MARGARET Thatcher, yang tadinya dicela, kini mulai disegani di
Afrika Hitam. Peran PM Inggeris itu bahkan kini dipercayai untuk
memimpin konperensi tentang masalah Zimbabwe-Rhodesia di London
sekitar pertengahan September.
Konperensi itu bertujuan mewujudkan Lusaka plan. Di Lusaka,
ibukota Zambia, dalam konperensi Commonwealth (Persemakmuran
Inggeris dan bekas semua jajahannya) awal Agustus lalu telah
dicapai kompromi. Yaitu perlu diadakan pemilihan umum ulangan di
Rhodesia berdasar suatu konstitusi baru (TEMPO 11 Agustus).
Pemerintahan Thatcher semula sudah akan mengakui pemerintahan
Abel Muzorewa, hasil pemilu di Rhodesia April lalu. Pemilu April
itu -- karena dilaksanakan berdasar konstitusi ciptaan PM Ian
Smith yang menjamin dominasi kaum minoritas kulit putih -- telah
diboikot oleh kaum nasionalis kulit hitam yang tergabung dalam
Patriotic Front.
Dengan adanya rencana Lusaka itu PM Thatcher dianggap telah
memainkan diplomasi Commonwealth yang hebat. Yang jelas ialah
Commonwealth tidak jadi berantakan.
Presiden Kenneth Kaunda, tuan rumah, semula bahkan tidak hadir
di lapangan terbang ketika PM Thatcher tiba, mungkin karena
masih jengkel. Tapi wajah Presiden Zambia itu kemulian sungguh
berseri ketika konperensi usai. Foto keduanya -- Kaunda dan
Ny.Thatcher sedang berdansa dan gembira -- yang tersiar luas
telah cukup mengesankan.
Sekali ini kesempatan terakhir untuk mencari penyelesaian damai
di Rhodesia. Setidaknya, begitu pemerintahan Thatcher dan semua
negara "terdepan" (front-line) dengan Rhodesia melihatnya. Jika
rencana Lusaka gagal, mungkin terjadi perang yang berlarut
seperti di Mozambique, dan mengundang lagi tentara Kuba dan
pengaruh Uni Soviet.
Joshua Nkomo dan Robert Mugabe keduanya tokoh Front Patriotik,
dari semula mendapat dukungan negara-negara front-line, yang
justru belakangan ini diajak terlibat dalam rencana Lusaka tadi.
Maka Front Patriotik itu, seperti diduga semula, sudah cenderung
bersedia menghadiri konperensi London nanti. Apalagi Presiden
Julius Nyerere dari Tanzania, yang paling menonjol dari semua
front-line itu, tampak tegas mendukung rencana Lusaka.
Adalah sikap Salisbury, ibukota Zimbabwe-Rhodesia, yang pada
mulanya disangsikan. Tapi pekan lalu kabinet Muzorewa pun
menyetujuinya, suatu langkah mundur bagi Bishop Abel, karena
rupanya pengaruh PM Thatcher tidak bisa diabaikannya.
Muzorewa dkk tampaknya yakin bahwa kelompok mereka toh akan
menang lagi, seperti April dulu, dalam pemilu ulangan nanti.
Tentu golongan minoritas kulit putih sendiri pun sudah mulai
menyadari bahwa keamanan mereka akan lebih terjamin kalau ada
perdamaian dengan Front Patriotik.
Bekas PM Ian Smith, yang kini jadi anggota kabinet Muzorewa,
masih dianggap jurubicara kaum kulit putih. Tapi dalam usia 60
tahun sekarang, sikap Smith sudah jauh berobah dibanding dulu
tahun 1965 ketika dia memimpin gerakan illegal Rhodesia untuk
melepaskan diri dari Inggeris. Smith, tulis Daily Telegraph di
London, "diketahui ingin pensiun saja dari kegiatan politik jika
dan bila tercapai suatu persetujuan yang memuaskan yang memberi
kemerdekaan legal bagi Rhodesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini