PRESIDEN Jimmy Carter mempersingkat perjalanan kampanyenya di
Chicago. Ia bergegas terbang kembali ke Washington. Minggu pagi
itu juga, Carter menye- lenggarakan sidang kilat dengan para
anggota Dewan Keamanan Nasional (NSC) di Gedung Putih. Suatu
berita penting dari Teheran harus dibicarakannya.
Majelis (Parlemen) Iran -- dihadiri 187 dari 228 anggotanya --
akhirnya, 2 November, menyetujui suatu rumusan syarat bagi
pembebasan 52 sandera AS. Keempat syaratnya yang harus dipenuhi
AS itu bertolak dari usul Ayatullah Khomeini (12 September) AS
berjanji tak akan melakukan campur tangan politik dalam negeri
Iran, AS harus mencabut semua claim atas Iran AS harus
mencairkan kekayaan Iran (US$ 8 milyar atau Rp 5 trilyun) di
berbagai bank AS, dan AS harus mengembalikan kekayaan Syah
Pahlavi ke Iran.
Demikian cepat perkembangan terjadi di Teheran. Dua hari
sebelumnya, sidang Majlis terhambat gara-gara sejumlah anggota
berhaluan keras memboikot. Ayatullah Sadegh Khalkali, yang
semula gemar menjatuhkan hukuman mati, melepaskan sorbannya di
sidang itu karena terlalu marah, dan mengecam tindakan itu
sebagai melawan kebijaksanaan Khomeini. Baru setelah Khomeini
memberi pengarahan dari Qom, parlemen bisa mencapai quorum untuk
bersidang.
52 Kartu
Dan menyusul keputusan Majlis, para mahasiswa militan (dengan
izin Khomeini) Senin pekan ini menyerahkan tanggung jawab atas
para sandera ke tangan PM Mohammad Ali Rajaie. Pemerintahan
Rajaie tampaknya segera akan menepati janji untuk mengakhiri
krisis sandera yang berusia setahun itu. Langkah ke arah itu
sudah muncul. Teheran, misalnya, telah meminta Aljazair yang
mewakili kepentingan Iran di AS supaya kelak menampung urusan 52
sandera itu.
Tapi Gedung Putih ternyata bersikap dingin dan hati-hati.
Senin pagi Presiden Carter muncul di layar televisi ABC.
"Keputusan Majlis itu sangat obyektif dan simpatik," katanya.
"Untuk usaha pembebasan sandera itu, kami akan mengambil langkah
berdasar hukum (AS) yang berlaku." Justru soal hukum AS itu akan
menghambat penglepasan para sandera.
Besar kemungkinan Teheran baru akan melepas para sandera
sesudah pemilihan Presiden AS (4 November) secara bergelombang.
Teheran tampaknya akan menguji lagi seberapa jauh keempat syarat
tadi dipenuhi Washington.
Publisitas mengenai keputusan Majlis itu sesungguhnya kurang
membantu posisi Carter. Bahkan dalam berbagai poll pendapat umum
terakhir, awal pekan ini, Ronald Reagan, calon Partai Republik,
sedikit mengungguli Carter. Namun Washington rupanya optimistis,
menurut laporan wartawan TEMPO Salim Said, hingga seorang
pejabat AS diam-diam telah terbang ke Wiesbadan, Jerman Barat,
membawa 52 kartu pemilih. Di sana, atau mungkin di suatu tempat
di Iran, para sandera diharapkannya mendapat kesempatan
menggunakan hak pilih mereka.
Walaupun kelak terpilih kembali sebagai Presiden AS, Carter
tampak akan sulit untuk memenuhi keempat tuntutan Iran. Untuk
mencairkan kekayaan Iran di berbagai bank AS dan cabangnya di
Eropa, misalnya, ia harus melampaui lebih dulu berbagai
perlgadilan federal AS. Karena sejak Iran menyandera 52 warga
AS, berbagai pengadilan federal telah menerima sekitar 250
pengaduan dan perintah penyitaan atas dana Iran yang dibekukan
berbagai bank AS. Perintah penyitaan itu kini ditaksir bernilai
US$ 8 milyar (Rp 5 trilyun), atau sama jumlahnya dengan yang
dibekukan.
Juga untuk mengembalikan kekayaan Syah Pahlavi--di berbagai
perusahaan AS ditaksir sekitar US$ 11 milyar (Rp 6,9 trilyun)
dan di bank Swiss sekitar US$ 20 milyar (Rp 12,6 trilyun)
--tidaklah mudah bagi Carter. Ali Reza Nobari, Gubernur Bank
Sentral Iran, memang menyadarinya. Bahkan menurut bekas PM
Shahpour Bakhtiar yang mengasingkan diri di Paris, AS sulit
memenuhi tuntutan pencairan kekayaan Iran dan pengembalian harta
Syah Pahlavi. "Saya tidak bisa membayangkan soal sandera ini
akan selesai dengan cepat," katanya.
Futurolog
Carter juga akan mengalami kesulitan dalam mengirimkan
perlengkapan militer milik Iran yang dibeli ketika Syah Pahlavi
berkuasa. Dari berbagai industri persenjataan AS, Syah Pahlavi
ketika itu memesan perlengkapan militer bernilai US$ 550 juta
(Rp 346 milyar). Kini Iran mengharapkan suplai militer itu yang
diperlukannya untuk melawan Irak. Tapi dalam hal ini Irak pasti
akan menarik perhatian Uni Soviet untuk campur tangan.
Suatu langkah pengiriman perlengkapan senjata ke Iran,
demikian Herman Kahn, Direktur Hudson Institute, AS, jelas akan
menyulut Perang Dunia berikutnya. Kahn, dikenal juga sebagai
futurolog, memberikan pendapatnya kepada sejumlah wartawan di
Hongkong. "Soviet tentu tak akan membiarkan hidung AS berlumur
darah di Teluk Persia. Suatu tindakan AS yang mencurigakan cukup
menjadikan alasan Soviet untuk bertindak," katanya.
Sementara itu di medan pertempuran terjadi perkembangan
mengejutkan. Asghar Ebrahimi MSc, 27 tahun, Menteri Perminyakan
Iran, bersama empat pembantunya telah disergap pasukan Irak di
suatu jalan Abadan. Mereka lalu ditawan di Baghdad. Tapi di
sekitar kota Abadan, Khorramshahr, Ahwaz dan Dezful, pasukan
Iran dikabarkan masih mematahkan gerak maju Irak. Bahkan pasukan
pengawal revolusi Iran, Pasdaran, telah menggagalkan suatu usaha
penyeberangan pasukan Irak melintasi jembatan ponton di Sungai
Karun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini