Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Komite di Benghazi

Kota dan daerah yang melepaskan diri dari Tripoli mulai menjalankan aktivitas sendiri. Kelompok oposisi masih terpecah.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYMAN Nas optimistis terhadap masa depan Benghazi. ”Bank sudah mulai beroperasi, dan pekan depan diharapkan sekolah dan universitas juga berjalan seperti biasa,” kata anggota sebuah komite yang menjalankan ketertiban di kota yang telah lepas dari kontrol Tripoli itu. Sebelumnya, ia menambahkan, komite telah menata kepolisian.

Warga Benghazi dan kota-kota lain yang melepaskan diri dari Tripoli memang sedang berupaya menjalankan kehidupan secara normal. Itu tak seperti di Mesir dan Tunisia, yang birokrasinya masih kuat sehingga tidak ada kekosongan pemerintahan. Di Libya, kota yang sudah ”memecat” Qadhafi, seperti Benghazi dan Tobruk, membentuk komite-komite yang memiliki tanggung jawab tersendiri. Komite itu sebenarnya dulu dijanjikan Qadhafi setelah berhasil menyingkirkan Raja Idris I dari tampuk kekuasaan.

Kelompok oposisi di Tobruk yang menguasai kawasan pengiriman minyak bersikap seolah situasi sudah berjalan normal. ”Sebuah kapal sudah berangkat menuju Cina, membawa sekitar sejuta barel minyak mentah,” kata Fethi Faraj, pekerja Arabian Gulf Oil Company, yang juga pemimpin oposisi setempat, awal pekan lalu.

Dalam beberapa hari mendatang, Faraj menambahkan, segera dikirim lagi 600 ribu barel ke Cina. ”Sesuai dengan kontrak,” ujarnya.

Namun sebenarnya masih banyak ketidakjelasan di Libya. Dalam urusan minyak, misalnya. Kendati pengiriman minyak dari kawasan yang lepas dari Tripoli tetap berjalan, produksi minyak sebagian telah berhenti. The Arabian Gulf Oil Company, Total Prancis, dan China National Petroleum Corps telah menghentikan sebagian produksinya dan mengevakuasi para pegawainya.

Mereka kini sedang berunding dengan pemimpin lokal untuk keselamatan operasi mereka. Sebelum krisis, Libya memproduksi 1,6 juta barel minyak per hari, bernilai sekitar US$ 5,5 miliar per bulan. Tapi, sejak krisis, produksi turun menjadi separuhnya.

Kelompok oposisi telah menguasai sebagian pusat minyak, seperti Sarir di timur, serta beberapa terminal ekspor minyak, seperti Tobruk, Benghazi, dan Zueitina. Tapi daerah ladang minyak dan terminal di kawasan tengah dan barat masih dikuasai kelompok pro-Qadhafi. ”National Oil Company (NOC) masih mengkoordinasi produksi dan ekspor,” kata pemimpin NOC, Shokri Ghanem, kepada Reuters.

Kaburnya pekerja asing dari Libya menjadi masalah tersendiri. Pabrik pembuat bahan makanan di Benghazi, Abu Baker Albilah, tak lagi berproduksi. Para pekerja asal Suriah dan Mesir telah melarikan diri. Begitu pula pemasok bahan mentahnya, yang kebanyakan berasal dari Mesir.

Pekerja asing memang berperan penting bagi ekonomi Libya. Warga Mesir yang bekerja di Libya mencapai sekitar sejuta orang. Padahal penduduk Libya sendiri hanya sekitar 6,5 juta orang.

l l l

Dari Al-Baida, mantan Menteri Kehakiman Mustafa Abdel-Jalil menyatakan akan menjadi perdana menteri sementara. Tugasnya adalah berbicara dengan pemerintah asing dan memilih kepala negara transisional saat Qadhafi mundur. Kemudian, menurut dia, pemilu akan digelar tiga bulan setelah mundurnya Qadhafi.

Tapi, keesokannya, komite di Benghazi menyanggah omongan Mustafa Abdel-Jalil. Abdelhafiz Ghogha, pengacara yang ditangkap dalam revolusi 15 Februari, mengumumkan dirinya sebagai juru bicara revolusi Libya. Dia juga menyatakan tidak akan ada pemerintahan transisi.

Banyak daerah lain masih bungkam dengan perkembangan negeri itu. Menurut George Joffe, ahli Afrika Utara dari University of Cambridge, mereka tidak akan memilih sampai tahu siapa yang menang.

Di tepi pertaruhan, terdapat beberapa kelompok oposisi yang siap masuk dan akan memberi warna. Misalnya saja gerakan oposisi yang muncul di pengasingan pasca-1973 ketika sistem jumhuriyah dimunculkan. Yang terbesar adalah Front Nasional untuk Penyelamatan Libya.

Ada pula The Union of Free Officers, gerakan yang menaikkan Qadhafi pada 1960-an dan belakangan berseberangan dengan sang Kolonel. Beberapa kelompok oposisi lain di luar negeri juga siap pulang.

Padahal ancaman dari pasukan yang setia kepada Qadhafi masih membayang. Meski jumlahnya tak besar, mereka memiliki senjata lengkap dan tak peduli terhadap pendapat masyarakat internasional.

Kelompok oposisi telah membujuk Perserikatan Bangsa-Bangsa agar menetapkan larangan terbang di udara Libya untuk mencegah serbuan pesawat pasukan khusus yang dipimpin anak Qadhafi, Khamis. Di lapangan, para sukarelawan diajari cara bertempur, kendati hanya memiliki amunisi terbatas.

”Semua harus sabar,” kata pejabat sebuah dewan di Benghazi. Dia menyadari revolusi menentang Qadhafi dilakukan dari nol. Selama ini, tidak ada sejarah kegiatan politik oleh rakyat di negerinya. ”Ada banyak orang dengan banyak ide. Tapi kami akan menemukan kompromi.”

Purwani Diyah Prabandari (BBC, AFP, Time, Christian Science Monitor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus