Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ekonom

Para ekonom jatuh reputasinya di as. ramalan ekonominya rontok. mereka berpikir dengan model-model yang di ciptakan sendiri. tetapi mungkin kemelesetan ramalan lebih karena efektivitas politikus. (ctp)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tahun 1966, ketika Universitas Indonesia jadi semacam tungku bagi gerakan oposisi, seorang guru besar berpidato dan ia mengutip sepotong lelucon. Guru besar itu Widjojo Nitisastro, dan lelucon yang dikutipnya berasal dari Amerika Latin. Syahdan, kata sang lelucon, ada seorang yang berkata bahwa di negeri Amerika Selatan itu ekonomi hanya berjalan di malam hari. Ketika ditanya kenapa demikian, jawabnya: karena di malam hari pemerintah tidur. Widjojo, agaknya - kalau saya tak salah duga - mencoba menyindir perekonomian Indonesia masa itu: terlampau banyak pemerintah mencongkrongi dan mengatur, dengan segala ketidakbecusannya, hingga kehidupan perekonomian pun mencari jalannya sendiri. Tentu saja dengan susah payah. Siapa bilang ekonomi Indonesia waktu itu tidak tersengal-sengal? Kritik terhadap banyaknya tangan pemerintah seperti itu tampaknya selalu bisa kembali hangat - dan itu tak cuma di tahun 1966. Yang menarik ialah bahwa di tahun 1985 ini, di Amerika Serikat, orang tak cuma berbicara bagaimana sebaiknya pemerintah tidur, tapi juga bagaimana sebaiknya para ekonom pemerintah ikut lelap. Soalnya, Presiden Reagan telah membuktikan bagaimana pentingnya untuk menjadi bodoh. Seperti Presiden Soekarno dulu, ia juga menolak untuk dalam kata-kata Bung Karno "dicekoki Keynes". Tapi berbeda dengan Bung Karno, yang melihat Keynes sebagai pemikir dalam buku pelajaran kapitalisme, Reagan melihat yang "dicekoki Keynes" sebagai orang-orang yang murtad dari kapitalisme. Mereka ini tak percaya bahwa sebaiknya pemerintah tinggal berpangku tangan dan cuma menyediakan hal-hal pokok yang sehat, agar "pasar bebas" dapat berlangsung dengan segala sihirnya. Dengan keyakinan akan sihir di "pasar bebas" itulah Reagan memasang stafnya. Satu-satunya ahli ekonomi dalam kabinetnya, seorang yang pernah menulis buku tentang penyusunan beleid perekonomian, adalah George P. Shultz. Orang ini ia taruh sebagai menteri luar negeri. Sementara itu, orang yang merupakan arsitek utama kebijaksanaan ekonominya adalah Donald T. Regan, seorang yang bahkan mencemooh para ahli ekonomi. Ketika ditanya apakah dia seorang ekonom, orang dekat Presiden ini menjawab, "Saya sudah pernah diberi sebutan jelek lain sebelumnya, tapi disebut ekonom baru kali ini." Bila di Amerika Serikat, negeri yang terbanyak punya ahli ekonomi dalam daftar pemenang Hadiah Nobel, sebutan "ekonom" telah jadi sejenis lelucon - setidaknya bagi Regan - tentu ada yang tak beres yang pernah terjadi. Apa dosa seorang ekonom? Dosa seorang ekonom, dalam zaman Reagan & Regan ini, adalah semacam dosa keturunan. Di masa pemerintahan Carter, ada empat ekonom duduk di kabinet dan Dewan Penasihat Ekonomi amat penting, tapi inflasi ternyata tak bisa dibendung. Di masa Reagan, dengan satu ekonom yang berada di kursi yang jauh, justru inflasi itu reda, dan si dewan penasihat bahkan sedang dipertimbangkan untuk dibubarkan. Sementara itu, segala ramalan tentang ekonomi masa Reagan ternyata pada rontok. Dugaan semula ialah bahwa kebangkitan kembali ekonomi AS tak akan bisa lebih lama menghadapi defisit anggaran yang besar dan tingkat bunga pinjaman yang tinggi. Kini, itu ternyata tak terbukti. Dugaan semula ialah bahwa dolar tak akan bisa selama ini bertahan di atas. Kini, yang ribut karena jatuh adalah poundsterling. Ada yang mengatakan bahwa semua itu gara-gara para ahli ekonomi terlampau pintar dan lupa untuk jadi orang biasa. Mereka sibuk menghitung, menyusun angka-angka dalam komputer, dan tidak mendengar apa yang didengar dari orang ramai. Adapun orang ramai itu - setidaknya dalam pengalamanan orang Amerika kini - ingin agar pemerintah pergi tidur dan hidup tak diatur oleh para macromanagers, para birokrat di dalam departemen-departemen. Ada lagi yang punya teori lain berkenaan dengan gagalnya para ekonom itu. Mereka, demikian menurut teori ini, berpikir dengan model-model yang mereka bentuk sendiri dan bertolak dengan sandaran suatu ceteris paribus. Tapi di dunia kini, yang tiap satuan ekonomi praktis berkait dengan perekonomian dunia, ceteris paribus macam apa yang bisa dibayangkan? Saya sendiri bukan ekonom, dan tidak tahu apa itu ceteris paribus. Tapi, saya ingin juga mencoba membela para ekonom - yang siapa tahu di Indonesia akan ikut jatuh reputasinya seperti rekan-rekan mereka (yang umumnya seperguruan) di Amerika. Sebab, jangan-jangan letak kemelesetan ramalan suram tentang ekonomi Amerika bukan disebabkan oleh kekurang-becusan para ekonom, tapi lebih karena efektivitas seorang politikus. Nama politikus itu Ronald Reagan: bekas aktor yang enak bicara, yang menyenangkan, yang bisa omong kosong secara mengasyikkan - dan dalam keadaan baru sulit, bisa jadi tokoh populer yang sekaligus menularkan harapan. Siapa yang salah bila akhirnya para ekonom, para penuntut ilmu yang muram itu - a dismal science, indeed membutuhkan seorang seperti dia? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus