TATKALA prosesi 40 mobil melewati jembatan istana, terdengar dentuman meriam 21 kali. Lalu requiem Kanashimi No Kiwami (sangat berduka cita) pun terdengar lamat-lamat. Iringan yang bergerak 10 km per jam itu menuju ke taman Shinjuku Gyoen, disaksikan sekitar 570 ribu rakyat Jepang yang berdiri dalam suhu 2,6 derajat Celcius. Prosesi yang makan waktu sekitar 4 menit itu disela insiden kecil: 2 orang anggota sayap kiri mencoba menghentikan iring-iringan mobil. Tapi pihak keamanan segera meringkus keduanya. Inilah upacara penguburan terbesar abad ini yang membanggakan rakyat Jepang. Inilah upacara pemakaman yang dihadiri 164 utusan negara, mengungguli jumlah utusan negara yang melayat Presiden Yuoslavia, Josip Broz Tito, yang hanya 110 utusan, sembilan tahun yang lalu. Itu soalnya bila PM Takeshita turun tangan langsung mengecek seluruh persiapan, beberapa hari sebelumnya. Tapi justru perhatian pemerintah ini, bagi rakyat Jepang, adalah pertanda campur tangannya pemerintah dalam upacara keagamaan. Hal ini bertentangan dengan UUD Jepang yang melarang pemerintah Jepang ikut campur tangan pada kegiatan agama jenis apa pun. Sebelumnya, soal ini ramai dibicarakan dalam sidang parlemen. Tapi kompromi antara yang tradisional dan modern di Jepang bukan sesuatu yang sulit dicapai. Dalam segala bidang, tampaknya hal itu terjadi dengan harmonis. Maka Takeshita memutuskan agar upacara pemakaman kali ini diselenggarakan dalam dua versi. Yakni upacara menurut agama Shinto, dan upacara oleh pemerintah Jepang. Lihatlah, ketika keranda -- berbentuk istana kayu yang berisi peti jenasah Kaisar Hirohito -- secara perlahan memasuki bangsal pemakaman, segera pintu masuk ditutup dengan tirai hitam. Itulah cara orang Jepang berkompromi. Upacara agama Shinto terselubung tirai itu dianggap tak disaksikan oleh para pejabat tinggi pemerintah Jepang. Dengan demikian, dianggap bahwa pemerintah tak terlibat dalam upacara keagamaan. Dalam upacara yang dibatasi tirai hitam itu Kaisar Akihito, kaisar baru, membacakan sambutan duka citanya. "... Selama lebih dari 60 tahun berada di singgasana, Kaisar senantiasa berdoa untuk kebahagiaan rakyat serta perdamaian dunia. Kaisar hidup bersama rakyat, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul pada era Showa yang penuh guncangan. Wajah dan sikap itu pasti akan tetap hidup di dalam hati rakyat..." Setelah beristirahat 10 menit, dan kayu warna putih setinggi 2,7 m -- simbol agama Shinto -- dicabut dari pintu gerbang, upacara pemerintah pun dimulai. Acara pertama adalah berdoa dalam hati. Pada waktu itu, sebagian besar rakyat Jepang dari generasi tua di cluruh Jepang diminta ikut berdoa. Namun -- inilah Jepang dengan generasi ajojingnya -- banyak pula kaum muda Jepang yang tak melakukan mokuto. Mereka lebih suka pergi ke luar kota bermain ski. Di Yuzawa, kota di Provinsi Niigata, utara Tokyo, misalnya, hari itu dibanjiri sekitar 40 ribu orang. Tak semua orang Jepang bersedia menahan diri buat Kaisar. Tentu, ada sambutan dari PM Takeshita. Antara lain ia mengatakan bahwa selama pemerintahan Kaisar Showa, Jepang mengalami bencana perang yang menyedihkan. Kemudian Kaisar terlibat dalam usaha pemulihan diri dari kekacauan dan kemiskinan. "Selama itu, Kaisar Showa selalu mengharapkan perdamaian dunia," ujar Takeshita penuh pujian . Hampir saja pidato Takeshita menimbulkan insiden. Kata-katanya -- yang tak sepatah pun mengakui invasi Jepang dalam Perang Dunia II -- segera diprotes keras oleh RRC dan Korea Selatan. Untunglah, negeri yang kini mulai menggeser AS sebagai penyumbang terbesar di dunia internasional ini cepat tanggap. Tiba-tiba saja, di luar jadwal yang sudah ditetapkan, Takeshita mengajak Menlu Qian Qichen bertemu di kantornya. Tak terbetik ke luar, bagaimana Takeshita meredakan protes itu. Rupanya Jepang sendiri menyimpan protes. Sejak Jumat pekan lalu. Di Tamah Shiba di Tokyo misalnya, sekitar seribu rakyat memprotes upacara pemakaman Kaisar. Selain itu, aksi teror dilancarkan pula oleh kelompok ekstrem kiri. Sebuah bom waktu meledak di tepi jalan bebas hambatan di sekitar kota Chofu, 30 menit sebelum iring-iringan mobil jenazah berlalu. Bom waktu yang diduga dipasang kelompok Kakurokyo (Asosiasi Buruh Revolusioner) itu meruntuhkan tanah tanggul, tapi keburu dibereskan oleh polisi antihuru-hara. Bagaimanapun, ini memang upacara besar. Sebanyak 226 orang utusan berbagai negara dunia memberikan penghormatan terakhir di depan peti jenazah Kaisar Hirohito. Satu per satu mereka menundukkan kepala sejenak. Rombongan pertama terdiri dari 12 orang berdarah biru. Raja Baudouin dari Belgia mendapat kesempatan pertama, disusul Raja Hussein dari Yordania, Raja Juan Carlos dari Spanyol, dan bangsawan lainnya. Setelah itu, barulah rombongan kedua. Berturut-turut memberikan hormat terakhirnya: Presiden Francois Mitterand dari Prancis disusul presiden Jerman Barat kemudian Presiden AS George Bush Presiden Zambia dan Presiden Soeharto beserta Nyonya Tien dan para utusan negara lainnya, serta para hadirin yang jumlah seluruhnya mencapai 10 ribu orang. Inilah upacara pemakaman yang menelan biaya sekitar 9,7 milyar yen (Rp 132 milyar), yang mendatangkan 1.500 wartawan dari 50 negara. Selain berita dan laporan pandangan mata tanpa bumbu yang bisa menyakitkan hati orang Jepang misalnya yang dilakukan oleh media massa AS -- ada pula media massa asing yang mengungkit-ungkit peranan Kaisar Hirohito dalam Perang Dunia II. Harian Dong-A Ilbo, surat kabar terkemuka Korea Selatan misalnya, Sabtu pekan lalu, mengecam kunjungan PM Kang Young-Hoon ke Tokyo. Surat kabar itu menegaskan kembali bahwa Kaisar Hirohito adalah penjahat perang yang bertanggung jawab atas usaha memusnahkan bangsa Korea dari muka bumi. Tak-lah pantas bila seorang pemimpin Korea Selatan ikut hadir dalam pemakaman Hirohito. Setelah upacara selesai, dan jenasah Kaisar Hirohito telah dimakamkan di makam Musashino No Misasagi di dalam hutan di Kota Hachioji, sebelah barat Tokyo yang bersalju itu, adalah masalah yang tetap tinggal: apakah tanggung jawab Kaisar Hirohito -- melibatkan Jepang dalam Perang Dunia II -- ikut terkubur? Sementara itu, pemerintah Jepang mengumumkan amnesti kepada sekitar 11 juta narapidana dengan hukuman ringan. Juga menjadi pertanyaan: adakah lembaga kekaisaran masih akan bertahan di Jepang? Memang, begitu Hirohito mangkat, tahun Showa pun berganti dengan tahun Heisei, meski baru musim gugur tahun depan Kaisar Akihito dilantik sebagai kaisar baru. Dalam upacara itu nanti, sebagai Kaisar Jepang ke-125, ia akan dilantik dalam upacara yang misterius yang disebut Daijo Sai. Dalam upacara yang hanya dihadiri oleh kerabat istana itu nanti, konon, Kaisar Akihito akan makan hasil panen rakyat Jepang --antara lain nasi, sayuran, rumput laut -- bersama Dewa Amaterasu Omikami (Dewa Matahari). Lewat upacara tersebutlah, Akihito, 55 tahun, akan dianggap sebagai "Dewa Yang Hidup", yang menjelma menjadi manusia. Memang khas, bagaimana Jepang memadukan antara yang kuno dan modern, yang mitos dan kenyataan, antara "dosa masa lalu" dan "negeri donor masa kini".Seiichi Okawa (Tokyo) & Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini