Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Nasionalisme

Libanon memiliki 2 kenaifan. arabisasi, tempat utama untuk orang islam dan westernisasi, tempat utama untuk orang kristen. terjadi rebutan kekuasaan antarkaum, karena tidak membentuk satu bangsa & rasa nasional.

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA seorang Druze. Saya telah bertempur bersama Heisham Nasser eDin, komandan berjenggot di pegunungan Shouf ini. Saya bahkan ikut mengawalnya ketika ia datang ke Aley, atas undangan perwira Israel yang bersiap mengundurkan diri ke Sungai Awali. Saya telah mencium peperangan. Saya mungkin telah membunuh sejumlah orang Falangis, yang barangkali dulu saya kenal. Saya tengah ikut menguburkan Libanon, pelan-pelan. Tapi apa peduli saya? Apa pula arti Libanon bagi saya? Apa arti Libanon juga bagi Oscar, pemimpin Falangis di Ras el-Jabl itu - yang punya istri setengah Yahudi setengah Italia? Libanon, baginya, munkin dirinya: seorang za'im tingkat lokal, boss politik kecil-kecilan yang dikelilingi prajurit-prajurit bertattoo, yang memakai T-shirt hijau dengan tulisan "Oscar". Libanon bagi saya juga sesuatu yang terbatas: wilayah ini, bukit-bukit Shouf di selatan Beirut. Bukan Libanon Amien Gemayel, yang disebut orang Amerika sebagai "presiden", tapi kini praktis hanya seorang. wali kota Beirut Timur. Bukan Libanon yang pernah direncanakan orang Prancis dan dikhayalkan seluruh dunia. Saya seorang Druze. Malam ini, dari batu karang ini, telah saya pandangi lampu-lampu Beirut di kejauhan: titik-titik bintang yang sementara. Malam ini saya tahu saya telah bilang, "Libanon", sembari mengangkat bahu. Malam ini saya ingat teman saya, orang Palestina, Abu Meizar. Ia benar: Libanon adalah hantu, yang ingin kembali ke batang tubuhnya setelah mati sejak lama. Arwah gentayangan di sudut-sudut Kota Beirut. Julian Huxley pernah menulis, Libanon adalah mukjizat, seperti Swiss: negeri yang mendapatkan suatu kesatuan nasinal dari kelompok yang beragam. Tapi betapa naifnya dia. Betapa terbatasnya pandangan sejarahnya. Sebagaimana banyak orang kini, Huxley lupa membaca Georges Naccache. Di tahun 1949 Naccache, dengan sikap skeptis seorang wartawan, konon telah mengatakan, tentang Libanon, Deux negations ne font pas une nation. Dua penafian tak membuat satu bangsa. Dan Libanon adalah dua penafian. Yang pertama menafikan "arabisasi" - yang memberi tempat utama kepada orang-orang Islam dan menjadikan Libanon satu bagian tunggal dari Dunia Arab. Yang kedua menafikan "westernisasi" - yang hendak memberi tempat utama kepada orang-orang Kristen, dan menjadikan Libanon bagian Eropa di Timur Tengah. Libanon, dengan kata lain, sebuah kompromi. Betapa lucunya: sebuah kompromi, seperti dikatakan Naccache, telah diangkat menjadi sebuah doktrin negara .... Saya seorang Druze. Saya ingin mempertahankan bukit-bukit ini. Bagi saya tak ada kompromi kecuali dengan menerima kenyataan: orang-orang Kristen Maronit tak boleh mencoba merebut lagi wilayah kami. Mereka mencobanya di tahun 1870. Mereka mencobanya seabad kemudian. Mereka pikir mereka bisa. Tidak. Memang malanglah sebuah negeri, yang hanya hendak dipersatukan dengan rebutan kekuasaan antarkaum. Sebagaimana sebuah bangsa tidak bisa akan lahir hanya dari sebuah cetak-biru, Libanon juga tak akan tumbuh sebelum orang bersedia mati atas namanya - sebelum ia diterima sebagai takdir. Betapa benarnya Benedict Anderson, yang menerbitkan buku terbarunya di Ingris tahun ini, Imagined Communities: sebuah bangsa adalah suatu "komunitas yang dibayang-bayangkan" (kalaupun terjemahan ini tepat). Ya, sebuah komunitas, meskipun dalam kenyataan terdapat banyak ketidakadilan dan penghisapan di antara anggota-anggotanya?. Sebab "bangsa", dalam kondisi seperti itu pun, senantiasa dipahamkan sebagai 'suatu perkawanan yang dalam, horisontal . Bukan cuma perjanjian. Saya tak tahu adakah di Libanon pernah ada rasa yang semacam itu. Saya seorang Druze. Oscar seorang Falangis. Orang Prancis dulu menyangka begitu gampang meramu kebhinekaan di negeri ini menjadi satu hal yang eka. Seakan-akan segalanya bakal beres dengan hanya administrasi, komposisi di parlemen, perbandingan kursi di kabinet. Seakan-akan tak perlu sebuah daya sihir, yakni daya sihirnya nasionalisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus