BULAN April sudah diambang pintu. Perundingan dengan PT Caltex
Pacific Indonesia (CPI) belulmlagi diketahui hasilnya. Menteri
Sadli ketika ditanya soal itu belum bisa bicara banyak.
Sekalipun diakui bahwa posisi Pemerintah dalam perundingan
kembali itu pada prinsipnya tak berubah: mengambil satu dollar
dari keuntungan Caltex yang $ 2,30 dollar untuk setiap barrel
yang mereka hasilkan. Dan, seperti kata Sadli dalam dengar
pendapat dengan DPR 11 Pebruari lalu, "mulai berlaku sejak awal
Januari lalu".
Keterangan Menteri Pertambangan di DPR itu rupanya telah membuat
kalangan minyak asing merasa tak enak. Sebab pada saat yang
sama, tengah berlangsung perundingan kembali dengan pihak Caltex
yang dihadiri pula oleh dua utusan dari markas besarnya:
Frederick Boucke dari Standard Oil of California (Socal) di
San Francisco dan Robert McCall wakil dari Texaco di New York.
Seorang kalangan minyak asing di oil Centre jalan MH Thamrin
Jakarta mengatakan: "Sebaiknya soal-soal yang begitu dibicarakan
dalam meja perundingan
Tapi mungkin yang patut dipersalahkan adalah sang waktu yang
rupanya dirasa kurang tepat. Penampilan Menteri Pertambangan di
DPR kebetulan jatuh bersamaan dengan perundingan penting itu.
Dan isinya tak lebih dari mengulangi apa yang sudah dilontarkan
Presiden Soeharto dalam pidato di Senayan 7 Januari lalu.
Menurut Presiden, "mulai 1 Januari 1976 berlaku kebijaksanaan
baru Pemerintah RI yang bertujuan menambah penerimaan negara
dengan mengurangi besarnya keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan minyak. Baik dalam rangka perjanjian karya
maupun bagi hasil". Lagi pula, seperti kata seorang pejabat yang
banyak tahu, kalangan minyak asing sebetulnya sudah tahu tentang
maksud Pemerintah. Kapan? "Kabarnya pihak Caltex sudah diberi
tahu sebelum hari Natal yang lalu", jawabnya.
Sudah atau belum, dari pihak Caltex tak keluar keterangan
apapun. Julius Tahija, orang No. 1 Caltex Indonesia, ketika
ditanya soal perundingan kembali itu tak bersedia memberi
komentar. Sebelum masuk ke mobilnya di Departeman Pertambangan
pekan lalu, kepada wartawan TEMPO yang menemuinya Tahija
berkata, "tunggu saja nanti". Apakah perundingan yang sekarang
tengah berlangsung lebih maju dari perundingan ronde pertama
pertengahan bulan lalu? Ketua Dewan Direktur CPI itu tampaknya
seperti ingin berkata sesuatu. Berfikir sebentar Ia lalu
menggerakkan tangannya seraya siap melanjutkan langkahnya menuju
mobilnya. Dia amat berhati-hati agar tak ada ucapan yang bisa
disalah-tafsirkan. Komentar yang diberikan Tahija cuma ini:
"Masih sulit".
Bisa dimengerti. Selain memang jarang bicara dengan pers --
antara lain karena orang-orang Texaco memang terkenal tak suka
melayani wartawan kali ini ia mungkin merasa terpojok. Di satu
pihak dia faham: Indonesia sedang dirundung kesulitan uang,
garagara hutang Pertamina. Tapi di lain pihak orang-orang
Caltex memang dikenal tak mudah untuk menyerah. Itu pula yang
agaknya membuat Tahija lebih sering mundar-mandir ke Singapura.
Sepulang dari Brussels ibukota Belgia 8 Maret lalu, sorenya
Tahija sudah harus terbang lagi ke Singapura dengan pesawat
khususnya. Begitu juga kedua utusan penting dari markas besar
Caltex yang sejak beberapa waktu menginap di Hotel Indonesia.
Mengapa ke Singapura? "Para dewa sedang di sana", kata seorang
pejabat minyak. Yang dimaksud tak lain adalah Maurice Granville
dan H.J. Haynes. Granville adalah Ketua Dewan Direksi Texaco dan
Haynes adalah Ketua Dewan Direksi Socal. Keduanya sedang berada
di Singapura. Kalangan minyak asing menghubung-hubungkan adanya
kedua raja minyak itu di sana dengan perundingan ronde kedua di
Jakarta. Tapi menurut seorang anak buah Tahija, kunjungan begitu
adalah rutin. "Mereka biasa keliling dunia setiap tahun,
mengunjungi negara-negara yang ada hubungan dengan kegiatan
perusahaan", katanya.
Presiden Texaco Maurice Granville pernah diterima Presiden
Soeharto di akhir Maret 1974. Mengetuai panitia pengumpulan dana
untuk pemugaran candi Borobudur, Granville waktu itu berhasil
mengumpulkan uang $ 1 juta dari para donatur di negerinya.
Sedianya bersama Presiden Socal itu, mereka mestinya datang di
Jakarta dari Singapura Fertengahan Maret ini. Malah kabarnya ada
rencana untuk berkunjung ke candi Borobudur yang seluruh
pemugarannya menelan biaya hampir $ 8 juta itu. Tak begitu jelas
apakah keinginan berkunjung ke Jakarta itu akan disertai kabar
baik berupa tambahan donasi untuk candi itu. Namun beberapa
kalangan di gedung Oil Centre menduga urungnya kedatangan mereka
disebabkan perundingan belum mencapai titik pertemuan. Seorang-
pejabat yang kompeten tak mengelak akan adanya dugaan seperti
itu. "Sebaiknya mereka datang setelah hasilnya mulai kelihatan",
katanya. "Sekedar untuk memberesi soal-soal yang menyangkut
finishing touch".
Namun soalnya rupanya masih jauh dari garis finis, biarpun
perundingan sudah berjalan lebih dari sebulan. Pebruari lalu
pernah terbetik kabar, pihak Caltex sudah bersedia melangkah
sedikit "maju". Yakni mereka setuju bila Pemerintah mendapat $ 1
dari keuntungan Caltex yang $ 2,30 -- tapi itu hanya diberikan
sebagian dari produksinya. Seperti diketahui, 40% dari hasil
minyak CPI itu diperuntukkan bagi Pemerintah melalui Pertamina:
20% untuk kebutuhan dalam negeri dan 20% sisanya untuk diekspor
keluar. Dari bagian Caltex yang 60% sebanyak 30% dari
produksinya diperuntukkan bagi para konsumen di AS. Dan 30%
sisanya untuk pasaran di Jepang. Yang untuk pasaran Jepang
itulah yang akan disediakan untuk dipotong lagi untungnya buat
Pemerintah Indonesia.
Socal dan Texaco -- yang bergabung dalam Caltex -- adalah
perusahaan minyak yang terkenal paling kaku di antara 5 besar di
AS -- 3 besar lainnya adalah Nixxon, Mobil dan Gulf. Apakah
kini mereka memberi angin baik yang perlu disambut? Untuk
memplombir lubang anggaran yang sudah dimulai 1 April besok --
yang menurut Menteri Sadli baru terasa efeknya setelah berjalan
tiga bulan --Pemerintah berpendapat yang diberikan Caltex itu
belum cukup. Tapi untuk mengendorkan syaraf para perunding
sembari mempelajari soalnya lebih jauh kedua pihak merasa perlu
untuk istirahat sebentar. Dan tercapailah suatu "moratorium"
seperti dikatakan tajuk Sinar Harapan 16 Maret lalu.
Lalu apa yang terjadi kemudian? Sampai di penghujung pekan lalu
tak seorang dari para perunding pun menunjukkan adanya
tanda-tanda kemajuan. Menteri Sadli lewat sekretaris menolak
dengan halus ketika TEMPO mencoba menghubunginya. "Maaf pak
Sadli sangat sibuk minggu ini", kata sekretarisnya. "Tunggu saja
sampai bulan April". Apalagi ir Wijarso dari Migas yang dikenal
takut pers itu. Bisa dimengerti kalau direktur umum Pertamina
yang aktif dalam perundingan minyak itu akan menutup pintunya
lebih rapat sekali ini. Rupanya adu alasan untuk perkara ini
sulit amat. Lebih-lebih jika yang dihadapi kaliber raksasa.
Texaco, nomor dua dari 5 besar di AS, selama tahun 1972 saja
telah meraih laba lebih dari $ 1,3 milyar bersih. Dipimpin oleh
suatu grup terdiri dari 8 orang, maskapai yang dirintis Joe
Cullinan sampai sekarang masih menempati sebagian dari pencakar
langit milik Chrysler di New York. Mereka kesohor paling
efisien, paling tinggi tingkat keuntungannya akan bukan main
hematnya. Anthony Simpson dalam bukunya The Seven Sisters
menggambarkan betapa pelitnya perusahaan itu. "Pernah suatu kali
Texaco mengetok kawat penting ke Lybia sewaktu Kolonel Ghaddafi
baru berkuasa. Tilgram yang menyangkut urusan jutaan dollar itu
mereka kirim di malam hari --supaya ongkosnya lebih murah".
Cerita dari beberapa veter Texaco seperti dituturkan pada
Simpson itu boleh jadi cuma olok-olok saja. Yang pasti oleh
perusahaan minyak lain Texaco dikenal paling getol mencari uang
sebanyak dan secepat mungkin . . .
Bagaimana Socal yang di ujung Barat bisa bertemu dengan Texaco
yang di ujung Timur New York bermula di tahun 1936. Ketika itu
Socal mengajak Texaeo untuk mengarungi samudra minyak di Arab
Saudi. Mereka bekerjasama di bidang distribusi minyak dunia di
bawah nama Caltex, yang di Indonesia lahir 45 tahun silam.
Paling kecil di antara 5 besar, Socal yang juga tersohor
konservatif itu, memiliki keuntungan bersih hampir $ 1 milyar di
tahun 1972. Otto Miller, Presiden Socal selama lebih 7 tahun
(sejak akhir 1966 sampai Pebruari 1974) juga pernah diterima
Presiden Soeharto. Dialah merupakan otak dari pendirian
penyulingan raksasa Ras Tanura di Arab Saudi yang kemudian
membawahi pengelolaan minyak di belahan bumi bagian Timur.
Bisa dimengerti bila para pemimpin perusahaan minyak itu
berperhatian khusus ke Indonesia. Sekalipun produksi dari
ladang-ladang CPI itu meliputi sekitar 830.000 barrel per-hari
-- kira-kira hanya 11,5% dari produksi seluruhnya yang 7,3 juta
barrel lebih, menurut taksiran Senat AS yang diterbitkan di
Washington untuk 1972 -- penghasilan mereka di sini sungguh
bukan main katakanlah keuntungan Caltex di Indonesia yang didua
$ 800 juta setahun itu, menurut laporan Bank Dunia, tidak benar.
Tapi bertolak dari keuntungan se barrel yang $ 2,30, maka
penghasilan yang dijala Caltex setahun dari Indonesia tak kurang
dari $ 690 juta. Taruhlah penghasilan mereka setelah dikurangi
ini dan itu, jatuh pada $ 500 juta setahun. Itu berarti 25% dari
laba tahunan Caltex.
BERAPA kalangan minyak asing di Jakarta menyatakan bahwa laba
yang dipetik Caltex di Indonesia sangat besar. Kata seorang dari
mereka: "Dibandingkan dengan kegiatan Caltex di mana saja,
penghasilan yang mereka peroleh di Indonesia adalah paling
tinggi persentasinya". Sekalipun begitu kalangan minyak yang
bekerja di Indonesia dengan perjanjian bagi hasil toh merasa
was-was kalau dari setiap keuntungan Caltex yang $ 2,30 se
barrel Pemerintah jadi: memotong satu dollar. "Sialnya kami juga
akan terkena kalau hal itu sampai terjadi", kata seorang
kontraktor asal Australia. "Dan beberapa dari kami kabarnya
sepakat untuk pergi kalau bagi hasil juga kena dipotong".
Gertak sambal? Mungkin saja. Sebagaimana juga kemungkinan Caltex
akan mengurangi produksi mereka jika Pemerintah tetap
bersikeras. Setidaknya, itulah yang tersirat dalam sebuah
pernyataan Sekretaris American Indonesian Chamber of Commerce,
Ladd Johnson. Menanggapi berita Antara 19 Pebruari lalu,
Johnsohn berkata: "Sudah dua kali dalam dua tahun ini keuntungan
perusahaan minyak berkurang dengan bertambahnya bagian
Pemerintah. Rencana serangan yang ketiga kalinya ini terhadap
perusahaan minyak bisa merugikan Pemerintah sendiri, bagaikan
jerami yang mematahkan punggung onta".
Tak begitu jelas apakah gertakan Johnson -- yang sedikit banyak
menyuarakan pendapat sebagian dari kaum bisnis di negerinya itu
-- pernah juga dialamatkan terhadap negara-negara minyak Arab.
Tapi Pemerintah di sini tampaknya sudah pula bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan. Ini tersimpul dalam pendapat
Pemerintah yang dibawakan Menteri Pertambangan di DPR.
"Kedaulatan dan kekuatan politik dari Pemerintah menjamin bahwa
perusahaan-perusahaan asing tidak dapat lain daripada tunduk
terhadap apa yang diputuskan oleh suatu Pemerintah", kata
Menteri Pertambangan. "Dan Pemerintah akan mencegah efek-efek
sampingan yang merugikan".
Dikaitkan dengan pidato Menteri Pertambangan ketika melantik
para direktur Pertamina 10 Maret lalu, beberapa pengamat
beranggapan itu tak ditujukan pada para kontraktor minyak bagi
hasil --misalnya IIAPCO, Arco, Total dan Union. Berbicara
tentang produksi minyak nasional, Menteri Pertambangan ketika
itu berkata: "Produksi nasional memang naik, tapi sektor yang
menaik bukannya produksi Pertamina, bukan juga kontraktor karya
Cltex dan Stanvac. Tapi suatu golongan baru, yakni
kontraktor-kontraktor. Bagi Hasil yang banyak mengerjakan
lapangan minyak lepas pantai. Pengeluaran-pengeluaran untuk
eksplorasi, development dan produksi yang terbesar dilakukan
oleh para kontraktor bagi hasil. Tidak oleh Pertamina".
Menanggapi pidato Sadli seorang kontraktor bagi hasil yang
tampaknya mulai merasa agak tenang berata: "Tak bisa lain. Dia
memang cukup tahu keadaan kami". Dengan kata lain, orang minyak
itu ingin mengesankan bahwa kelompok bagi hasil itu rata-rata
masih dalam taraf bayi yang sedang tumbuh. Sekalipun ada juga
bayi-bayi raksasa di antara mereka yang sudah pandai menyedot
antara 68.000 sampai 124.000 lebih' barrel minyak sehari. Akan
halnya bagian yang diminta untuk membantu tuan rumah yang lagi
susah itu, tampaknya Pemerintah tak lagi menyebut-nyebut angka
yang pasti. Bagi-hasil minyak, yang merupakan prestasi Ibnu
Sutowo 10 tahun silam, menurut beberapa pejabat minyak memang
masih perlu ditelaah lagi kelak. Khususnya mengenai 40% biaya
(recoveuble cost) yang mereka potong lebih dulu sebelum
dilakukan pembagian yang 65:35 atau lebih untuk keuntungan
Pemerintah.
DAN soal perundingan kembali dengan CPI, soalnya agaknya lebih
banyak tergantung pada pihak Caltex. Mungkin mereka merasa
terkejut merapa tiba-tiba Pemerintah melempar kartu baru.
Mereka kabarnya juga merasa jadi tumbal gara-gara krisis
Pertamina. "Memang, krisis itu membuat Pemerintah lebih cepat
bertindak untuk menambal lubang", kata seorang pejabat. "Tapi
sesungguhnya kemanjaan Caltex itu sudah lama ingin
dipesoalkan". Apa dan siapa yang membuat Caltex manja,
entahlah. Bagi Julius Tahija -- partner Ibnu Sutowo dalam
perushaan Far East Oil di Jepang --perundingan bagi untung
yang belum terdengar hasilnya itu barangkali membuat dia merasa
terjepit. "Bagaimana pun negeri kita yang lagi sulit harus
dibantu", katanya selepas bertemu Presiden di Bina Graha bulan
lalu. Tapi apakah pendapat itu hanya pendapat pribadi Tahija,
seorang Indonesia yang diketahui banyak sumbangannya untuk
pemulihan kebudayaan tradisionil kraton Surakarta. Yang pasti,
Tahija yang akan pensiun itu tak selalu harus sama dengan
pimpinan Caltex di AS. Frederick Boucke, Wakil Presiden Caltex
yang sampai senen kemarin masih di HI tak bersedia bertemu
ketika TEMPO menilponnya. "Tak ada yang bisa saya katakan",
katanya. Apakah sudah ada titik terang? Menghela nafasnya,
Boucke hanya menjawab satu kata: "Indefinite", belum pasti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini