SUDAH sejak mula Libanon tampil sebagai sebuah paradoksi:
kelompok orang-orang terusir datang ke sana mencari pernaungan,
tapi yang mereka dapatkan adalah silang senketa. Sejarah tanah
ini bukannya sejarah kebersamaan, melainkan usaha panjang untuk
bersatu - dan tak kunjung terwujud sampai sekarang.
Pada 64 Sebelum Masehi negeri ini, yang menjadi bagian dari
Provinsi Suriah, berada di bawah kekuasaan Roma, dan tumbuh
sebagai kawasan pertahanan dan perdagangan. Tatkala sekolah
hukum didirikan di Beirut, tahun 200, kota itu berkembang
menjadi pusat intelektual kebanggaan Kekaisaran Roma. Empat abad
kemudian sekolah itu runtuh oleh gempa bumi.
Penghujung abad ke-7, serombongan umat Kristen Maronit, yang
terusir dari Suriah, mengungsi ke Libanon dan berkampung di
pegunungan sebelah utara. Empat ratus tahun kemudian hampir
seluruh bagian utara negeri ini berada di bawah pengaruh kaum
Maronit.
Sementara itu, awal abad ke-11, sejumlah pembangkang Islam
merembes ke Libanon Selatan. Mereka membangun permukiman di
daerah yang berhampiran dengan kediaman kaum Maronit. Pendatang
baru ini memperkenalkan dirinya sebagai kaum Druze. Sejak
itulah, sesungguhnya, setiap pihak mulai mengasah pisau
perselisihan.
Dengan jatuhnya Kerajaan Mamluk, awal abad ke-16, Libanon
menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman dengan hak otonomi.
Unifikasi dilancarkan sepanjang dua dinasti Ma'ni (1516-1697)
dan Sihab (1697-1841) tapi hasilnya mengecewakan. Konflik malah
semakin kompleks--baik antaragama, antarsekte, maupun
antarkeluarga.
Dari Dinasti Sihab tampillah Bashir 11 yang kurang disenangi
rakyat. Pada 1820 muncul gerakan perlawanan terhadap dia. Tapi
Bashir II, yang mendapat dukungan dari penguasa Mesir, Muhammad
Ali, masih dapat bertahan selama dua dekade. Tahun 1840, Bashir
II digulingkan, dan intervensi Eropa masuk ke Libanon.
Pada masa inilah muncul ikatan baru antara Prancis dan kaum
Maronit di satu pihak, serta Inggris dan Druze di pihak lain.
Kendati kekuatan Eropa ini berhasil membatasi pengaruh Ottoman
di Libanon, toh tetap gagal mendamaikan Maronit dan Druze.
Sementara itu, Dinasti Sihab pun tenggelam ke dalam sejarah.
Penguasa Ottoman, dengan perkenan Prancis dan Inggris, kemudian
membagi dua Libanon dengan jalan raya Beirut-Damaskus sebagai
garis tengah. Bagian selatan diperintah oleh gubernur Druze,
sisi utara dipimpin oleh gubernur Maronit.
Setiap kanton atau teritori kecil itu memiliki dewan dengan 12
anggota. Kursi keanggotaan dibagi di antara kelompok masyarakat
Druze, Katolik Yunani, Ortodoks Yunani, Maronit, Syiah, dan
Sunni. Tapi sistem pembagian ini menimbulkan keresahan baru
setelah di kedua kanton itu umat antaragama mulai berbaur. Tahun
1859 kerusuhan berkobar, dan tangan asing kembali ikut campur.
Seperti dulu, Inggris membela Druze, dan Prancis memihak
Maronit.
Di bawah sebuah Reglement Organique, 1861, Libanon ditetapkan
sebagai provinsi Ottoman, dengan Gubernur Kristen. Gubernur ini
dibantu oleh sebuah majelis administratif pusat beranggotakan 12
orang: empat Maronit, tiga Druze, dua Ortodoks Yunani satu
Katolik Yunani, satu Sunni, dan satu Syiah. Pembagian itu
didasarkan pada perbandingan populasi.
Reglement Organique hanya ditaati hingga Perang Dunia I.
Setelah kekalahan Ottoman dalam perang itu, Libanon dinyatakan
sebagai daerah mandat Prancis. Tak lama kemudian Prancis
memperluas Libanon yang dulu hanya separuh wilayah sekarang
sehingga meliputi kota-kota pantai Saida, Sour, dan Tripoli.
Daerah tambahan ini umumnya dihuni mayoritas Islam.
Pada 26 November 1941 Prancis secara resmi menyatakan Libanon
merdeka. Tapi dalam kenyataannya, mereka tetap melakukan
pengawasan.
Tahun 1943 tercapailah sebuah Pakta Nasional (al-Mithaq
al-Watani) tidak tertulis. Secara konstitusional, Libanon
dinyatakan sebagai republik sekuler. Berdasarkan perimbangan
penduduk, ketika itu, disepakati menerima presiden dari kaum
Maronit, perdana menteri Sunni, juru bicara parlemen Syiah,
menteri pertahanan Druze, dan menteri luar negeri Ortodoks
Yunani. Beshara al-Khoury terpilih sebagai presiden pertama.
Pemerintah Libanon setelah kemerdekaan boleh dikatakan hampir
tidak mempunyai kesempatan bekerja. Dari 1943 sampai 1975
pergantian pemerintahan terjadi tidak kurang dari 35 kali.
Dalam pada itu sensus 1932, yang menyatakan kaum Maronit sebagai
mayoritas, dianggap usang oleh kelompok Islam. Mereka tak puas
lagi dengan pembagian kursi kekuasaan yang didasarkan pada
sensus tersebut. Di selatan muncul pula sebuah negara non-Arab,
yaitu Israel, yang dirasakan sebagai ancaman oleh kaum muslimin.
Awal 1949 tercatat 400 ribu orang Arab Palestina yang terusir
membanjiri kampung pengungsi di Libanon Selatan.
Pemberontakan bersenjata di Libanon pecah pada Mei 1958.
Kelompok regional Islam bersekutu dengan kaum oposisi yang
pro-Nasser melawan pemerintah. Pada peristiwa inilah, untuk
pertama kalinya, Amerika Serikat diundang campur tangan. Tapi
keadaan sesudah itu tak banyak berubah. Libanon Selatan kemudian
menjadi sarang PLO, dan sumber persoalan baru.
Hingga 1976, kelompok yang bersengketa di Libanon bisa dibagi ke
dalam lima kelompok besar: kelompok Kristen kanan yang
dipelopori Maronit, kekuatan pro-Syria, kekuatan pro-Arafat,
kelompok Islam kiri, dan angkatan bersenjata Libanon sendiri.
Kelompok pertama didominasi oleh Falangis yang didirikan oleh
Pierre Gemayel. Kelompok Islam kiri didominasi oleh kaum Druze
dan Partai Sosialis Progresif yang didirikan Kamal Jumblatt,
ayah Walid Jumblatt.
Kini, di antara sekitar selusin sekte yang hidup di Libanon,
Druze merupakan keempat terbesar. Sekitar 250 ribu Druze berdiam
di Libanon, 260 ribu tinggal di Syria. Sekitar 50 ribu berdiam
di Israel, banyak di antaranya yang menJadi tentara.
Falangis, meski kalah dalam jumlah, terkenal militan dan
berdisiplin tinggi. Mereka mengaku memiliki 10 ribu tentara siap
pakai dan sekitar 15 ribu prajurit cadangan.
Konflik Kristen-lslam meruncing lagi seiak Avril 1975. bahkan
kemudian meledak menjadi perang sipil. Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) memihak golongan Islam. Keadaan bertambah kisruh
setelah Syria, mengirimkan pasukannya ke Libanon, setahun
kemudian. Dalam perang sipil yang berlangsung 19 bulan ini,
sekitar 60 ribu orang terbunuh. Berdasarkan sebuah persetujuan
yang ditandatangani presiden Libanon Elias Sarkis, pemimpin PLO
Yasser Arafat, serta para pemimpin Syria, Arab Saudi Kuwait, dan
Mesir, disepakati sebuah pasukan keamanan ADF, yang sebagian
besar terdiri dari tentara Syria, bertugas menegakkan perdamaian
di Libanon.
Sementara kelompok Kristen Libanon berusaha membatasi gerakan
PLO. ADF yang dikontrol Syria meneruskan bantuannya kepada
kelompok lslam. Pada waktu yang sama, Israel mendukung usaha
kelompok Kristen melawan orang Palestina.
Pada Maret 1978, tentara Israel menduduki Libanon Selatan selama
beberapa bulan. Ketika mereka mengundurkan diri, kantung itu
dimasuki milisia Kristen. Lalu muncul front baru: kaum militan
Druze, yang kembali unjuk gigi setelah agak lama berdiam diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini