JIKA ada berita yang sama kuat getarannya dengan tembakan meriam
16 inci, itulah penyataan Walid Jumblatt, Sabtu lalu. Tatkala
gencatan senjata meredakan kecamuk peran Libanon, kejutan
Jumblatt menyambar tiba-tiba. Dari Desa Beiteddin, pemimpin
Druze itu memaklumkan pembentukan administrasi sipil otonom,
untuk kawasan bukit Shouf.
Dicanangkan saat wakil-wakil 12 sekte di Libanon membahas
pembentukan pemerintah kesatuan nasional, otonomi itu segera
ditafsirkan sebagai awal pemisahan Jumblatt dari Libanon secara
de facto. Presiden Amien Gemayel, seusai berkonsultasi tengah
malam itu juga dengan PM Shafik Wazzan dan bekas PM Saeb
Salam, cuma bisa angkat bahu. Apalagi otonomi itu, yang dituduh
berbau makar, dapat dukungan dari Syria.
Akan ke mana Jumblatt? Dan akan berakhir di mana nasib Republik
Libanon? Tidak seorang dapat menjawab. Perpecahan negeri itu
tampaknya seperti tak terelakkan, hingga seorang pengamat
berkomentar, "Uang Arab Saudi ataupun meriam Amerika tidak akan
mampu mempersatukan kembali Libanon."
Indah bergunung-gunung, terletak menghadap ke Laut Tengah,
Libanon, dengan luas 10.230 km persegi dengan penduduk sekitar 3
Juta Jiwa, memang sudah sejak lama terancam kehancuran.
Kemerdekaannya dari perwalian Prancis tahun 1943 juga dianggap
mengandung napas kematian yang ditiupkan pelan-pelan. Jika tidak
oleh 17 sekte yang selalu cakar-cakaran dl sana, tentu oleh
invasi asing, misalnya Syria, Israel, dan PLO. Tidak heran bila
Amien berkata, "Gencatan senjata bukanlah sasaran utama. Tujuan
kami adalah penarikan semua kekuatan asing dari bumi Libanon
...."
Sebenarnya, pembaharuan itu sudah dicetuskan golongan kiri Islam
ejak Maret 1975, ketika meletus perang saudara yang berporos
pada konflik Kristen Falangis lawan Druze. Yang terakhir ini
memperjuangkan pembaharuan politik, khususnya kesempatan yang
sama bagi semua warga Libanon di bidang politik serta
penghapusan kecenderungan sektaris di bidang administrasi dan
militer. Tuntutan serupa juga dilontarkan tokoh gerakan Syiah
Al-Amal, Nabih Berri di Beirut, dan Hussein Moussawi di Baalbek.
"Kami berikhtiar mendapatkan kembali hak-hak kami yang dirampas,
membentuk pemeintah nasional yang berimbang, dan membebaskan
aparat Libanon dari hegemoni satu sekte atau satu partai," kata
Jumblatt menyindir tajam. Bagaikan serangan terbuka, pemimpin
250.000 ummat Druze itu dalam tiap kesempatan berupaya
memojokkan Amien .
Presiden Amien Gemayel, yang semula dipandang lebih berorientasi
ke dunia Arab, belakangan tampak condong ke AS dan Israel. Dalam
1 tahun masa pemerintahannya, ia tidak segera dapat merangkul
banyak sekte di luar partainya sendiri, Kristen Falangis. Memang
ini tidak mudah. Tapi adalah Amien juga yang bertindak sebagai
arsitek perjanjian damai Libanon dengan Israel yang
ditandatangani Mei berselang. Perjanjian ini merupakan pukulan
keras kedua bagi golongan Islam sesudah persetujuan Camp David
antara Mesir dan Israel.
Amien juga menyempatkan berkunjung sampai dua kali ke Washington
untuk memperoleh dukungan moril dan bantuan militer dari
Presiden Ronald Reagan. Ia berhasil melaksanakan diplomasi
tingkat tinggi. Tapi sukses itu sekaligus memerosotkan citranya
di mata golongan kiri.
Kekecewaan terhadap Amien mencapai klimaks ketika ia menerima
menteri pertahanan Israel Moshe Arens meninjau barak-barak
tentara Libanon. Kontan ia dicap presiden Falangis, bukan
presiden Libanon. Bagi golongan Islam, Amien tidak lagi berada
di atas semua golongan, tapi sudah memihak. Padahal, jumlah
golongan Islam kini diperkirakan sudah mengalahkan mayoritas
Kristen di Libanon (pertimbangan semula Kristen 55%, Islam 45%).
Sayang, penampilan Amien, yang seharusnya bertindak sebagai
tokoh pemersatu, telah membuyarkan harapan banyak orang. Sampai
sekarang belum ditemukan formula mujarab untuk merukunkan 17
sekte yang berhulu pada dua agama: Islam dan Kristen. Golongan
Islam terpecah dalam kelompok Sunni, Syiah, dan Druze dengan
anasirnya yang militan, seperti Murabitoun dan Al-Amal. Di kubu
Kristen ditemukan umat Katolik Romawi, Yunani, Armenia, serta
Protestan dengan unsur militan Falangis dan Partai Liberal
Nasional - yang terakhir ini dipimpin Presiden Camille Chamoun.
Dibina oleh Pierre Gemayel, ayah Amien Falangis tumbuh pesat
sejak 1939. Berkat tentara sukarelanya yang dilatih dan mendapat
bantuan senjata dari Israel, Falangis, yang berkekuatan 70.000
orang, muncul sebagai kelompok terkuat di kubu Kristen Maronit.
Penantangnya bukan tidak ada. Bekas presiden Sulaiman Franjieh
menyimpan dendam berdarah pada Falangis yang membunuh anaknya
(Tony Franjich), menanttl, cucu berikut 32 pengikut dalam suatu
serangan Juni 1978. Sekarang, Sulaiman Franjich bersama Rashid
Karami, wakil Sunni, dan Walid Jumblatt membentuk Front
Penyelamat Nasional, yang berfungsi sebagai Oposisi terhadap
pemerintahan Amien Gemayel.
Milisi "Harimau" dari Partai Liberal Nasional disikat Falangis,
Juli 1980. Raymond Edde, pemimpin Katolik yang didukung golongan
moderat, terpaksa hijrah ke Paris sesudah nyawanya terancam tiga
kali. Di samping itu, ada pula George Hawi, seorang Katolik yang
mcmimpin Partai Komunis Libanon.
Aneka warna Libanon tidak berhenti pada kubu Katolik.
Warna-warni di kalangan Islam tidak kurang meriahnya, dengan
keragaman yang lebih tertonjol bukan pada sekte, tapi lebih pada
prinsip kelompok masing-masing. Rashid Karami, misalnya, peka
sekali terhadap hegemoni Falangis. Sedang Moussawi dari Amal di
Baalbek (berkekuatan 5.000 orang) memandang penuh curiga pada
anak buah mendiang Bashir Gemayel, adik Amien, yang telah
melancarkan pembantaian di Sabra dan Shatila, September tahun
silam.
Tapi, dalam semua hal, semua kelompok Islam plus grup Katolik
Sulaiman Franjieh menolak perjanjian dengan Israel. Dalam
anggapan mereka perjanjian itu mengeluarkan Libanon dari
lingkungannya yang normal, hingga warisan budaya, watak, dan
masa depan negeri itu terancam. Perjanjian di mata mereka sama
artinya dengan penzionisan Libanon. Perlu juga dlcatat, ketika
presiden itu bicara tentang Libanon yang dekat dengan
nllai-nilar Barat, golongan Islam justru bercita-cita memperkuat
kearaban Libanon. Ideologis, kedua pihak di sini sudah bertolak
belakang. Akhirnya jika harus memilih, tentu pihak Islam lebil
mengunggulkan kerja sama antara 17 sekte daripada dengan Israel.
Kerja sama antar sekte itu masih dipercaya sebagai sumber
kekuatan dan kebesaran Libanon.
Tapi kebesaran itu akan dicari di mana? Benar, Libanon, yang
menurut kodratnya memang terkotak-kotak itu, semula
memantulkan citra yang unik di mata internasional. Keragaman
mereka disalurkan mulus dalam Konvensi Libanon yang terkenal
itu, sedang orang Islam dan Kristen telah hidup berdampingan
secara damai 14 abad lamanya.
Lihatlah, bagaimana tidak stabilnya negara itu. Sampai 1975
tercatat 35 kabinet Libanon jatuh bangun. Ledakan perpecahan
yang memuncak sekarang adalah klimaks dari krisis yang terus
tumbuh sejak delapan tahun silam - ketika Falangis berbenturan
keras dengan Druze. Sejak itu, pertumpahan darah merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah bangsa tersebut.
Harus diakui, ketika Libanon merdeka yang disebut persamaan
politik sebenarnya sudah tidak ada. Kristen Maronit yang maju di
bidang ekonomi dan lebih dekat dengan budaya Barat menikmati
beberapa hak istimewa. Sesuai dengan Konvensi Libanon, Kristen
mendapat kursi kepala negara seraya menguasai banyak posisi
penting dalam pemerintahan dan ketentaraan. Sedang Sunni
mendapat kursi PM, dan Sylah menperoleh kursi juru bicara
Parlemen.
Keistimewaan yang diperoleh golongan Kristen ini belakangan
mulai dirasakan tidak adil. Bukan saja karena golongan Islam
semakin terdesak, baik secara ekonomis maupun politis, juga
karena jumlah mereka semakin besar. Umat Syiah, yang terusir
dari ladang-ladang sempit mereka di selatan, akibat serangan
Israel, lalu menjelma jadi jelata miskin di Beirut Barat, pada
gilirannya menuntut partisipasi politik yang lebh pantas.
Sebagai golongan mapan, Falangis tidak mau beranjak dari
status-quo yang mereka nikmati sejak lama. Kerja sama dengan
Israel pada akhirnya menempatkan mereka sebagai musuh golongan
Islam berikut kelompok Kristen lainnya. Piere Gemayel, arsitek
Falangis itu, konon tidak menyukai persekutuan dengan Israel
yang disadarinya bisa menghancurkan bangsa sendiri. Tapi,
seperti yang bisa dilihat, persekutuan itu sudah dimulai Bashir
dan kini diteruskan oleh Amien. Namun, Pierre tua masih
mengimbau kerukunan nasional, seperti yang juga dikumandangkan
Rashid Karami dan pemimpin IUM, Shaikh Said Shaaban.
Muncul tahun silam, IUM (Islamic Unification Movement) yang
bermarkas di Tripoli merupakan wadah bersama gerakan Popular
Resistance, Lebanese Arab Movement dan tentara Jundullah. Teguh
memperjuangkan persatuan dan kesatuan Libanon, Shaaban dengan
10.000 pengikutnya keras membantah isu kerja sama IUM dengan
Syria.
Sebegitu jauh, peluang kearah sebuah rujuk nasional kini
tampaknya masih samar. Dengan Jumblatt yang melejit sendiri
bersama otonomi Shouf-nya, konsolidasi front Islam pun tidak
terbayangkan. Terombang-ambing oleh tarikan ke kanan dan ke
kiri, keutuhan Libanon semakin runyam oleh 6.000 gerilyawan PLO,
35.000 tentara Syria, dan 30.000 tentara Israel. Alkisah, Juni
1976, tentara Syria dengan alasan keamanan regional masuk ke
wilayah Libanon. Setelah mematahkan gerakan milisi Islam yang
didukung PLO, mereka lalu memantapkan posisi Presiden Elias
Sarkis. Mendapat peluang baik, tentara Syria kemudian menyebar
ke posisi strategis di seluruh Libanon. Pusat mereka di Libanon
adalah Lembah Bekaa dan Libanon Utara. Akibatnya, mereka
berhadapan dengan milisi Falangis yang kemudian memancing campur
tangan tentara Israel.
Pertikaian antara pihak-pihak yang bermusuhan di Libanon, baik
pribumi maupun asing, akhirnya sampai pada tahap berbahaya tidak
saja untuk negeri itu, tapi juga untuk kawasan luas di Timur
Tengah. Sekarang ini, meski terbatas, tahap itu meningkat pada
krisis dunia dan tak langsung melibatkan superpower AS dan Uni
Soviet.
Dikhawatirkan, Soviet segera terlibat, apalagi sebuah fregatnya
sudah membayang-bayangi kapal induk Eisenhower, duta khusus AS
MacFarlane dan penengah Arab Saudi. Pangeran Bandar bin Sultan
segera sibuk dengan diplomasi mereka. Hasilnya? Masih belum
tampak.
Sementara itu, Yasser Arafat dan PLOnya menggebu-gebu kembali.
Mereka mengkonsolidasikan diri di Libanon Utara seraya
memanfaatkan setiap peluang yang ada. Sasaran PLO adalah negara
merdeka untuk Palestina. Dan tidak peduli apakah itu lewat
kehancuran Libanon.
Syria juga punya sasaran: kembalinya dataran tinggi Golan,
sebuah pemerintah pusat yang kuat di Beirut yang senantiasa siap
bekerja sama dengan Damaskus. Akan halnya Israel punya tujuan:
penghancuran PLO dan aneksasi Tepi Barat.
Tak cuma mereka yang punya kepentingan. AS dan Uni Sovie juga
punya keinginan: perimbangan baru di Timur Tengah yang
menguntungkan strategi global masing-masing.
Dalam perbenturan kepentingan banyak negara seperti ini, apakah
Libanon masih bisa diselamatkan? Apakah, kalau itikad baik masih
tersisa, para pemimpin Libanon belum terlambat?
Suka atau tidak suka, para pemimpin Libanon harus melihat
perimbangan kekuatan militer yang bercokol di darat, laut, dan
udara dewasa ini. Kelompok pribumi terpecah antara tentara
Libanon (32-35.000 orang), pasukan gabungan Libanon dengan
mayoritas Falangis (25.000 orang), kelompok Franjieh (10.000
orang), Druze (4.000 orang), IUM (10.000 orang), Al-Amal di
bawah pimpinan Nabih Berri (5.000 orang), dan Al-Amal di bawah
pimpinan Hussein Moussawi (5.000 orang).
Tentara pendudukan asing terdiri atas gerilyawan PLO (6.000
orang), tentara Syria (25-35.000 orang), dan tentara Israel
(30.000 orang).
Pasukan penyangga perdamaian meliputi: pasukan PBB (Unifil)
sebanyak 6.000, tentara AS (32.000), tentara Prancis (2.000),
tentara Italia (2050), dan Inggris (97). Kehadiran AS diperkuat
90 pesawat tempur, sedangkan Prancis 40. Syria tahun ini
memperoleh armada tank baru dan pesawat tempur Mig-23 yang lebih
bisa diandalkan.
Kekuatan-kekuatan itu membagi medan perang Libanon atas beberapa
wiIayah: tentara Libanon berpusat sekitar Beirut, pasukan
gabungan Libanon menguasai kawasan antara Beirut dan Tripoli,
serta milisi Druze (dibantu tentara Libya, Syria, dan PLO)
bertahan dibukit Shouf. Adapun milisi pribumi Libanon lainnya,
seperti Franjieh dan Al-Ama, bersifat defensif kendati tentara
Syiah belakangan dipuji karena cukup terlatih dan agresif.
Syria dan gerilyawan PLO di timur dan utara, seperti halnya
Israel di selatan, sewaktu-waktu bisa mengubah posisi, sedangkan
tentara penjaga perdamaian dari AS dan Eropa, sesuai dengan
fungsi mereka, hanya dibolehkan menembak jika jiwa terancam.
Washington, sesudah memperoleh restu Kongres, akan memperpanjang
penempatan pasukannya 1« tahun lagi - jangka waktu yang dianggap
cukup bagi pemerintahan Amien Gemayel untuk memperkuat diri.
Adakah kesempatan bertahan bagi Sheik Amien Gemayel? Mungkin
ada, jika tentara Libanon bisa memperkuat diri dan Falangis mau
memberi konsesi pada golongan Islam. Di samping itu siasat jitu
juga ikut menentukan. Pihak Druze, misalnya, meski potensi
pasukannya lemah, tiba-tiba bikin kejutan. Ternyata sebelum
menghantam pasukan Falangis di bukit Shouf, Walid Jumblatt,
menurut majalah The Economist, menyusun muslihat bersama Israel.
Disepakati, Israel memberi bantuan militer pada Druze asalkan
mereka mencegah tentara Libanon, Syria, ataupun PLO masuk ke
bukit itu. Dan setelah "memanfaatkan" Israel, Druze kini dituduh
"berpetualang" dengan Syria.
Masa depan Libanon tampak akan diperjuangkan dengan macam-macam
kelihaian. Masalahnya kini, apakah persatuan dan kesatuan
sebagai bangsa masih dianggap perlu. Tanpa itu, tidak banyak
lagi yang bisa dikerjakan. Pierre Gemayel boleh saja berteori
tentang bangsa Libanon yang bersih sesudah melewati proses
pendewasaan (maksudnya: perang). Tapi, apakah golongan Islam
juga melihatnya demikian?
Akan halnya keutuhan Libanon sebagai negara dalam pengertian
kedaulatan atas wilayah sudah lama sirna. Sebaliknya, pemikiran
tentang sebuah "natie" Libanon tidak mustahil menemukan
penahapan baru sekarang ini - di saat-saat kerawanan memuncak.
Dan sejarah mengisyaratkan, mereka sudah mencapai satu titik,
dan dari titik itu tidak pernah ada jalan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini