Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Derita Yusuf di Guantanamo

James Yee, seorang perwira muslim AS yang dituduh menjadi mata-mata di kamp Guantanamo, dipecat dari jabatannya. Pengalaman buruk itu dia tuangkan dalam sebuah buku yang kini telah beredar.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkali-kali perempuan itu mengusap air matanya dengan kerudung. Matanya sembap oleh tangis. Sebuah pistol tergenggam di telapak tangan. Di atas meja dua peluru tergeletak. ”Ajari aku menggunakannya,” bisik wanita itu lewat telepon di apartemen Olympia di Washington, DC.

Di seberang sana, Kapten James Yee, 37 tahun, panik bukan main. Sang kapten adalah seorang perwira rohani yang telah terlatih menghadapi orang putus asa ataupun yang ingin memutus nyawa. Tapi ini kasus istimewa: yang berbicara di seberang telepon adalah Huda Suboh, istrinya sekaligus ibu anak tunggalnya, Sarah Yee, 3 tahun. James Yee tak mampu menolong, selain menelepon polisi yang membawa Huda ke rumah sakit. Kondisi Huda kritis karena depresi.

Itulah puncak kemelut hidup James Yee. Dia baru saja bebas dari penjara Angkatan Laut di Caroline Utara. Ditahan pada 10 September 2003, kapten ini dibui dengan tuduhan menjadi mata-mata dan menyembunyikan musuh saat bertugas di kamp tawanan Guantanamo, Kuba. Diancam hukuman mati, Yee merasa nasibnya bak Yusuf dalam kisah Al-Quran: difitnah dan dikurung.

Dia mendekam hingga 76 hari dalam tahanan sebelum pemerintah mencabut tuduhan. Yee lega, tapi cuma sesaat. Hari itu juga menanti tiga tuduhan baru: berbohong kepada penyelidik, berzina, dan mengakses materi pornografi dari komputer pemerintah. Media massa heboh. Belakangan, semua tuduhan dicabut tanpa proses pengadilan namun dia tetap diberhentikan dengan hormat dari militer pada Januari 2005.

Delapan bulan lewat. Pada 16 Oktober lalu, namanya muncul sebagai pengarang buku bertajuk For God and Country, Faith and Patriotism under Fire. Dalam buku itu Yee membeberkan konflik antara keyakinannya sebagai muslim dan tugasnya sebagai perwira militer AS.

James Yee dibesarkan di Springfield, New Jersey. Dia adalah satu dari lima bersaudara generasi kedua imigran Cina. Dia masuk akademi militer West Point, New York—diwisuda pada 1990. Lewat seorang temannya, Yee tertarik menjadi muslim. ”Saya menemukan kesederhanaan dalam Islam,” ujarnya. Ia cuti dari dinas militer pada 1993 untuk mempelajari Islam hingga ke Suriah. Di negeri itu dia menyunting Huda. Ketika kembali berdinas di Amerika, dia diangkat sebagai perwira rohani.

Tragedi 11 September 2001 membalik jalan hidupnya. Saat itu Yee bertugas meredakan ketegangan serdadu muslim dengan non-muslim. Ia mengajarkan bahwa Islam adalah agama damai, tak ada berkaitan dengan terorisme. Karena itu ia memperoleh pujian. Pada 2002 ia dipindahkan ke Guantanamo untuk ikut menangani 550 tawanan Taliban dari Afganistan.

Ketika datang ke Guantanamo, seorang perwira sempat memperingatkan Yee, ”Ini bukan lingkungan yang bersahabat bagi muslim.” Yee memang dicurigai karena ia seiman dan dekat dengan tawanan. Kemampuannya berbahasa Arab dan pengaduannya tentang pelecehan AlQuran membuat sejumlah perwira geram. Ia digelari ”Taliban Cina”.

Yee mendeskripsikan praktek kejam para sipir. Misalnya memaksa tawanan berbaring dengan tangan diikat, lalu diseret dan dijebloskan ke sel pengasingan. Ada sipir yang mengejek tawanan yang tengah salat atau mencabik Al-Quran saat pemeriksaan. Tawanan juga dipaksa duduk di tengah ”lingkaran setan” lilin bernyata di lantai. Korban itu kemudian diperintah sujud saat interogator berteriak: ”Setan adalah Tuhan saya, bukan Allah!”

Semua kisah inilah yang mengubah posisi perwira rohani itu menjadi tawanan. Toh Yee merasa semua tuduhan itu masih menjadi misteri. ”Saya bukan teroris, bukan mata-mata,” katanya. Tapi Pentagon diam seribu basa. Kolonel Bill Costello, juru bicara militer AS wilayah selatan, akhirnya angkat bicara, ”James Yee kini warga sipil. Ia bebas menulis buku tentang pengalamannya.”

Yee kini hidup di New York dengan istri, anak, dan tumpukan utang karena harus membayar pengacara. ”Saya berharap satu ketika militer meminta maaf,” ujarnya.

Alih-alih maaf, agen FBI justru menyatroni apartemennya. ”Denda” tambahan: dia dilarang bepergian ke luar negeri.

Raihul Fadjri (Washington Post, Reuters, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus