HINGGA akhir pekan silam, kemelut politik di Libanon telah
menelan korban 7 jiwa dan sejumlah besar yang luka-luka.
Korban-korban yang tercatat ini belum lagi meliputi jumlah
mereka yang diculik dan tak ketentuan nasibnya. Kekeruhan yang
kini lebih bersifat politis itu, sesungguhnya hanya merupakan
bentuk lain dan sekedar kelanjutan dari perang saudara sembilan
bulan antara golongan Kristen Maronit kanan lawan golongan Islam
kiri. Bentrokan yang kabarnya membawa korban 12 ribu jiwa itu 22
Januari yang lalu berhasil diakhiri berkat penengahan uria.
Rupanya persetujuan penengahan Suria itulah yang terlambat
dilaksanakan oleh Presiden Sulaiman Franjih sehingga timbul
ketegangan baru. Mula-mula terjadi desersi dalam Angkatan Darat
Libanon. Yang memimpin desersi yang bermula pada bulan silam itu
adalah Letnan Ahmad Khatib. Sembari membentuk "Tentara Arab
Libanon" ia juga mendesak agar Presiden Sulaiman Franjih segera
diganti, supaya perubahan-perubahan yang disepakati 22 Januari
meliputi terutama perimbangan kekuasaan antara Kristen Maronit
dan Islam serta perbaikan berbagai lembaga sosial politik
--segera bisa dilaksanakan.
Usaha Ahmad Khatib ini mendapat simpati diam-diam dari para
perwira tinggi Angkatan Darat Libanon. Desersi yang makin lama
makin menjadi-jadi, dibiarkan saja berlangsung. Keadaan gawat
ini tidak juga menggoyahkan keyakinan Sulaiman Franjih, meskipun
77 dari 99 anggota parlemen yang didominir oleh golongan Kristen
Maronit itu telah pula mendesaknya untuk mundur. Dengan alasan
legalitas, presiden yang berusia 65 tahun baru bersedia mundur
pada bulan Oktober nanti, yakni saat berakhirnya masa
jabatannya.
Akibat sikap keras kepala Franjih itu, Panglima Komando Militer
Beirut Brigjen Ais Ahdab, melibatkan diri tanggal 11 Maret yang
lalu. Hari itu ia membentuk apa yang disebutnya sebagai "Gerakan
Pembaharuan Nasional". Langkah terdekatnya: mengeluarkan
Sulaiman Franjih dari istana kepresidenan. Dengan segera terbina
hubungan antara Ahdab dengan Khatib. Tapi jenderal yang kemudian
menyatakan diri sebagai Gubernur militer sementara Libanon
nampaknya masih lebih menghendaki penyelesaian politik. "Krisis
negeri ini seyogianya diselesaikan secara politis. begitu Ahdab
berkata 16 Maret yang lalu. "Tapi kalau keadaan berlarut-larut.
ya, terpaksa kita ambil tindakan juga", ia menambahkan. Pada
hari itu juga ia mengumumkan rencana Komando tertinggi tentara
Libanon untuk membentuk Dewan Komando yang di dalamnya akan
termasuk letnan Ahmad Khatib dengan pasukan-pasukannya yang
makin membesar itu. "Letnan Khatib akan dinaikkan pangkatnya
menjadi mayor" Ahdab menjelaskan kemudian.
Pernyataan jenderal Ais Ahdab di depan sejumlah wartawan asing
di Beirut itu diberikan sehari setelah berlalunya sebuah
ultimatum terhadap Franjih untuk mengundurkan diri. Dari dalam
sebuah tangsi di Beirut, Kolonel Rauf Abdussamad telah
mengeluarkan ultimatum yang paling lambat hari Senin tanggal
15 Maret pukul 2 siang, Franjih sudah harus meletakkan jabatan.
Ternyata ancaman itu berlalu tanpa insiden. Konon karena
Franjih berhasil memanggil sang kolonel ke istana. Dua hari
kemudian, pasukan Ahmad Khatib mendekati kota Beirut dari arah
Sidon yang berjarak cuma 6 kilometer dari ibu kota. Dalam jarak
10 kilometer dari istana pasukan dengan sejumlah kendaraan lapis
baja itu berhenti dengan senjata yang sudah diarahkan ke istana.
Kepada para wartawan yang mendekatinya, Khatib dengan tegas
mengulangi pernyataan Ahdab yang mengharapkan ketegangan
negerinya itu diselesaikan secara politis. Katanya: "Jika para
politisi itu berhasil, mereka akan menyelamatkan negeri ini,
jika gagal, tidak ada jalan lain kecuali menggunakan kekerasan".
Sehari sebelum Letnan Ahmed Khatib mendekati Beirut, Panglima
Angkatan Darat Libanon, Jenderal Hanna Saeed dengan tegas
mendesak agar semua tentara Libanon yang mayoritas Kristen
Maronit itu menggabung pada gerakan Jenderal Axis Ahdab.
"Mereka yang tidak mau, silakan meninggalkan tangsi",kata Hanna.
Namun sejumlah anggota tentara yang masih setia pada Franjih
memilih untuk memperkuat pertahanan di seputar istana bersama
dua golongan Kristen sayap kanan yang sudah lebih dahulu berada
di sana.
Keadaan yang terus tegang di Libanon itu tidak bisa lain kecuali
mengundang pihak Suria untuk sekali lagi campur tangan. Di bawah
ancaman Shimon Peres, menteri pertahanan Israel -- "Israel akan
campur tangan jika Suria mengirim tentara ke Libanon" -- seribu
pasukan Suria dalam pakaian gerilyawan Palestina kabarnya
memasuki Libanon 14 maret yang lalu.
Selnentara di Damaskus berlangsung pertemuan penting antara
pihak Suria dengan berbagai pihak yang bertikai di Libanon,
pasukan Suria yang dibantu oleh pasukan Palestina dari Grup Al
Saiqa yang pro Suria, menduduki tempat-tempat penting di medan
sengketa itu. Kehadiran pasukan itu dinilai oleh para peninjau
sebagai usaha Suria Untuk mencegah pecahnya pertempuran yang
lebih besar. Tapi sebuah studio radio sayap kanan di awal pekan
silam mengumumkan sebuah pernyataan ZUher Muhsin dari Al Saiqa
yang katanya akan turun tangan jika istana diserang. Beberapa
jam kemudian, berita itu dibantah. Di Damaskus, tempat
perundingan sedang berlangsung, seorang juru bicara gerilyawan
Palestina menjelaskan: "Zuher Muhsin tidak pernah berkata
apa-apa".
Berita-berita terakhir dari Libanon nampaknya menunjukkan
kemajuan usaha Suria untuk menciptakan ketenangan. Dilaporkan
bahwa dengan beberapa syarat, Franjih akhirnya bersedia
mengundurkan diri. Untuk menjaga harga dirinya, Franjih telah
meminta agar sebelum ia mengundurkan diri, kabinet yang dipimpin
oleh Rashid Karami sekarang ini terlebih dahulu mengundurkan
diri. Kepada kabinet yang akan terbentuk kemudian itulah
nantinya Franjih secara sukarela akan menguudurkan diri. Akan
hal calon penggantinya, sumber-sumber yang mengetahui telah
menyebut nama Raymon Eddek, seorang tokoh Kristen sayap kiri,
yang sejak lama dianggap bersimpati pada Suriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini