushdie dibakar orang Islam yang marah di Inggris, salman menulis risalah tentang bukunya di the new york reviews of book, edisi 2 maret 1989.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA hari setelah buku The Satanic Verses dibakar orang Islam yang marah di Bradfrod, Inggris, Januari yang lalu, Salman Rusdhie menulis risalah ini. Pokok-pokok penting tulisan itu kami terjemahkan dari The New York Review of Books, edisi 2 Maret 1989: Muhammad bin Abdullah, salah satu jenius terbesar dalam sejarah duni, seorang saudagar yang sukses, jenderal yang menang, negarawan yang piawai, dan juga seorang nabi, sepanjang hidupnya menegaskan bahwa ia seorang manusia yang biasa saja. Tak ada potret dirinya yang dibuat semasa ia hidup, sebab ia takut bila ada gambar seperti itu yang dibuat, orang akan menyembah potret itu. Ia hanya utusan, pernhawa pesan pesan itulah yang harus dihormati. Sedang tentang wahyu itu sendiri, Muhammad merasakan akibatnya yang pedih. Kadang ia mendengar suara kadang ia melihat hal-hal yang tak dilihat orang: kadang, ujarnya, kata-kata terdapat dalam batinnya yang paling dalam, dan -- pada saat-saat begitu -- proses lahirnya kata-kata itu mengakibatkan rasa sakit fisik yang akut. Ketika wahyu mulai datang, ia cemas jangan-jangan jiwanya terganggu, dan hanya setelah diyakinkan oleh istri dan para sahabatnya ia tak menolak bahwa dialah penerima Sabda, pemberian ilahi itu. Agama yang dibangun Muhammad berbeda dari agama Kristen dalam beberapa hal yang penting: Nabi tak diberi status keilahian. Sang teks (Quran -- Red.) yang punya status it. Juga layak ditunjukkan bahwa Islam tak mensyaratkan suatu tindak penyembahan kolektif ataupun suatu kasta pendeta yang jadi perantara. Kaum mukminin langsung berkomunikasi dengan Tuhan mereka. Tapi, kini suatu puak kependetaan yang kuat telah mengambil alih Islam. Mereka inilah Polisi Pikiran zaman ini. Mereka telah mengubah Muhammad jadi satu mahluk yang sempurna, mengubah wahyu yang diterimanya jadi satu kejadian yang jelas dan tanpa ambiguitas, meskipun aslinya tak demikian. Tabu-tabu yang perkasa didirikan. Orang tak boleh mendiskusikan Muhammad sebagai manusia, dengan kebajikan dan kelemahan manusiawinya. Orang tak boleh mendiskusikan pertumbuhan Islam sebagai fenomen sejarah, sebagai suatu idelogi yang lahir dari zamannya. Tabu-tabu itulah yang telah dilanggar The Stanic Verses. Pelanggaran tabu itulah yang menyebabkan buku itu dikutuk, dikecam, dan dibakar..... Seni nonvel adalah satu hal yang dengan mesra dekat ke hati saya, sebagaimana para pembakar buku di Bradfrod itu menghargai jenis Islam militan mereka. Kesusastraan adalah tempat saya pergi untuk menjelajah yang paling tinggi dan paling rendah dalam masyarakat manusia dan rohani manusia, tempat saya berharap akan menemukan bukan kebenaran mutlak, melainkan kebenaran dongeng, dari imajinasi, dan dari hati. Maka, pertempuran sekitar The Satanic Verses dalam arti tertentu adalah sebuah benturan keyakinan. Lebih tepat lagi, benturan antara bahasa. Dalam Perang Kata ini, para wali penjaga kebenaran agama telah mengucapkan sejumlah dusta kepada para pengikut mereka. Misalnya saya dituduh menyebut Muhammad sebagai setan. Ini karena saya memakai kata Mahound yang, berabad-abad yang silam, memang dipakai sebagai istilah yang memburuk-burukkan. Tetapi novel saya mencoba dengan segala cara menguasai kembali citra yang negatif, untuk merebut kembali bahasa yang pejoratif, dan di halaman 39 menjelaskan: "Untuk mengubah penghinaan menjadi kekuatan, kaum whigs, tories, bangsa Hitam, semuanya memilih untuk dengan bangga mengenakan nama yang semula diberikan untuk merendahkan mereka begitu pulalah penyendiri kita yang suka mendaki gunung dan terdorong jadi nabi itu harus disebut....Mahound." Bahkan judul novel itu disebut bersifat menghujat tetapi kata-kata itu bukan kata-kata saya. Datangnya dari al-Tarabi, salah satu sumber Islam yang sah. Tabari menulis, "Tatkala Rasulullah mendapatkan kaumnya menjauh dari dirinya ... ia pun dengan senang hati sebenarnya menginginkan agar hal-hal yang terlampau memberatkan mereka jadi sedikit lunak adanya." Muhammad kemudian menerima ayat yang menerima tiga dewi pujaan orang Mekah sebagai makhluk perantara. Orang Mekah pun bersukacita. Kemudianl, Malaikat Jibril memberi tahu Muhammad bahwa itu tadi adalah "ayat-ayat Setan", yang dengan cara palsu datang dari Iblis yang menyamar, dan ayat-ayat itu pun kemudian disingkirkan dari Quran. Tapi Jibril menghibur hati Muhammad nabi-nabi sebelumnya juga pernah mengalami kesulitan yang sama untuk hal yang sama. Bagi saya, dengan mengatasi godaan itu Muhammad tak menjadi cela, justru sebaliknya. Malaikat Jibril merasakan hal yang sama, namun musuh-musuh novel saya kurang toleran ketimbang para malaikat. Orang-orang yang berlebihan semangat keagamaanya menyerang saya degan menyamakan buku saya dengan pornografi, dan menuntut agar keduanya dilarang. Banyak juru bicara Islam membandingkan karya saya dengan anti-Semitisme. Tetapi penyebalan intelektual (intellectual dissent) tak berarti pornografis ataupun rasialis. Saya telah mencoba memberikan satu pandangan yang humnanis dan sekuler tentang lahirnya sebuah agama besar dunia.... Dunia Muslim kini penuh sensor, dan banyak penulisnya yang besar terpaksa membisu, terbuang, atau takluk .... The Satanic Verses bukanlah, pada pandangan saya, sebuah novel antiagama. Buku ini suatu ikhtiar untuk menulis tentang migrasi,. tekanan hati serta transformasinya, dari pandangan kaum migran yang datang dari anak benua India ke inggris. Bagi saya, itulah ironi yang paling menyedihkan, setelah bekerja lima tahun untuk memberi suara dan raga rekaan kepada kebudayaan migran yang salah satu anggotanya adalah diri saya sendiri, saya harus melihat buku saya dibakar, dan umumnya tak dibaca, oleh orang-orang yang dikisahkannya, orang-orang yang mungkin akan menemukan di dalamnya kenikmatan serta pengenalan kembali. Saya mencoba menulis melawan stereotip, tapi protes dari mereka yang berrlebihan semangat agamanya justru semakin mengukuhkan sterotip paling buruk tentang dunia Muslim dalam pandangan Barat. Betapa lemahnya peradaban betapa mudahnya, betapa meriahnya sebuah buku terbakar....!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus