Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA gadis cilik Etiopia bermain riang di sebuah taman kota kecil di Eupen, Belgia. Langit cerah. Selapis tipis salju masih membayang di rumput. Hani dan Medhanit, nama dua bocah berumur 3 tahun itu, menatap heran butiran-butiran putih yang belum pernah mereka saksikan di kampung halamannya. Tiba-tiba tubuh keduanya terhuyung karena didorong oleh Marvin, 10 tahun, dan Alina, 5 tahun, kakak angkat mereka. Alih-alih marah, kedua bocah itu ikut tertawa bersama. Di kejauhan, Stefan dan Miriam Collet, pasangan yang mengadopsi Hani dan Medhanit, tersenyum menyaksikan keluarga baru mereka. ”Kami selalu ingin punya keluarga besar,” ujar Stefan. Miriam mengangguk, lalu tersenyum.
Anak kandung mereka adalah Marvin. Empat tahun lalu pasangan ini mengadopsi seorang bocah Haiti yang bernama Alina. Huru-hara di Haiti menyebabkan banyak anak telantar. Hati keduanya tergerak kembali saat berita tentang anak yatim Etiopia marak di mana-mana. Nahas itu berpangkal pada AIDS yang diidap orang tua mereka.
Stefan dan Miriam adalah satu dari sekian keluarga di Amerika Utara dan Eropa yang menyelamatkan masa depan mereka. Sekitar 30 anak Etiopia saat ini tengah menanti giliran untuk mendapatkan keluarga baru. Anak-anak ini menjalani tes kesehatan yang ketat dan harus dipastikan bebas dari HIV.
Etiopia adalah kisah terkelam dari anak-anak yatim Afrika. Dua dekade silam anak-anak ini kehilangan orang tua akibat perang, wabah kelaparan, serta penyakit serius lain. Belakangan, penyebabnya kian tunggal: HIV. Di Etiopia sekitar 5 juta anak bernasib demikian. Jika ditambahkan dengan para bocah dari negara lain di Afrika, Eropa Timur, dan Asia Tengah, jumlahnya bisa mencapai 14 juta jiwa.
Badan PBB yang mengurus persoalan anak, UNICEF, memprediksi angka ini akan terus membengkak. Diperkirakan, untuk wilayah di sekitar Sahara saja akan ada 18 juta anak yatim pada 2010. ”Setiap menit satu anak terinfeksi HIV dan satu anak lain meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS,” tutur Ann Veneman, Direktur Eksekutif UNICEF.
Dari anak-anak yang positif terjangkit virus, hanya 5 persen yang mendapat pengobatan, dan kurang dari 10 persen yang memperoleh bantuan keuangan, entah dari pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat.
Penasihat UNICEF di Nairobi, Kenya, Naisiadet Mason, adalah pengidap AIDS yang punya dua anak. Dia berkata begini: ”Waktu untuk saling menyalahkan sudah berlalu. Kini saatnya bertindak, mulai dari pemerintah ke bawah.” Mason menjelaskan, saat ia dinyatakan positif terkena AIDS, langit serasa runtuh. Kesepian yang tak terperikan melanda ketika setiap orang menjauh. ”Penderita AIDS harusnya diperlakukan seperti pengidap penyakit lain, karena kita tahu AIDS bisa dikontrol,” katanya optimistis.
Masalahnya, tak semua warga Kenya, Etiopia, ataupun negeri-negeri Afrika yang menyimpan AIDS bisa seoptimistis Mason. Banyak yang percaya, penyakit ini tak tersembuhkan. Di kalangan penderita pun masih ada hambatan kultural. Adopsi anak si penderita yang bertujuan menyelamatkan masa depan mereka bukan sesuatu yang lazim dilakukan di dalam negeri.
Akibatnya, banyak dari anak-anak itu yang diadopsi oleh warga dunia—setelah kehilangan orang tua mereka. Menyadari hambatan ini, pemerintah Etiopia mulai berkampanye tentang manfaat adopsi bagi anak-anak penderita AIDS. Pilihan pertama adalah tetap diasuh oleh keluarga sendiri agar tak terjadi benturan budaya. Adopsi oleh keluarga di luar Etiopia menjadi pilihan terakhir.
Kampanye global tentang masalah ini kini mulai bergema. Umpamanya, ”Unite for Children, Unite Against AIDS”. Fokus kampanye ada pada tiga hal: mencegah penularan dari ibu ke anak, mendidik anak-anak muda untuk menjaga diri dari kemungkinan terkena HIV, dan memastikan setiap anak yang positif mengidap AIDS mendapat pengobatan yang layak. ”Dunia harus bersatu. Besaran masalah ini kian mencemaskan, sedangkan lingkup penanganan masih jauh dari mencukupi,” Veneman mengeluh.
Kecemasan itu sungguh berdasar. Sebab, betapa banyaknya sayap mungil yang akan patah dan merana—bila terlambat ditolong.
Mati belum saatnya, tak mati menderita.
Akmal Nasery Basral (BBC, Wikipedia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo