SAYA seorang Druze. Saya telah bertempur bersama Heisham Nasser
eDin, komandan berjenggot di pegunungan Shouf ini. Saya bahkan
ikut mengawalnya ketika ia datang ke Aley, atas undangan perwira
Israel yang bersiap mengundurkan diri ke Sungai Awali.
Saya telah mencium peperangan. Saya mungkin telah membunuh
sejumlah orang Falangis, yang barangkali dulu saya kenal. Saya
tengah ikut menguburkan Libanon, pelan-pelan.
Tapi apa peduli saya? Apa pula arti Libanon bagi saya? Apa arti
Libanon juga bagi Oscar, pemimpin Falangis di Ras el-Jabl itu -
yang punya istri setengah Yahudi setengah Italia?
Libanon, baginya, munkin dirinya: seorang za'im tingkat
lokal, boss politik kecil-kecilan yang dikelilingi
prajurit-prajurit bertattoo, yang memakai T-shirt hijau dengan
tulisan "Oscar".
Libanon bagi saya juga sesuatu yang terbatas: wilayah ini,
bukit-bukit Shouf di selatan Beirut. Bukan Libanon Amien
Gemayel, yang disebut orang Amerika sebagai "presiden", tapi
kini praktis hanya seorang. wali kota Beirut Timur. Bukan
Libanon yang pernah direncanakan orang Prancis dan dikhayalkan
seluruh dunia.
Saya seorang Druze. Malam ini, dari batu karang ini, telah saya
pandangi lampu-lampu Beirut di kejauhan: titik-titik bintang
yang sementara. Malam ini saya tahu saya telah bilang,
"Libanon", sembari mengangkat bahu. Malam ini saya ingat teman
saya, orang Palestina, Abu Meizar. Ia benar: Libanon adalah
hantu, yang ingin kembali ke batang tubuhnya setelah mati sejak
lama. Arwah gentayangan di sudut-sudut Kota Beirut.
Julian Huxley pernah menulis, Libanon adalah mukjizat, seperti
Swiss: negeri yang mendapatkan suatu kesatuan nasinal dari
kelompok yang beragam. Tapi betapa naifnya dia. Betapa
terbatasnya pandangan sejarahnya.
Sebagaimana banyak orang kini, Huxley lupa membaca Georges
Naccache. Di tahun 1949 Naccache, dengan sikap skeptis seorang
wartawan, konon telah mengatakan, tentang Libanon, Deux
negations ne font pas une nation.
Dua penafian tak membuat satu bangsa. Dan Libanon adalah dua
penafian. Yang pertama menafikan "arabisasi" - yang memberi
tempat utama kepada orang-orang Islam dan menjadikan Libanon
satu bagian tunggal dari Dunia Arab. Yang kedua menafikan
"westernisasi" - yang hendak memberi tempat utama kepada
orang-orang Kristen, dan menjadikan Libanon bagian Eropa di
Timur Tengah.
Libanon, dengan kata lain, sebuah kompromi. Betapa lucunya:
sebuah kompromi, seperti dikatakan Naccache, telah diangkat
menjadi sebuah doktrin negara ....
Saya seorang Druze. Saya ingin mempertahankan bukit-bukit ini.
Bagi saya tak ada kompromi kecuali dengan menerima kenyataan:
orang-orang Kristen Maronit tak boleh mencoba merebut lagi
wilayah kami. Mereka mencobanya di tahun 1870. Mereka mencobanya
seabad kemudian. Mereka pikir mereka bisa. Tidak.
Memang malanglah sebuah negeri, yang hanya hendak dipersatukan
dengan rebutan kekuasaan antarkaum. Sebagaimana sebuah bangsa
tidak bisa akan lahir hanya dari sebuah cetak-biru, Libanon juga
tak akan tumbuh sebelum orang bersedia mati atas namanya -
sebelum ia diterima sebagai takdir.
Betapa benarnya Benedict Anderson, yang menerbitkan buku
terbarunya di Ingris tahun ini, Imagined Communities: sebuah
bangsa adalah suatu "komunitas yang dibayang-bayangkan"
(kalaupun terjemahan ini tepat). Ya, sebuah komunitas, meskipun
dalam kenyataan terdapat banyak ketidakadilan dan penghisapan di
antara anggota-anggotanya?. Sebab "bangsa", dalam kondisi
seperti itu pun, senantiasa dipahamkan sebagai 'suatu perkawanan
yang dalam, horisontal . Bukan cuma perjanjian.
Saya tak tahu adakah di Libanon pernah ada rasa yang semacam
itu. Saya seorang Druze. Oscar seorang Falangis. Orang Prancis
dulu menyangka begitu gampang meramu kebhinekaan di negeri ini
menjadi satu hal yang eka. Seakan-akan segalanya bakal beres
dengan hanya administrasi, komposisi di parlemen, perbandingan
kursi di kabinet.
Seakan-akan tak perlu sebuah daya sihir, yakni daya sihirnya
nasionalisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini