Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Referendum untuk Calon Tunggal
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pada Selasa pekan lalu. Mahkamah setuju daerah dengan calon tunggal tetap menggelar pemilihan. Caranya, memberi kesempatan kepada pemilih di daerah itu untuk setuju atau tidak setuju terhadap satu pasangan calon tersebut.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai Undang-Undang Pilkada yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. "Hak untuk dipilih dan memilih tidak boleh tersandera aturan," kata hakim Suhartoyo. Namun Mahkamah menolak usul pemohon, Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suyandaru, agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak kosong sehingga daerah tetap bisa menggelar pemilihan.
Komisi Pemilihan Umum memastikan akan mematuhi putusan tersebut. "Namun kami perlu mempelajari implikasi putusan ini, terutama untuk daerah yang calonnya kurang dari dua," kata Komisioner KPU Arief Budiman.
Putusan ini menuai kritik. Pengamat hukum tata negara Margarito, misalnya, mempertanyakan bagaimana KPU menentukan jumlah kemenangan berdasarkan pilihan setuju atau tidak setuju. "Golput itu termasuk tidak setuju atau tidak?" ujarnya. Adapun politikus Partai Persatuan Pembangunan, Arwani Thomafi, khawatir putusan ini dimanfaatkan partai dan pemilik modal untuk menciptakan situasi agar hanya ada satu pasangan calon di suatu daerah.
Pasal yang Dipersoalkan
Pasal 49 ayat 9 dan Pasal 50 ayat 9
KPU provinsi/kabupaten/kota membuka kembali pendaftaran pasangan calon gubernur/bupati/wali kota dan calon wakil gubernur/bupati/wali kota paling lama tiga hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat 8.
Putusan: Dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, termasuk bila setelah jangka waktu tiga hari terlampaui tapi tetap hanya ada satu pasangan calon.
Pasal 51 ayat 2 dan Pasal 52 ayat 2
Berdasarkan berita acara penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, KPU provinsi/kabupaten/kota menetapkan paling sedikit dua pasangan calon gubernur/bupati/wali kota dan calon wakil gubernur/bupati/wali kota dengan keputusan KPU provinsi/kabupaten/kota.
Putusan: Dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, termasuk bila hanya terdapat satu pasangan calon.
Polisi Lanjutkan Kasus Sarpin-Komisi Yudisial
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menyatakan perkara yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, dan dua pemimpin Komisi Yudisial tidak akan dilimpahkan ke Dewan Pers. "Ini bukan delik pers," kata juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, Senin pekan lalu.
Pernyataan Anton menanggapi surat rekomendasi Dewan Pers yang menyarankan penanganan pengaduan Sarpin merujuk pada nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian pada 2012, yakni segala sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers. Anggota Dewan Pers, Nezar Patria, menilai perkara ini menjadi persoalan bagi kebebasan berbicara dan berpendapat.
Sarpin melaporkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan salah satu wakilnya, Taufiqurrohman Syahuri, ke Bareskrim dengan tuduhan pencemaran nama. Sebelumnya, dua pemimpin Komisi Yudisial itu menilai Sarpin sebagai hakim telah merusak tatanan hukum karena putusan praperadilan yang diketuknya membebaskan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, kini Wakil Kapolri, dari status tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bupati Lombok Barat Divonis
Bupati Lombok Barat Zaini Arony terbukti memeras Komisaris Utama PT Djaja Business Group Putu Gede Djaja sehubungan dengan pemberian izin pengembangan kawasan wisata di wilayahnya. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar menetapkan politikus Partai Golkar ini dijatuhi vonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan, Rabu pekan lalu.
"Terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar ketua majelis hakim Prim Hariadi. Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yang meminta Zaini dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara.
Zaini terbukti menerima fulus Rp 2 miliar dari hasil memeras selama tiga tahun sejak 2010. Ketika itu Djaja Business mengajukan izin pemanfaatan lahan untuk pengembangan wisata golf di Dusun Meang, Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat.
Perekam Tingkah Polisi Dibui
Adlun Fiqri, mahasiswa Universitas Khairun, Ternate, pada Senin pekan lalu ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara lantaran mengunggah video "Kelakuan Polisi Minta Suap di Ternate" ke situs YouTube. Video berdurasi lebih dari semenit yang kini sudah dihilangkan dari peredaran itu mempertontonkan tingkah polisi lalu lintas Kepolisian Resor Ternate yang diduga meminta uang tilang kepada sejumlah pengendara motor dalam operasi lalu lintas di depan Rumah Sakit Dharma Ibu, Ternate, Sabtu dua pekan lalu.
Kepala Polres Ternate Ajun Komisaris Besar Kamal Baktiar menganggap Adlun mencemarkan citra polisi. Adlun ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur perbuatan yang dilarang, seperti mempublikasikan sesuatu yang memiliki muatan pencemaran nama. Tak lama kemudian, gerakan #Save Adlun Fiqri di media sosial Twitter dan Facebook bermunculan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo