KUNJUNGAN sekjen PBB Javier Perez de Cuellar ke Muangthai, pekan lalu, tidak membuat serangan musim kemarau Vietnam tertunda. Hanya beberapa jam sebelum pesawat yang ditumpangi De Cuellar mendarat di pelabuhan udara Don Muang, Bangkok, meriam-meriam Vietnam menghujani Dongruk, kamp sipil yang terletak 13 km di utara Ampil. Peluru menewaskan 15 penduduk Khmer, dan melukai 60 lainnya. Di kamp pengungsi Khao-I-Dang, 13 km dari tapal batas Muangthai-Kamboja, kunjungan sekjen PBB itu disambut tiga dentuman artileri di kejauhan. Kenyataan ini membuat pemerintah Muangthai membatalkan rencana muhibah De Cuellar ke dua tempat lainnya di sekitar perbatasan. Jumlah pengungsi Khmer yang memasuki wilayah Muangthai, hingga awal pekan ini, sudah mencapai 200 ribu orang. Niat Hanoi menghabisi gerilyawan Kamboja makin terungkap oleh pengakuan seorang perwira Vietnam yang menyeberang ke Muangthai. Dalam konperensi pers di Bangkok, minggu silam, Letnan Nguyen Van Hung menyatakan, kesatuannya ikut mempersiapkan serangan terhadap Dongruk. Para panglima divisi Vietnam, kata Vang Hung, "Berniat menghalau semua gerilyawan Kamboja tahun ini juga." Kekuatan gerilyawan Khmer saat ini antara 50 dan 60 ribu orang. Ofensif ini memang merepotkan pemerintah Muangthai. Menteri Luar Negeri Siddhi Savetsila, misalnya, makin sering berbicara tentang "ancaman Vietnam terhadap keamanan Muangthai". Tetapi, pihak militer tampaknya lebih realistis dalam menanggapi kehadiran pasukan Vietnam di Kamboja. "Tidaklah mungkin bagi Vietnam untuk menarik pasukannya dari kawasan itu," kata Letnan Jenderal Pichitr Kulavanijaya kepada wartawan AP. Pichitr, yang memegang sektor penting keamanan perbatasan, juga mengecam Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (KPNLF), yang menghadapi pasukan Vietnam dengan perang konvensional, dan bukan dengan taktik gerilya. Tidak seperti yang digaduhkan sebagian pengamat, "Kejatuhan Ampil tidak mengguncangkan militerThai," ujar Dr. Sukhumbhand Paribrata kepada wartawan TEMPO di Bangkok, Yuli Ismartono, Senin lalu. Menurut direktur Program Studi Keamanan Asia Tenggara, Institut Studi Keamanan dan Internasional, Universitas Chulalongkorn itu, "Sejak Juni 1980, Vietnam bukan lagi merupakan ancaman militer untuk Muangthai, melainkan ancaman subversi politik." Berdasarkan survei yang dilakukannya, 97,9% elite Muangthai mendukung asumsi ini. Kekuatan militer Vietnam, menurut Paribrata, tidaklah sehebat yang pernah dibayangkan. Itu terbukti Juni 1980, ketika tentara Muangthai memukul mundur pasukan Vietnam, yang masuk 3 km ke wilayah mereka, dalam operasi di desa perbatasan Nak Mak Mun. Tetapi, sambil mengakui pendapat Letjen Pichitr, Paribrata tidak melihat potensi KPNLF untuk membalikkan keadaan di Kamboja. Front yang dipimpin Norodom Sihanouk ini kurang pengalaman. Apalagi, seperti dikatakan Letjen Pichitr, "Barat dan RRC tidak sepenuh hati memberikan bantuan senjata kepada gerilyawan Khmer." Agak mengherankan, bila diingat, Uni Soviet menuangkan lebih dari US$ 1 milyar bantuan tahunan kepada Vietnam, di luar penempatan sejumlah senjata modern. MASALAH bantuan ini dikeluhkan terus terang oleh Kolonel Ea Chuor Kim Meng, kepala operasi militer KPNLF. "Kami sudah berhenti merekrut orang baru, karena kekurangan senjata dan makanan," katanya kepada Jack Wheeler, wartawan yang menulis di harian Asian Wall Street Journal. Khmer Merah, yang dibantu lebih banyak oleh RRC itu pun, menurut sang kolonel, tidaklah setangguh yang dibayangkan. "Mereka akan bergabung dengan pasukan nonkomunis, bila diberi makanan dan senjata," katanya. Nasib Kamboja, pada akhirnya, memang terpulang pada penduduk Khmer yang kini bernaung di bawah pemerintahan Heng Samrin. "Selama pemerintah ini tidak terlalu ketat mempraktekkan sosialisme, rakyat agaknya menunjukkan sikap toleran," tulis Jacques Bekaert di harian Bangkok Post.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini