SEORANG lagi tohoh pejuang pergi. Dia, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, 80 tahun, yang nyaris tak dikenal generasi muda. Belakangan ia diketahui sebagai anggota DPR MPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Itu pun secara samar-samar. Karena pada usianya yang lanjut. Yuti -- panggilan akrabnya -- tak mungkin lagi berbicara keras di parlemen seperti ketika masih muda sebagai "orang pergerakan". Sayuti, lahir di Sleman, Yogyakarta, 1908, dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan dari tulisan tangan Bung Karno. Kini, sejak Senin lalu, sejarah juga mencatatnya sebagai "orang pergerakan" yang keluar-masuk penjara selama 18 tahun -- antara lain karena dituduh sebagai seorang "Marxis". Ia meninggal setelah menderita sakit tua hampir setahun. Yuti memang tokoh kontroversial. Ia dikenal sebagai penyebar Marhaenisme yang gigih. Karena itu, Yuti pernah duduk di kursi pimpinan PNI, kemudian meloncat ke Partindo dan akhirnya balik ke PNI. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia mengusulkan mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Sebagai "murid Bung Karno yang masih berotak sehat", seperti dikatakannya sendiri pada 1964, ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme -- disiarkan sekitar 50 koran dan majalah -- kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak membonceng karisma Bung Karno. Nasionalisme rupanya sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya, Abdul Mu'in, bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca berkala Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926. "Di Bandung saya membaca buku tulisan Tan Malaka Naar Republik Indonesia atau Menuju Republik Indonesia," katanya dalam buku Wawuncara dengan Sayuti Melik susunan Arief Priyadi. Nama Sayuti Melik tak bisa dipisahkan dari proklamasi kemerdekaan. Seperti yang juga pernah ia ceritakan kepada TEMPO pada 1982, konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo. Masih ada dua orang lagi yang ikut mendengarkan, yaitu wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno. Setelah selesai, dinihari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolak menekennya. Naskah proklamasi itu dianggap dibuat oleh orang-orang bercap "bekerja sama" dengan Jepang. Dalam suasana tegang itu, Sayuti melakukan lobi. Maka, muncullah gagasan Sayuti, yakni agar teks proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usul Yuti benar-benar meredakan ketegangan. Bung Karno pun segera memerintahkan tugas yang bersejarah itu kepada Sayuti, "Ti, Ti, tik, tik." Maksudnya: "Sayuti, Sayuti, segera diketik, diketik." Sayuti mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" dengan "Atas nama bangsa Indonesia". Bung Karno dan Bung Hatta kemudian membubuhkan tanda tangannya. Nama, Sayuti Melik, yang suka menggunakan nama samaran Si Kecil, atau Yuti, atau Mbah Sodrono, juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah pers antikomunis. Pada 1962 ia menulis artikel bersambung "Pembinaan Jiwa Marhaenisme" di harian Suluh Indonesia, trompet PNI. Tapi pimpinan PNI ketika itu, Ali Sastroamidjojo dan Surachman, tidak setuju karena isinya menyerang PKI. Sayuti lantas meneruskannya di harian Berita Indonesia dengan judul baru, "Belajar Memahami Sukarnoisme", oleh Mbah Sodrono. Di situlah antara lain Sayuti menentang Nasakom dan menggantinya dengan Nasasos. Tentu saja PKI marah. Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan 1977. Sayuti -- dimakamkan di TMP Kalibata -- pernah menerima Bintang Mahaputera Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Mahaputera Adipradana (II) dari Presiden Soeharto, 1973. Sebelum diberangkatkan, jenazah Sayuti disemayamkan di rumah duka yang kecil, di Taman Aries. Presiden Soeharto, Waki Presiden Sudharmono, sejumlah menteri dan beberapa tokoh politik tampak hadir melayat. Ucapan duka cita diterima oleh istrinya. Sementara, SK Trimurti, bekas istrinya semasa perjuangan, tampak menunggui Almarhum. Sayuti, sebelum istirahat abadi di TMP Kalibata, juga mendapat penghormatan terakhir di gedung wakil rakyat DPR. Di gedung ini, Yuti untuk terakhir kali mengabdi untuk rakyat menjelang usia lanjutnya.Budiman S. Hartoyo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini