Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setuju Berapa Dolar ?

Pemerintah Indonesia minta satu dolar dari 2,30 dolar keuntungan setiap barel yang dihasilkan caltex. yang disebut terakhir setuju, tapi itu diberi dari sebagian produksinya. (nas)

27 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN April sudah diambang pintu. Perundingan dengan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) belulmlagi diketahui hasilnya. Menteri Sadli ketika ditanya soal itu belum bisa bicara banyak. Sekalipun diakui bahwa posisi Pemerintah dalam perundingan kembali itu pada prinsipnya tak berubah: mengambil satu dollar dari keuntungan Caltex yang $ 2,30 dollar untuk setiap barrel yang mereka hasilkan. Dan, seperti kata Sadli dalam dengar pendapat dengan DPR 11 Pebruari lalu, "mulai berlaku sejak awal Januari lalu". Keterangan Menteri Pertambangan di DPR itu rupanya telah membuat kalangan minyak asing merasa tak enak. Sebab pada saat yang sama, tengah berlangsung perundingan kembali dengan pihak Caltex yang dihadiri pula oleh dua utusan dari markas besarnya: Frederick Boucke dari Standard Oil of California (Socal) di San Francisco dan Robert McCall wakil dari Texaco di New York. Seorang kalangan minyak asing di oil Centre jalan MH Thamrin Jakarta mengatakan: "Sebaiknya soal-soal yang begitu dibicarakan dalam meja perundingan Tapi mungkin yang patut dipersalahkan adalah sang waktu yang rupanya dirasa kurang tepat. Penampilan Menteri Pertambangan di DPR kebetulan jatuh bersamaan dengan perundingan penting itu. Dan isinya tak lebih dari mengulangi apa yang sudah dilontarkan Presiden Soeharto dalam pidato di Senayan 7 Januari lalu. Menurut Presiden, "mulai 1 Januari 1976 berlaku kebijaksanaan baru Pemerintah RI yang bertujuan menambah penerimaan negara dengan mengurangi besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan minyak. Baik dalam rangka perjanjian karya maupun bagi hasil". Lagi pula, seperti kata seorang pejabat yang banyak tahu, kalangan minyak asing sebetulnya sudah tahu tentang maksud Pemerintah. Kapan? "Kabarnya pihak Caltex sudah diberi tahu sebelum hari Natal yang lalu", jawabnya. Sudah atau belum, dari pihak Caltex tak keluar keterangan apapun. Julius Tahija, orang No. 1 Caltex Indonesia, ketika ditanya soal perundingan kembali itu tak bersedia memberi komentar. Sebelum masuk ke mobilnya di Departeman Pertambangan pekan lalu, kepada wartawan TEMPO yang menemuinya Tahija berkata, "tunggu saja nanti". Apakah perundingan yang sekarang tengah berlangsung lebih maju dari perundingan ronde pertama pertengahan bulan lalu? Ketua Dewan Direktur CPI itu tampaknya seperti ingin berkata sesuatu. Berfikir sebentar Ia lalu menggerakkan tangannya seraya siap melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Dia amat berhati-hati agar tak ada ucapan yang bisa disalah-tafsirkan. Komentar yang diberikan Tahija cuma ini: "Masih sulit". Bisa dimengerti. Selain memang jarang bicara dengan pers -- antara lain karena orang-orang Texaco memang terkenal tak suka melayani wartawan kali ini ia mungkin merasa terpojok. Di satu pihak dia faham: Indonesia sedang dirundung kesulitan uang, garagara hutang Pertamina. Tapi di lain pihak orang-orang Caltex memang dikenal tak mudah untuk menyerah. Itu pula yang agaknya membuat Tahija lebih sering mundar-mandir ke Singapura. Sepulang dari Brussels ibukota Belgia 8 Maret lalu, sorenya Tahija sudah harus terbang lagi ke Singapura dengan pesawat khususnya. Begitu juga kedua utusan penting dari markas besar Caltex yang sejak beberapa waktu menginap di Hotel Indonesia. Mengapa ke Singapura? "Para dewa sedang di sana", kata seorang pejabat minyak. Yang dimaksud tak lain adalah Maurice Granville dan H.J. Haynes. Granville adalah Ketua Dewan Direksi Texaco dan Haynes adalah Ketua Dewan Direksi Socal. Keduanya sedang berada di Singapura. Kalangan minyak asing menghubung-hubungkan adanya kedua raja minyak itu di sana dengan perundingan ronde kedua di Jakarta. Tapi menurut seorang anak buah Tahija, kunjungan begitu adalah rutin. "Mereka biasa keliling dunia setiap tahun, mengunjungi negara-negara yang ada hubungan dengan kegiatan perusahaan", katanya. Presiden Texaco Maurice Granville pernah diterima Presiden Soeharto di akhir Maret 1974. Mengetuai panitia pengumpulan dana untuk pemugaran candi Borobudur, Granville waktu itu berhasil mengumpulkan uang $ 1 juta dari para donatur di negerinya. Sedianya bersama Presiden Socal itu, mereka mestinya datang di Jakarta dari Singapura Fertengahan Maret ini. Malah kabarnya ada rencana untuk berkunjung ke candi Borobudur yang seluruh pemugarannya menelan biaya hampir $ 8 juta itu. Tak begitu jelas apakah keinginan berkunjung ke Jakarta itu akan disertai kabar baik berupa tambahan donasi untuk candi itu. Namun beberapa kalangan di gedung Oil Centre menduga urungnya kedatangan mereka disebabkan perundingan belum mencapai titik pertemuan. Seorang- pejabat yang kompeten tak mengelak akan adanya dugaan seperti itu. "Sebaiknya mereka datang setelah hasilnya mulai kelihatan", katanya. "Sekedar untuk memberesi soal-soal yang menyangkut finishing touch". Namun soalnya rupanya masih jauh dari garis finis, biarpun perundingan sudah berjalan lebih dari sebulan. Pebruari lalu pernah terbetik kabar, pihak Caltex sudah bersedia melangkah sedikit "maju". Yakni mereka setuju bila Pemerintah mendapat $ 1 dari keuntungan Caltex yang $ 2,30 -- tapi itu hanya diberikan sebagian dari produksinya. Seperti diketahui, 40% dari hasil minyak CPI itu diperuntukkan bagi Pemerintah melalui Pertamina: 20% untuk kebutuhan dalam negeri dan 20% sisanya untuk diekspor keluar. Dari bagian Caltex yang 60% sebanyak 30% dari produksinya diperuntukkan bagi para konsumen di AS. Dan 30% sisanya untuk pasaran di Jepang. Yang untuk pasaran Jepang itulah yang akan disediakan untuk dipotong lagi untungnya buat Pemerintah Indonesia. Socal dan Texaco -- yang bergabung dalam Caltex -- adalah perusahaan minyak yang terkenal paling kaku di antara 5 besar di AS -- 3 besar lainnya adalah Nixxon, Mobil dan Gulf. Apakah kini mereka memberi angin baik yang perlu disambut? Untuk memplombir lubang anggaran yang sudah dimulai 1 April besok -- yang menurut Menteri Sadli baru terasa efeknya setelah berjalan tiga bulan --Pemerintah berpendapat yang diberikan Caltex itu belum cukup. Tapi untuk mengendorkan syaraf para perunding sembari mempelajari soalnya lebih jauh kedua pihak merasa perlu untuk istirahat sebentar. Dan tercapailah suatu "moratorium" seperti dikatakan tajuk Sinar Harapan 16 Maret lalu. Lalu apa yang terjadi kemudian? Sampai di penghujung pekan lalu tak seorang dari para perunding pun menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan. Menteri Sadli lewat sekretaris menolak dengan halus ketika TEMPO mencoba menghubunginya. "Maaf pak Sadli sangat sibuk minggu ini", kata sekretarisnya. "Tunggu saja sampai bulan April". Apalagi ir Wijarso dari Migas yang dikenal takut pers itu. Bisa dimengerti kalau direktur umum Pertamina yang aktif dalam perundingan minyak itu akan menutup pintunya lebih rapat sekali ini. Rupanya adu alasan untuk perkara ini sulit amat. Lebih-lebih jika yang dihadapi kaliber raksasa. Texaco, nomor dua dari 5 besar di AS, selama tahun 1972 saja telah meraih laba lebih dari $ 1,3 milyar bersih. Dipimpin oleh suatu grup terdiri dari 8 orang, maskapai yang dirintis Joe Cullinan sampai sekarang masih menempati sebagian dari pencakar langit milik Chrysler di New York. Mereka kesohor paling efisien, paling tinggi tingkat keuntungannya akan bukan main hematnya. Anthony Simpson dalam bukunya The Seven Sisters menggambarkan betapa pelitnya perusahaan itu. "Pernah suatu kali Texaco mengetok kawat penting ke Lybia sewaktu Kolonel Ghaddafi baru berkuasa. Tilgram yang menyangkut urusan jutaan dollar itu mereka kirim di malam hari --supaya ongkosnya lebih murah". Cerita dari beberapa veter Texaco seperti dituturkan pada Simpson itu boleh jadi cuma olok-olok saja. Yang pasti oleh perusahaan minyak lain Texaco dikenal paling getol mencari uang sebanyak dan secepat mungkin . . . Bagaimana Socal yang di ujung Barat bisa bertemu dengan Texaco yang di ujung Timur New York bermula di tahun 1936. Ketika itu Socal mengajak Texaeo untuk mengarungi samudra minyak di Arab Saudi. Mereka bekerjasama di bidang distribusi minyak dunia di bawah nama Caltex, yang di Indonesia lahir 45 tahun silam. Paling kecil di antara 5 besar, Socal yang juga tersohor konservatif itu, memiliki keuntungan bersih hampir $ 1 milyar di tahun 1972. Otto Miller, Presiden Socal selama lebih 7 tahun (sejak akhir 1966 sampai Pebruari 1974) juga pernah diterima Presiden Soeharto. Dialah merupakan otak dari pendirian penyulingan raksasa Ras Tanura di Arab Saudi yang kemudian membawahi pengelolaan minyak di belahan bumi bagian Timur. Bisa dimengerti bila para pemimpin perusahaan minyak itu berperhatian khusus ke Indonesia. Sekalipun produksi dari ladang-ladang CPI itu meliputi sekitar 830.000 barrel per-hari -- kira-kira hanya 11,5% dari produksi seluruhnya yang 7,3 juta barrel lebih, menurut taksiran Senat AS yang diterbitkan di Washington untuk 1972 -- penghasilan mereka di sini sungguh bukan main katakanlah keuntungan Caltex di Indonesia yang didua $ 800 juta setahun itu, menurut laporan Bank Dunia, tidak benar. Tapi bertolak dari keuntungan se barrel yang $ 2,30, maka penghasilan yang dijala Caltex setahun dari Indonesia tak kurang dari $ 690 juta. Taruhlah penghasilan mereka setelah dikurangi ini dan itu, jatuh pada $ 500 juta setahun. Itu berarti 25% dari laba tahunan Caltex. BERAPA kalangan minyak asing di Jakarta menyatakan bahwa laba yang dipetik Caltex di Indonesia sangat besar. Kata seorang dari mereka: "Dibandingkan dengan kegiatan Caltex di mana saja, penghasilan yang mereka peroleh di Indonesia adalah paling tinggi persentasinya". Sekalipun begitu kalangan minyak yang bekerja di Indonesia dengan perjanjian bagi hasil toh merasa was-was kalau dari setiap keuntungan Caltex yang $ 2,30 se barrel Pemerintah jadi: memotong satu dollar. "Sialnya kami juga akan terkena kalau hal itu sampai terjadi", kata seorang kontraktor asal Australia. "Dan beberapa dari kami kabarnya sepakat untuk pergi kalau bagi hasil juga kena dipotong". Gertak sambal? Mungkin saja. Sebagaimana juga kemungkinan Caltex akan mengurangi produksi mereka jika Pemerintah tetap bersikeras. Setidaknya, itulah yang tersirat dalam sebuah pernyataan Sekretaris American Indonesian Chamber of Commerce, Ladd Johnson. Menanggapi berita Antara 19 Pebruari lalu, Johnsohn berkata: "Sudah dua kali dalam dua tahun ini keuntungan perusahaan minyak berkurang dengan bertambahnya bagian Pemerintah. Rencana serangan yang ketiga kalinya ini terhadap perusahaan minyak bisa merugikan Pemerintah sendiri, bagaikan jerami yang mematahkan punggung onta". Tak begitu jelas apakah gertakan Johnson -- yang sedikit banyak menyuarakan pendapat sebagian dari kaum bisnis di negerinya itu -- pernah juga dialamatkan terhadap negara-negara minyak Arab. Tapi Pemerintah di sini tampaknya sudah pula bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Ini tersimpul dalam pendapat Pemerintah yang dibawakan Menteri Pertambangan di DPR. "Kedaulatan dan kekuatan politik dari Pemerintah menjamin bahwa perusahaan-perusahaan asing tidak dapat lain daripada tunduk terhadap apa yang diputuskan oleh suatu Pemerintah", kata Menteri Pertambangan. "Dan Pemerintah akan mencegah efek-efek sampingan yang merugikan". Dikaitkan dengan pidato Menteri Pertambangan ketika melantik para direktur Pertamina 10 Maret lalu, beberapa pengamat beranggapan itu tak ditujukan pada para kontraktor minyak bagi hasil --misalnya IIAPCO, Arco, Total dan Union. Berbicara tentang produksi minyak nasional, Menteri Pertambangan ketika itu berkata: "Produksi nasional memang naik, tapi sektor yang menaik bukannya produksi Pertamina, bukan juga kontraktor karya Cltex dan Stanvac. Tapi suatu golongan baru, yakni kontraktor-kontraktor. Bagi Hasil yang banyak mengerjakan lapangan minyak lepas pantai. Pengeluaran-pengeluaran untuk eksplorasi, development dan produksi yang terbesar dilakukan oleh para kontraktor bagi hasil. Tidak oleh Pertamina". Menanggapi pidato Sadli seorang kontraktor bagi hasil yang tampaknya mulai merasa agak tenang berata: "Tak bisa lain. Dia memang cukup tahu keadaan kami". Dengan kata lain, orang minyak itu ingin mengesankan bahwa kelompok bagi hasil itu rata-rata masih dalam taraf bayi yang sedang tumbuh. Sekalipun ada juga bayi-bayi raksasa di antara mereka yang sudah pandai menyedot antara 68.000 sampai 124.000 lebih' barrel minyak sehari. Akan halnya bagian yang diminta untuk membantu tuan rumah yang lagi susah itu, tampaknya Pemerintah tak lagi menyebut-nyebut angka yang pasti. Bagi-hasil minyak, yang merupakan prestasi Ibnu Sutowo 10 tahun silam, menurut beberapa pejabat minyak memang masih perlu ditelaah lagi kelak. Khususnya mengenai 40% biaya (recoveuble cost) yang mereka potong lebih dulu sebelum dilakukan pembagian yang 65:35 atau lebih untuk keuntungan Pemerintah. DAN soal perundingan kembali dengan CPI, soalnya agaknya lebih banyak tergantung pada pihak Caltex. Mungkin mereka merasa terkejut merapa tiba-tiba Pemerintah melempar kartu baru. Mereka kabarnya juga merasa jadi tumbal gara-gara krisis Pertamina. "Memang, krisis itu membuat Pemerintah lebih cepat bertindak untuk menambal lubang", kata seorang pejabat. "Tapi sesungguhnya kemanjaan Caltex itu sudah lama ingin dipesoalkan". Apa dan siapa yang membuat Caltex manja, entahlah. Bagi Julius Tahija -- partner Ibnu Sutowo dalam perushaan Far East Oil di Jepang --perundingan bagi untung yang belum terdengar hasilnya itu barangkali membuat dia merasa terjepit. "Bagaimana pun negeri kita yang lagi sulit harus dibantu", katanya selepas bertemu Presiden di Bina Graha bulan lalu. Tapi apakah pendapat itu hanya pendapat pribadi Tahija, seorang Indonesia yang diketahui banyak sumbangannya untuk pemulihan kebudayaan tradisionil kraton Surakarta. Yang pasti, Tahija yang akan pensiun itu tak selalu harus sama dengan pimpinan Caltex di AS. Frederick Boucke, Wakil Presiden Caltex yang sampai senen kemarin masih di HI tak bersedia bertemu ketika TEMPO menilponnya. "Tak ada yang bisa saya katakan", katanya. Apakah sudah ada titik terang? Menghela nafasnya, Boucke hanya menjawab satu kata: "Indefinite", belum pasti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus