Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Kupang sampai Matahari

Lomba karya ilmu pengetahuan remaja thn '79 dimenangkan baswardono sma ii surabaya. dengan judul "studi pendahuluan pengembangan kupang sebagai makanan murah cukup gizi". diadakan oleh dep. p & k & pt. philips.(pdk)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA nampak tenang berhadapan dengan delapan anggota dewan juri, yang terdiri dari tujuh doktor berbagai bidang dan seorang dokter. Jawaban-jawabannya cukup beralasan, dan 19 halaman karya tulisnya yang berjudul studi Pendahuluan Pengembangan Kupang sebagai Makanan Murah Cukup Gizi mudah dibaca dan jelas maksudnya yang kurang jelas mungkin apa itu Kupang. Kupang adalah binatang laut kecil-kecil sejenis remis, yang di Jawa Timur biasanya digunakan sebagai lauk dimakan dengan lontong. Atau dibuat petis, atau juga kerupuk. Dan Kamis pekan lalu dewan juri menyatakannya sebagai pemenang pertama Lomba Karya Ilmu Pengetahuan bagi Remaja, 1979. Baswardono, anak itu, siswa kelas I SMA Negeri II Surabaya, tergerak hatinya mendengar kemerosotan penghasilan nelayan kupang (phylum Mollusca). Sebabnya, sebuah surat kabar Surabaya memberitakan, penangkapan binatang laut tersebut dengan umpan kotoran manusia. Waktu itu, Bas masih kelas III SMP. Untuk memenuhi hasratnya, beberapa kali ia ikut nelayan kupang menuju laut dan menyaksikan sendiri cara menangkap kupang. Kesimpulannya: berita surat kabar itu tidak benar. Tentu saja karya tulisnya tak hanya berisi cerita bagaimana nelayan menangkap kupang. Tapi juga tentang pengolahan kupang, perdagangan kupang, kadar protein yang dikandung kupang. Bahkan juga tentang adat-istiadat nelayan di pantai utara Ja-Tim yang menurut Bas merugikan kehidupan mereka. Dan anak ini cukup kritis. Dalam pendahuluan karya tulisnya ia menyebutkan kesulitan-kesulitannya yang klasik dalam melakukan penelitian, antara lain kurangnya bahan bacaan, biaya dan fasilitas laboratorium. Yang harus disisihkan Bas memang tak banyak hanya 4 finalis. Padahal, dalam ketentuannya dewan juri akan menyisihkan 10 finalis. "Tahun ini peserta memang merosot," kata Andi Hakim Nasution, Rektor IPB, yang tiga kali berturut-tutut menjadi ketua dewan juri lomba karya ilmu pengetahuan ini. Dan kali ini pun -- seperti juga lomba pertama dan kedua -- peserta dari Jakarta sedikit. Ganti Nama Kecuali merosotnya peserta (lomba I 800 peserta, II: 545 peserta dan III 378) peserta, ketua dewan juri itu juga menceritakan masih banyak peserta yang salah tafsir tentang apa itu karya ilmu pengetahuan. "Ada peserta yang mengirimkan satu halaman buku tulis dan menulis tentang pengaruh orang laki-laki dan wanita terhadap buah rambutan," kata dr Kartono Mohamad, salah seorang anggota dewan juri. "Diceritakannya, kalau laki-laki yang memanjat pohon rambutan, buahnya utuh. Tapi kalau perempuan yang memanjatnya, buahnya akan belah. Begitu saja, tanpa argumentasi apa-apa." Karena itu ada usul dari dewan juri untuk merubah nama menjadi Lomba Karya Penelitian. Tapi Menteri P & K ingin memasukkan istilah "ilmiah". Jadi kemungkinan tahun depan lomba ini menjadi Lomba Karya Penelitian Ilmiah. Tapi cukupkah hanya dengan mengganti nama? "Sudah sejak yang pertama kali dulu tahun 1977, dewan juri mengusulkan kepada panitia agar membuat brosur," cerita dr Kartono. "Brosur itu berisi uraian apa yang dimaksud dengan karya ilmu pengetahuan. Juga berisi contoh pemenang lomba, disertai dengan kritik dewan juri terhadap kelemahan dan kekuatannya. Juga contoh karya yang gagal dan ditunjukkan kesalahannya sekaligus." Yang menarik dari lomba ini, ternyata sebagian besar karya yang masuk tentang ilmu-ilmu pengetahuan alam. Adakah ini mencerminkan pembagian jurusan di SMA kita (Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial) kurang beres? Artinya, pembagian bukannya berdasar minat kepada ilmunya, tapi berdasar kepandaiannya yang pintar masuk IPA, yang kurang masuk IPS? "Mungkin saja. Tapi penelitian dalaltl bidang IPA memang lebih mudah dijalankan," kata dr Kartono lagi. "Untuk anak-anak sekolah menengah saya kira penelitian sosial kurang menarik dan masalahnya lebih kompleks." Dan lomba yang kedua, 1978 lalu misalnya, ada seorang siswa sekolah menengah di Sukabumi yang meneliti beberapa cara dan arti pemakaian peci para kusir dokar. Penelitian yang unik dan menarik itu ternyata tak disertai kesimpulan apa-apa. "Agaknya anak itu tak tahu harus diapakannya bahan penelitian yang bagus tersebut," tutur Kartono. Untuk tahun ini, pemenang kedua diraih Abraham Juda Rachman siswa kelas III IPA SMA V Surabaya. Judul karyanya Penggunaan Zat Antosianin dari unga Sepatu. Putera pertama seorang dokter ini memilih bunga sepatu karena "melihat banyak sekali bunga sepatu di tanam sebagai pagar." Pemenang ketiga ada dua orang: Agus Sugianto, siswa kelas III Listrik STM Pangudi Luhur, Yogyakarta dan Hery Suwarno, siswa kelas III SMPP Pasuruan di Pandaan. Yang pertama karya tulisnya berjudul Pengumpulan Energi Matahari dengan Air yang Dibentuk Sebagai Lensa Plankoveks, yang kedua Peme riksaan Kesadaban Air di Beberapa Tempat. Kriteria dewan juri masih sama seperti tahun-tahun lalu: pengetahuan dasar, pengetahuan sampingan, isi tulisan, keaslian, penyajian, kelengkapannya. Dan terakhir, lewat satu wawancara dengan dewan juri para finalis dinilai sikap ilmiahnya. Sikap ilmiah ini rupanya yang mengangkat Baswardono melebihi finalis lainnya. Hery Suwarno misalnya, banyak memberikan jawaban yang kurang beralasan. Contoh: dia mencoba membuktikan bahwa contoh-contoh air yang diambilnya dari sumur yang berlainan merupakan air yang sama kadar mineralnya, misalnya, dengan mengatakan: "Karena tiga sungai yang mengalir di daerah itu pun berasal dari satu bukit." Sementara Baswardono, yang menang, ketika ditanya apakah betul tepung yang terjadi dari kupang itu tepung protein, menjawab: "Waktu itu saya belum diajar kimia. Jadi terpaksa percaya kepada seorang mahasiswa yang membantu saya." Seorang finalis lagi, Sa'dullah Ubaid, bekas siswa SPG Negeri Pasuruan, karya tulisnya Obat Penenang Nusa Indah, tak mendapat nomor. Kenapa sikap ilmiah ditekankan benar? "Pada usia ini, 12-21 tahun, seseorang yang melakukan kesalahan-kesalahan dimaafkan. Sebab informasi pengetahuannya memang masih kurang," kata Daoed Joesoef sehabis membuka pameran pelukis Affandi, Rabu pekan lalu. Dan tambahnya: "Tapi cara dewan juri menanya anak-anak itu terlalu kaku. Bisa mengakibatkan anak jadi takut." Adapun menurut Kartono Mohamad, kekakuan itu disebabkan situasi ruang yang memang tak memberikan suasana akrab. "Dulu di ruang yang lebih bebas suasana bisa lebih akrab. Tapi pertanyaannya dari dulu begitu-begitu juga." Terakhir, selain tetap mengusulkan pembuatan brosur agar anak-anak tak salah tafsir apa itu karya ilmu pengetahuan, juga diusulkan untuk membentuk kelompok-kelompok peneliti remaja yang dibimbing tenaga ahli sukarelawan. Tentu itu sangat berguna. Bukankah Baswardono sendiri anggota salah satu klub peneliti di Surabaya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus