Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sarang sengketa turun temurun

Perpecahan di libanon sejak abad ke-7 ketika kristen maronit pindah ke libanon disusul golongan druze. konflik antara golongan semakin meruncing dan selalu timbul pemberontakan.(ln)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sejak mula Libanon tampil sebagai sebuah paradoksi: kelompok orang-orang terusir datang ke sana mencari pernaungan, tapi yang mereka dapatkan adalah silang senketa. Sejarah tanah ini bukannya sejarah kebersamaan, melainkan usaha panjang untuk bersatu - dan tak kunjung terwujud sampai sekarang. Pada 64 Sebelum Masehi negeri ini, yang menjadi bagian dari Provinsi Suriah, berada di bawah kekuasaan Roma, dan tumbuh sebagai kawasan pertahanan dan perdagangan. Tatkala sekolah hukum didirikan di Beirut, tahun 200, kota itu berkembang menjadi pusat intelektual kebanggaan Kekaisaran Roma. Empat abad kemudian sekolah itu runtuh oleh gempa bumi. Penghujung abad ke-7, serombongan umat Kristen Maronit, yang terusir dari Suriah, mengungsi ke Libanon dan berkampung di pegunungan sebelah utara. Empat ratus tahun kemudian hampir seluruh bagian utara negeri ini berada di bawah pengaruh kaum Maronit. Sementara itu, awal abad ke-11, sejumlah pembangkang Islam merembes ke Libanon Selatan. Mereka membangun permukiman di daerah yang berhampiran dengan kediaman kaum Maronit. Pendatang baru ini memperkenalkan dirinya sebagai kaum Druze. Sejak itulah, sesungguhnya, setiap pihak mulai mengasah pisau perselisihan. Dengan jatuhnya Kerajaan Mamluk, awal abad ke-16, Libanon menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman dengan hak otonomi. Unifikasi dilancarkan sepanjang dua dinasti Ma'ni (1516-1697) dan Sihab (1697-1841) tapi hasilnya mengecewakan. Konflik malah semakin kompleks--baik antaragama, antarsekte, maupun antarkeluarga. Dari Dinasti Sihab tampillah Bashir 11 yang kurang disenangi rakyat. Pada 1820 muncul gerakan perlawanan terhadap dia. Tapi Bashir II, yang mendapat dukungan dari penguasa Mesir, Muhammad Ali, masih dapat bertahan selama dua dekade. Tahun 1840, Bashir II digulingkan, dan intervensi Eropa masuk ke Libanon. Pada masa inilah muncul ikatan baru antara Prancis dan kaum Maronit di satu pihak, serta Inggris dan Druze di pihak lain. Kendati kekuatan Eropa ini berhasil membatasi pengaruh Ottoman di Libanon, toh tetap gagal mendamaikan Maronit dan Druze. Sementara itu, Dinasti Sihab pun tenggelam ke dalam sejarah. Penguasa Ottoman, dengan perkenan Prancis dan Inggris, kemudian membagi dua Libanon dengan jalan raya Beirut-Damaskus sebagai garis tengah. Bagian selatan diperintah oleh gubernur Druze, sisi utara dipimpin oleh gubernur Maronit. Setiap kanton atau teritori kecil itu memiliki dewan dengan 12 anggota. Kursi keanggotaan dibagi di antara kelompok masyarakat Druze, Katolik Yunani, Ortodoks Yunani, Maronit, Syiah, dan Sunni. Tapi sistem pembagian ini menimbulkan keresahan baru setelah di kedua kanton itu umat antaragama mulai berbaur. Tahun 1859 kerusuhan berkobar, dan tangan asing kembali ikut campur. Seperti dulu, Inggris membela Druze, dan Prancis memihak Maronit. Di bawah sebuah Reglement Organique, 1861, Libanon ditetapkan sebagai provinsi Ottoman, dengan Gubernur Kristen. Gubernur ini dibantu oleh sebuah majelis administratif pusat beranggotakan 12 orang: empat Maronit, tiga Druze, dua Ortodoks Yunani satu Katolik Yunani, satu Sunni, dan satu Syiah. Pembagian itu didasarkan pada perbandingan populasi. Reglement Organique hanya ditaati hingga Perang Dunia I. Setelah kekalahan Ottoman dalam perang itu, Libanon dinyatakan sebagai daerah mandat Prancis. Tak lama kemudian Prancis memperluas Libanon yang dulu hanya separuh wilayah sekarang sehingga meliputi kota-kota pantai Saida, Sour, dan Tripoli. Daerah tambahan ini umumnya dihuni mayoritas Islam. Pada 26 November 1941 Prancis secara resmi menyatakan Libanon merdeka. Tapi dalam kenyataannya, mereka tetap melakukan pengawasan. Tahun 1943 tercapailah sebuah Pakta Nasional (al-Mithaq al-Watani) tidak tertulis. Secara konstitusional, Libanon dinyatakan sebagai republik sekuler. Berdasarkan perimbangan penduduk, ketika itu, disepakati menerima presiden dari kaum Maronit, perdana menteri Sunni, juru bicara parlemen Syiah, menteri pertahanan Druze, dan menteri luar negeri Ortodoks Yunani. Beshara al-Khoury terpilih sebagai presiden pertama. Pemerintah Libanon setelah kemerdekaan boleh dikatakan hampir tidak mempunyai kesempatan bekerja. Dari 1943 sampai 1975 pergantian pemerintahan terjadi tidak kurang dari 35 kali. Dalam pada itu sensus 1932, yang menyatakan kaum Maronit sebagai mayoritas, dianggap usang oleh kelompok Islam. Mereka tak puas lagi dengan pembagian kursi kekuasaan yang didasarkan pada sensus tersebut. Di selatan muncul pula sebuah negara non-Arab, yaitu Israel, yang dirasakan sebagai ancaman oleh kaum muslimin. Awal 1949 tercatat 400 ribu orang Arab Palestina yang terusir membanjiri kampung pengungsi di Libanon Selatan. Pemberontakan bersenjata di Libanon pecah pada Mei 1958. Kelompok regional Islam bersekutu dengan kaum oposisi yang pro-Nasser melawan pemerintah. Pada peristiwa inilah, untuk pertama kalinya, Amerika Serikat diundang campur tangan. Tapi keadaan sesudah itu tak banyak berubah. Libanon Selatan kemudian menjadi sarang PLO, dan sumber persoalan baru. Hingga 1976, kelompok yang bersengketa di Libanon bisa dibagi ke dalam lima kelompok besar: kelompok Kristen kanan yang dipelopori Maronit, kekuatan pro-Syria, kekuatan pro-Arafat, kelompok Islam kiri, dan angkatan bersenjata Libanon sendiri. Kelompok pertama didominasi oleh Falangis yang didirikan oleh Pierre Gemayel. Kelompok Islam kiri didominasi oleh kaum Druze dan Partai Sosialis Progresif yang didirikan Kamal Jumblatt, ayah Walid Jumblatt. Kini, di antara sekitar selusin sekte yang hidup di Libanon, Druze merupakan keempat terbesar. Sekitar 250 ribu Druze berdiam di Libanon, 260 ribu tinggal di Syria. Sekitar 50 ribu berdiam di Israel, banyak di antaranya yang menJadi tentara. Falangis, meski kalah dalam jumlah, terkenal militan dan berdisiplin tinggi. Mereka mengaku memiliki 10 ribu tentara siap pakai dan sekitar 15 ribu prajurit cadangan. Konflik Kristen-lslam meruncing lagi seiak Avril 1975. bahkan kemudian meledak menjadi perang sipil. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memihak golongan Islam. Keadaan bertambah kisruh setelah Syria, mengirimkan pasukannya ke Libanon, setahun kemudian. Dalam perang sipil yang berlangsung 19 bulan ini, sekitar 60 ribu orang terbunuh. Berdasarkan sebuah persetujuan yang ditandatangani presiden Libanon Elias Sarkis, pemimpin PLO Yasser Arafat, serta para pemimpin Syria, Arab Saudi Kuwait, dan Mesir, disepakati sebuah pasukan keamanan ADF, yang sebagian besar terdiri dari tentara Syria, bertugas menegakkan perdamaian di Libanon. Sementara kelompok Kristen Libanon berusaha membatasi gerakan PLO. ADF yang dikontrol Syria meneruskan bantuannya kepada kelompok lslam. Pada waktu yang sama, Israel mendukung usaha kelompok Kristen melawan orang Palestina. Pada Maret 1978, tentara Israel menduduki Libanon Selatan selama beberapa bulan. Ketika mereka mengundurkan diri, kantung itu dimasuki milisia Kristen. Lalu muncul front baru: kaum militan Druze, yang kembali unjuk gigi setelah agak lama berdiam diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus