Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah negeri, banyak nakoda neraka libanon sebuah negeri, banyak nakoda

Perang saudara akibat perpecahan golongan di libanon tak terelakkan. druze unjuk gigi melawan falangis dan tentara libanon. gemayel dianggap pro falangis dan israel. (ln)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA ada berita yang sama kuat getarannya dengan tembakan meriam 16 inci, itulah penyataan Walid Jumblatt, Sabtu lalu. Tatkala gencatan senjata meredakan kecamuk peran Libanon, kejutan Jumblatt menyambar tiba-tiba. Dari Desa Beiteddin, pemimpin Druze itu memaklumkan pembentukan administrasi sipil otonom, untuk kawasan bukit Shouf. Dicanangkan saat wakil-wakil 12 sekte di Libanon membahas pembentukan pemerintah kesatuan nasional, otonomi itu segera ditafsirkan sebagai awal pemisahan Jumblatt dari Libanon secara de facto. Presiden Amien Gemayel, seusai berkonsultasi tengah malam itu juga dengan PM Shafik Wazzan dan bekas PM Saeb Salam, cuma bisa angkat bahu. Apalagi otonomi itu, yang dituduh berbau makar, dapat dukungan dari Syria. Akan ke mana Jumblatt? Dan akan berakhir di mana nasib Republik Libanon? Tidak seorang dapat menjawab. Perpecahan negeri itu tampaknya seperti tak terelakkan, hingga seorang pengamat berkomentar, "Uang Arab Saudi ataupun meriam Amerika tidak akan mampu mempersatukan kembali Libanon." Indah bergunung-gunung, terletak menghadap ke Laut Tengah, Libanon, dengan luas 10.230 km persegi dengan penduduk sekitar 3 Juta Jiwa, memang sudah sejak lama terancam kehancuran. Kemerdekaannya dari perwalian Prancis tahun 1943 juga dianggap mengandung napas kematian yang ditiupkan pelan-pelan. Jika tidak oleh 17 sekte yang selalu cakar-cakaran dl sana, tentu oleh invasi asing, misalnya Syria, Israel, dan PLO. Tidak heran bila Amien berkata, "Gencatan senjata bukanlah sasaran utama. Tujuan kami adalah penarikan semua kekuatan asing dari bumi Libanon ...." Sebenarnya, pembaharuan itu sudah dicetuskan golongan kiri Islam ejak Maret 1975, ketika meletus perang saudara yang berporos pada konflik Kristen Falangis lawan Druze. Yang terakhir ini memperjuangkan pembaharuan politik, khususnya kesempatan yang sama bagi semua warga Libanon di bidang politik serta penghapusan kecenderungan sektaris di bidang administrasi dan militer. Tuntutan serupa juga dilontarkan tokoh gerakan Syiah Al-Amal, Nabih Berri di Beirut, dan Hussein Moussawi di Baalbek. "Kami berikhtiar mendapatkan kembali hak-hak kami yang dirampas, membentuk pemeintah nasional yang berimbang, dan membebaskan aparat Libanon dari hegemoni satu sekte atau satu partai," kata Jumblatt menyindir tajam. Bagaikan serangan terbuka, pemimpin 250.000 ummat Druze itu dalam tiap kesempatan berupaya memojokkan Amien . Presiden Amien Gemayel, yang semula dipandang lebih berorientasi ke dunia Arab, belakangan tampak condong ke AS dan Israel. Dalam 1 tahun masa pemerintahannya, ia tidak segera dapat merangkul banyak sekte di luar partainya sendiri, Kristen Falangis. Memang ini tidak mudah. Tapi adalah Amien juga yang bertindak sebagai arsitek perjanjian damai Libanon dengan Israel yang ditandatangani Mei berselang. Perjanjian ini merupakan pukulan keras kedua bagi golongan Islam sesudah persetujuan Camp David antara Mesir dan Israel. Amien juga menyempatkan berkunjung sampai dua kali ke Washington untuk memperoleh dukungan moril dan bantuan militer dari Presiden Ronald Reagan. Ia berhasil melaksanakan diplomasi tingkat tinggi. Tapi sukses itu sekaligus memerosotkan citranya di mata golongan kiri. Kekecewaan terhadap Amien mencapai klimaks ketika ia menerima menteri pertahanan Israel Moshe Arens meninjau barak-barak tentara Libanon. Kontan ia dicap presiden Falangis, bukan presiden Libanon. Bagi golongan Islam, Amien tidak lagi berada di atas semua golongan, tapi sudah memihak. Padahal, jumlah golongan Islam kini diperkirakan sudah mengalahkan mayoritas Kristen di Libanon (pertimbangan semula Kristen 55%, Islam 45%). Sayang, penampilan Amien, yang seharusnya bertindak sebagai tokoh pemersatu, telah membuyarkan harapan banyak orang. Sampai sekarang belum ditemukan formula mujarab untuk merukunkan 17 sekte yang berhulu pada dua agama: Islam dan Kristen. Golongan Islam terpecah dalam kelompok Sunni, Syiah, dan Druze dengan anasirnya yang militan, seperti Murabitoun dan Al-Amal. Di kubu Kristen ditemukan umat Katolik Romawi, Yunani, Armenia, serta Protestan dengan unsur militan Falangis dan Partai Liberal Nasional - yang terakhir ini dipimpin Presiden Camille Chamoun. Dibina oleh Pierre Gemayel, ayah Amien Falangis tumbuh pesat sejak 1939. Berkat tentara sukarelanya yang dilatih dan mendapat bantuan senjata dari Israel, Falangis, yang berkekuatan 70.000 orang, muncul sebagai kelompok terkuat di kubu Kristen Maronit. Penantangnya bukan tidak ada. Bekas presiden Sulaiman Franjieh menyimpan dendam berdarah pada Falangis yang membunuh anaknya (Tony Franjich), menanttl, cucu berikut 32 pengikut dalam suatu serangan Juni 1978. Sekarang, Sulaiman Franjich bersama Rashid Karami, wakil Sunni, dan Walid Jumblatt membentuk Front Penyelamat Nasional, yang berfungsi sebagai Oposisi terhadap pemerintahan Amien Gemayel. Milisi "Harimau" dari Partai Liberal Nasional disikat Falangis, Juli 1980. Raymond Edde, pemimpin Katolik yang didukung golongan moderat, terpaksa hijrah ke Paris sesudah nyawanya terancam tiga kali. Di samping itu, ada pula George Hawi, seorang Katolik yang mcmimpin Partai Komunis Libanon. Aneka warna Libanon tidak berhenti pada kubu Katolik. Warna-warni di kalangan Islam tidak kurang meriahnya, dengan keragaman yang lebih tertonjol bukan pada sekte, tapi lebih pada prinsip kelompok masing-masing. Rashid Karami, misalnya, peka sekali terhadap hegemoni Falangis. Sedang Moussawi dari Amal di Baalbek (berkekuatan 5.000 orang) memandang penuh curiga pada anak buah mendiang Bashir Gemayel, adik Amien, yang telah melancarkan pembantaian di Sabra dan Shatila, September tahun silam. Tapi, dalam semua hal, semua kelompok Islam plus grup Katolik Sulaiman Franjieh menolak perjanjian dengan Israel. Dalam anggapan mereka perjanjian itu mengeluarkan Libanon dari lingkungannya yang normal, hingga warisan budaya, watak, dan masa depan negeri itu terancam. Perjanjian di mata mereka sama artinya dengan penzionisan Libanon. Perlu juga dlcatat, ketika presiden itu bicara tentang Libanon yang dekat dengan nllai-nilar Barat, golongan Islam justru bercita-cita memperkuat kearaban Libanon. Ideologis, kedua pihak di sini sudah bertolak belakang. Akhirnya jika harus memilih, tentu pihak Islam lebil mengunggulkan kerja sama antara 17 sekte daripada dengan Israel. Kerja sama antar sekte itu masih dipercaya sebagai sumber kekuatan dan kebesaran Libanon. Tapi kebesaran itu akan dicari di mana? Benar, Libanon, yang menurut kodratnya memang terkotak-kotak itu, semula memantulkan citra yang unik di mata internasional. Keragaman mereka disalurkan mulus dalam Konvensi Libanon yang terkenal itu, sedang orang Islam dan Kristen telah hidup berdampingan secara damai 14 abad lamanya. Lihatlah, bagaimana tidak stabilnya negara itu. Sampai 1975 tercatat 35 kabinet Libanon jatuh bangun. Ledakan perpecahan yang memuncak sekarang adalah klimaks dari krisis yang terus tumbuh sejak delapan tahun silam - ketika Falangis berbenturan keras dengan Druze. Sejak itu, pertumpahan darah merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah bangsa tersebut. Harus diakui, ketika Libanon merdeka yang disebut persamaan politik sebenarnya sudah tidak ada. Kristen Maronit yang maju di bidang ekonomi dan lebih dekat dengan budaya Barat menikmati beberapa hak istimewa. Sesuai dengan Konvensi Libanon, Kristen mendapat kursi kepala negara seraya menguasai banyak posisi penting dalam pemerintahan dan ketentaraan. Sedang Sunni mendapat kursi PM, dan Sylah menperoleh kursi juru bicara Parlemen. Keistimewaan yang diperoleh golongan Kristen ini belakangan mulai dirasakan tidak adil. Bukan saja karena golongan Islam semakin terdesak, baik secara ekonomis maupun politis, juga karena jumlah mereka semakin besar. Umat Syiah, yang terusir dari ladang-ladang sempit mereka di selatan, akibat serangan Israel, lalu menjelma jadi jelata miskin di Beirut Barat, pada gilirannya menuntut partisipasi politik yang lebh pantas. Sebagai golongan mapan, Falangis tidak mau beranjak dari status-quo yang mereka nikmati sejak lama. Kerja sama dengan Israel pada akhirnya menempatkan mereka sebagai musuh golongan Islam berikut kelompok Kristen lainnya. Piere Gemayel, arsitek Falangis itu, konon tidak menyukai persekutuan dengan Israel yang disadarinya bisa menghancurkan bangsa sendiri. Tapi, seperti yang bisa dilihat, persekutuan itu sudah dimulai Bashir dan kini diteruskan oleh Amien. Namun, Pierre tua masih mengimbau kerukunan nasional, seperti yang juga dikumandangkan Rashid Karami dan pemimpin IUM, Shaikh Said Shaaban. Muncul tahun silam, IUM (Islamic Unification Movement) yang bermarkas di Tripoli merupakan wadah bersama gerakan Popular Resistance, Lebanese Arab Movement dan tentara Jundullah. Teguh memperjuangkan persatuan dan kesatuan Libanon, Shaaban dengan 10.000 pengikutnya keras membantah isu kerja sama IUM dengan Syria. Sebegitu jauh, peluang kearah sebuah rujuk nasional kini tampaknya masih samar. Dengan Jumblatt yang melejit sendiri bersama otonomi Shouf-nya, konsolidasi front Islam pun tidak terbayangkan. Terombang-ambing oleh tarikan ke kanan dan ke kiri, keutuhan Libanon semakin runyam oleh 6.000 gerilyawan PLO, 35.000 tentara Syria, dan 30.000 tentara Israel. Alkisah, Juni 1976, tentara Syria dengan alasan keamanan regional masuk ke wilayah Libanon. Setelah mematahkan gerakan milisi Islam yang didukung PLO, mereka lalu memantapkan posisi Presiden Elias Sarkis. Mendapat peluang baik, tentara Syria kemudian menyebar ke posisi strategis di seluruh Libanon. Pusat mereka di Libanon adalah Lembah Bekaa dan Libanon Utara. Akibatnya, mereka berhadapan dengan milisi Falangis yang kemudian memancing campur tangan tentara Israel. Pertikaian antara pihak-pihak yang bermusuhan di Libanon, baik pribumi maupun asing, akhirnya sampai pada tahap berbahaya tidak saja untuk negeri itu, tapi juga untuk kawasan luas di Timur Tengah. Sekarang ini, meski terbatas, tahap itu meningkat pada krisis dunia dan tak langsung melibatkan superpower AS dan Uni Soviet. Dikhawatirkan, Soviet segera terlibat, apalagi sebuah fregatnya sudah membayang-bayangi kapal induk Eisenhower, duta khusus AS MacFarlane dan penengah Arab Saudi. Pangeran Bandar bin Sultan segera sibuk dengan diplomasi mereka. Hasilnya? Masih belum tampak. Sementara itu, Yasser Arafat dan PLOnya menggebu-gebu kembali. Mereka mengkonsolidasikan diri di Libanon Utara seraya memanfaatkan setiap peluang yang ada. Sasaran PLO adalah negara merdeka untuk Palestina. Dan tidak peduli apakah itu lewat kehancuran Libanon. Syria juga punya sasaran: kembalinya dataran tinggi Golan, sebuah pemerintah pusat yang kuat di Beirut yang senantiasa siap bekerja sama dengan Damaskus. Akan halnya Israel punya tujuan: penghancuran PLO dan aneksasi Tepi Barat. Tak cuma mereka yang punya kepentingan. AS dan Uni Sovie juga punya keinginan: perimbangan baru di Timur Tengah yang menguntungkan strategi global masing-masing. Dalam perbenturan kepentingan banyak negara seperti ini, apakah Libanon masih bisa diselamatkan? Apakah, kalau itikad baik masih tersisa, para pemimpin Libanon belum terlambat? Suka atau tidak suka, para pemimpin Libanon harus melihat perimbangan kekuatan militer yang bercokol di darat, laut, dan udara dewasa ini. Kelompok pribumi terpecah antara tentara Libanon (32-35.000 orang), pasukan gabungan Libanon dengan mayoritas Falangis (25.000 orang), kelompok Franjieh (10.000 orang), Druze (4.000 orang), IUM (10.000 orang), Al-Amal di bawah pimpinan Nabih Berri (5.000 orang), dan Al-Amal di bawah pimpinan Hussein Moussawi (5.000 orang). Tentara pendudukan asing terdiri atas gerilyawan PLO (6.000 orang), tentara Syria (25-35.000 orang), dan tentara Israel (30.000 orang). Pasukan penyangga perdamaian meliputi: pasukan PBB (Unifil) sebanyak 6.000, tentara AS (32.000), tentara Prancis (2.000), tentara Italia (2050), dan Inggris (97). Kehadiran AS diperkuat 90 pesawat tempur, sedangkan Prancis 40. Syria tahun ini memperoleh armada tank baru dan pesawat tempur Mig-23 yang lebih bisa diandalkan. Kekuatan-kekuatan itu membagi medan perang Libanon atas beberapa wiIayah: tentara Libanon berpusat sekitar Beirut, pasukan gabungan Libanon menguasai kawasan antara Beirut dan Tripoli, serta milisi Druze (dibantu tentara Libya, Syria, dan PLO) bertahan dibukit Shouf. Adapun milisi pribumi Libanon lainnya, seperti Franjieh dan Al-Ama, bersifat defensif kendati tentara Syiah belakangan dipuji karena cukup terlatih dan agresif. Syria dan gerilyawan PLO di timur dan utara, seperti halnya Israel di selatan, sewaktu-waktu bisa mengubah posisi, sedangkan tentara penjaga perdamaian dari AS dan Eropa, sesuai dengan fungsi mereka, hanya dibolehkan menembak jika jiwa terancam. Washington, sesudah memperoleh restu Kongres, akan memperpanjang penempatan pasukannya 1« tahun lagi - jangka waktu yang dianggap cukup bagi pemerintahan Amien Gemayel untuk memperkuat diri. Adakah kesempatan bertahan bagi Sheik Amien Gemayel? Mungkin ada, jika tentara Libanon bisa memperkuat diri dan Falangis mau memberi konsesi pada golongan Islam. Di samping itu siasat jitu juga ikut menentukan. Pihak Druze, misalnya, meski potensi pasukannya lemah, tiba-tiba bikin kejutan. Ternyata sebelum menghantam pasukan Falangis di bukit Shouf, Walid Jumblatt, menurut majalah The Economist, menyusun muslihat bersama Israel. Disepakati, Israel memberi bantuan militer pada Druze asalkan mereka mencegah tentara Libanon, Syria, ataupun PLO masuk ke bukit itu. Dan setelah "memanfaatkan" Israel, Druze kini dituduh "berpetualang" dengan Syria. Masa depan Libanon tampak akan diperjuangkan dengan macam-macam kelihaian. Masalahnya kini, apakah persatuan dan kesatuan sebagai bangsa masih dianggap perlu. Tanpa itu, tidak banyak lagi yang bisa dikerjakan. Pierre Gemayel boleh saja berteori tentang bangsa Libanon yang bersih sesudah melewati proses pendewasaan (maksudnya: perang). Tapi, apakah golongan Islam juga melihatnya demikian? Akan halnya keutuhan Libanon sebagai negara dalam pengertian kedaulatan atas wilayah sudah lama sirna. Sebaliknya, pemikiran tentang sebuah "natie" Libanon tidak mustahil menemukan penahapan baru sekarang ini - di saat-saat kerawanan memuncak. Dan sejarah mengisyaratkan, mereka sudah mencapai satu titik, dan dari titik itu tidak pernah ada jalan kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus