IA nampak tenang berhadapan dengan delapan anggota dewan juri,
yang terdiri dari tujuh doktor berbagai bidang dan seorang
dokter. Jawaban-jawabannya cukup beralasan, dan 19 halaman
karya tulisnya yang berjudul studi Pendahuluan Pengembangan
Kupang sebagai Makanan Murah Cukup Gizi mudah dibaca dan jelas
maksudnya yang kurang jelas mungkin apa itu Kupang. Kupang
adalah binatang laut kecil-kecil sejenis remis, yang di Jawa
Timur biasanya digunakan sebagai lauk dimakan dengan lontong.
Atau dibuat petis, atau juga kerupuk.
Dan Kamis pekan lalu dewan juri menyatakannya sebagai pemenang
pertama Lomba Karya Ilmu Pengetahuan bagi Remaja, 1979.
Baswardono, anak itu, siswa kelas I SMA Negeri II Surabaya,
tergerak hatinya mendengar kemerosotan penghasilan nelayan
kupang (phylum Mollusca). Sebabnya, sebuah surat kabar Surabaya
memberitakan, penangkapan binatang laut tersebut dengan umpan
kotoran manusia. Waktu itu, Bas masih kelas III SMP. Untuk
memenuhi hasratnya, beberapa kali ia ikut nelayan kupang menuju
laut dan menyaksikan sendiri cara menangkap kupang.
Kesimpulannya: berita surat kabar itu tidak benar.
Tentu saja karya tulisnya tak hanya berisi cerita bagaimana
nelayan menangkap kupang. Tapi juga tentang pengolahan kupang,
perdagangan kupang, kadar protein yang dikandung kupang.
Bahkan juga tentang adat-istiadat nelayan di pantai utara Ja-Tim
yang menurut Bas merugikan kehidupan mereka.
Dan anak ini cukup kritis. Dalam pendahuluan karya tulisnya ia
menyebutkan kesulitan-kesulitannya yang klasik dalam melakukan
penelitian, antara lain kurangnya bahan bacaan, biaya dan
fasilitas laboratorium.
Yang harus disisihkan Bas memang tak banyak hanya 4 finalis.
Padahal, dalam ketentuannya dewan juri akan menyisihkan 10
finalis.
"Tahun ini peserta memang merosot," kata Andi Hakim Nasution,
Rektor IPB, yang tiga kali berturut-tutut menjadi ketua dewan
juri lomba karya ilmu pengetahuan ini. Dan kali ini pun --
seperti juga lomba pertama dan kedua -- peserta dari Jakarta
sedikit.
Ganti Nama
Kecuali merosotnya peserta (lomba I 800 peserta, II: 545 peserta
dan III 378) peserta, ketua dewan juri itu juga menceritakan
masih banyak peserta yang salah tafsir tentang apa itu karya
ilmu pengetahuan. "Ada peserta yang mengirimkan satu halaman
buku tulis dan menulis tentang pengaruh orang laki-laki dan
wanita terhadap buah rambutan," kata dr Kartono Mohamad, salah
seorang anggota dewan juri. "Diceritakannya, kalau laki-laki
yang memanjat pohon rambutan, buahnya utuh. Tapi kalau perempuan
yang memanjatnya, buahnya akan belah. Begitu saja, tanpa
argumentasi apa-apa."
Karena itu ada usul dari dewan juri untuk merubah nama menjadi
Lomba Karya Penelitian. Tapi Menteri P & K ingin memasukkan
istilah "ilmiah". Jadi kemungkinan tahun depan lomba ini menjadi
Lomba Karya Penelitian Ilmiah. Tapi cukupkah hanya dengan
mengganti nama?
"Sudah sejak yang pertama kali dulu tahun 1977, dewan juri
mengusulkan kepada panitia agar membuat brosur," cerita dr
Kartono. "Brosur itu berisi uraian apa yang dimaksud dengan
karya ilmu pengetahuan. Juga berisi contoh pemenang lomba,
disertai dengan kritik dewan juri terhadap kelemahan dan
kekuatannya. Juga contoh karya yang gagal dan ditunjukkan
kesalahannya sekaligus."
Yang menarik dari lomba ini, ternyata sebagian besar karya yang
masuk tentang ilmu-ilmu pengetahuan alam. Adakah ini
mencerminkan pembagian jurusan di SMA kita (Ilmu Pengetahuan
Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial) kurang beres? Artinya,
pembagian bukannya berdasar minat kepada ilmunya, tapi berdasar
kepandaiannya yang pintar masuk IPA, yang kurang masuk IPS?
"Mungkin saja. Tapi penelitian dalaltl bidang IPA memang lebih
mudah dijalankan," kata dr Kartono lagi. "Untuk anak-anak
sekolah menengah saya kira penelitian sosial kurang menarik dan
masalahnya lebih kompleks."
Dan lomba yang kedua, 1978 lalu misalnya, ada seorang siswa
sekolah menengah di Sukabumi yang meneliti beberapa cara dan
arti pemakaian peci para kusir dokar. Penelitian yang unik dan
menarik itu ternyata tak disertai kesimpulan apa-apa. "Agaknya
anak itu tak tahu harus diapakannya bahan penelitian yang bagus
tersebut," tutur Kartono.
Untuk tahun ini, pemenang kedua diraih Abraham Juda Rachman
siswa kelas III IPA SMA V Surabaya. Judul karyanya Penggunaan
Zat Antosianin dari unga Sepatu. Putera pertama seorang dokter
ini memilih bunga sepatu karena "melihat banyak sekali bunga
sepatu di tanam sebagai pagar."
Pemenang ketiga ada dua orang: Agus Sugianto, siswa kelas III
Listrik STM Pangudi Luhur, Yogyakarta dan Hery Suwarno, siswa
kelas III SMPP Pasuruan di Pandaan. Yang pertama karya tulisnya
berjudul Pengumpulan Energi Matahari dengan Air yang Dibentuk
Sebagai Lensa Plankoveks, yang kedua Peme riksaan Kesadaban Air
di Beberapa Tempat.
Kriteria dewan juri masih sama seperti tahun-tahun lalu:
pengetahuan dasar, pengetahuan sampingan, isi tulisan, keaslian,
penyajian, kelengkapannya. Dan terakhir, lewat satu wawancara
dengan dewan juri para finalis dinilai sikap ilmiahnya.
Sikap ilmiah ini rupanya yang mengangkat Baswardono melebihi
finalis lainnya. Hery Suwarno misalnya, banyak memberikan
jawaban yang kurang beralasan. Contoh: dia mencoba membuktikan
bahwa contoh-contoh air yang diambilnya dari sumur yang
berlainan merupakan air yang sama kadar mineralnya, misalnya,
dengan mengatakan: "Karena tiga sungai yang mengalir di daerah
itu pun berasal dari satu bukit." Sementara Baswardono, yang
menang, ketika ditanya apakah betul tepung yang terjadi dari
kupang itu tepung protein, menjawab: "Waktu itu saya belum
diajar kimia. Jadi terpaksa percaya kepada seorang mahasiswa
yang membantu saya." Seorang finalis lagi, Sa'dullah Ubaid,
bekas siswa SPG Negeri Pasuruan, karya tulisnya Obat Penenang
Nusa Indah, tak mendapat nomor.
Kenapa sikap ilmiah ditekankan benar? "Pada usia ini, 12-21
tahun, seseorang yang melakukan kesalahan-kesalahan dimaafkan.
Sebab informasi pengetahuannya memang masih kurang," kata Daoed
Joesoef sehabis membuka pameran pelukis Affandi, Rabu pekan
lalu. Dan tambahnya: "Tapi cara dewan juri menanya anak-anak itu
terlalu kaku. Bisa mengakibatkan anak jadi takut."
Adapun menurut Kartono Mohamad, kekakuan itu disebabkan situasi
ruang yang memang tak memberikan suasana akrab. "Dulu di ruang
yang lebih bebas suasana bisa lebih akrab. Tapi pertanyaannya
dari dulu begitu-begitu juga."
Terakhir, selain tetap mengusulkan pembuatan brosur agar
anak-anak tak salah tafsir apa itu karya ilmu pengetahuan, juga
diusulkan untuk membentuk kelompok-kelompok peneliti remaja yang
dibimbing tenaga ahli sukarelawan. Tentu itu sangat berguna.
Bukankah Baswardono sendiri anggota salah satu klub peneliti di
Surabaya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini