Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Satu Malam di Masjid Mustafa

Patroli tentara Amerika dan Irak membantai 37 orang jemaah Masjid Mustafa. Reaksi marah bermunculan.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Masjid Mustafa, di Shaab, timur laut Bagdad, mayat ke-37 lelaki itu tergeletak. Mereka tewas saat menjalankan salat isya pada Ming-gu malam dua pekan lalu. Darah mere-ka menggenang di lantai semen, di anta-ra tebaran selongsong peluru kaliber 5,56 milimeter—milik tentara penduduk-an Amerika Serikat (AS).

Tumpukan kritik terhadap penduduk-an yang telah berumur dua tahun itu ma-kin membukit. Dan kali ini lakonnya- sa-ma: AS dalam posisi defensif. Ya, itu-lah insiden yang pecah di suatu kere-mang-an malam, dengan ongkos politik yang tinggi. Di Bagdad, Letnan Kolonel- Barry Johnson, juru bicara pasukan AS di Irak, menawarkan sebuah rekonstruksi kejadian. Kejadian yang meletus mana-kala tentara AS dan Irak melakukan p-atroli bersama, melacak pemberontak ber-senjata, dari rumah ke rumah.

Johnson mempertahankan: tak ada anggota pasukan yang masuk ke masjid.- ”Dalam pengertian kami itu bukan mas-jid, tapi sebuah tempat berkumpul,” ujar-nya. Malam itu pasukan gabungan itu men-cium penembak gelap yang menye-rang mereka bersembunyi di tempat itu, seraya menguncinya dengan senapan me-sin. Hasilnya, paling tidak mereka menewaskan 16 orang yang diyakini se-ba-gai anggota milisia. Tak ada kerugian di pihak tentara AS-Irak.

Tentu saja, penjelasan instan ini tak men-dapat sambutan hangat. Menurut versi lainnya, 40 orang tewas, termasuk- 16 anggota milisia Mahdi, kelompok Syiah garis keras yang dipimpin Muqtada al-Sadr. Sebuah reportase tele-visi se-tem-pat memperlihatkan dinding ba-ngunan yang rompal, dan sebuah ruang-an dengan poster-poster religius di din-ding-nya—menunjukkan sebuah inter-ior yang biasa dipergunakan untuk salat dan pembahasan agama.

Presiden Irak Jalal Talabani langsung bereaksi. ”Mereka yang melakukan serangan itu harus bertanggung jawab dan dihukum,” katanya. Ia langsung ber-bicara dengan Duta Besar Amerika Serikat di Bagdad, Zalmay Khalilzad, dan memutuskan membentuk komite Irak-AS untuk menyelidiki kejadian tersebut. ”Saya secara personal akan men-jadi pengawasnya. Saya mau tahu s-iapa di balik serangan ini dan ingin me-nyeretnya ke pengadilan.”

Menteri Dalam Negeri Irak Bayan Jabr Solagh juga mengecam pembantaian ter-hadap orang-orang yang sedang ber-ibadah. ”Operasi itu tidak di bawah kontrol polisi, tetapi tentara. Polisi malah di-larang masuk ke area tersebut,” kata-nya. Polisi, pihak yang tidak terlibat, me-nurunkan rincian hasil penyelidik-an semen-taranya. Ada 17 orang tewas: 7 ang-gota milisia Al-Sadr, 3 aktivis politik, dan 7 warga sipil biasa.

Banyak kerugian akibat peristiwa itu. Irak berusaha keras menjalin pem-bicaraan mengenai pemerintah yang me-libat-kan- tiga kelompok besar—Syiah, Sun-ni, dan Kurdi. Aliansi Irak Bersatu, blok Syiah terbesar dalam parlemen, memba-talkan pembicaraan tentang itu. Syiah, ter-masuk Syiah radikal, adalah bagian dari parlemen baru negeri itu. Ada 13 anggota parlemen baru yang di-nilai punya hubungan dekat dengan Muqtada al-Sadr.

Nuri Kamal Muhammad Hasan alias Jawad al-Maliki, anggota parlemen pendu-kung Perdana Menteri Ibrahim Jaa-fa-ri dari Partai Dakwah Islamiyah, me-nu-turkan bahwa para korban adalah konstituennya. ”Itu merupakan penye-rang-an atas kemuliaan orang Irak dan menghancurkan kredibilitas Amerika yang punya slogan kebebasan, demokrasi, dan pluralisme. Karena itu kami ingin- we-wenang penjagaan keamanan di-serah-kan kembali ke pemerintah Irak, bukan tentara asing,” katanya. Hal serupa juga diungkap pimpinan politisi Sunni Irak, Saleh Mutlak. Ia malah menganggap AS sengaja mendorong ke arah perang si-pil,” ujar tokoh dari Front Irak untuk Dialog Kebangsaan ini.

Perlahan, untuk sementara waktu,- pernyataan-pernyataan politik tergiring- ke satu titik: AS sebagai musuh ber-sama. Begitukah? Memang banyak kepenting-an yang terlibat di Irak, termasuk kepentingan AS.

Ahmad Taufik (Washington Post, IRNA, The Guardian, Los Angeles Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus