SEANDAINYA pada hari-hari ini ada perdamaian di Yugoslavia, akan muncul sebuah peta yang agak ganjil. Sarajevo, ibu kota Bosnia-Hercegovina, akan tampak seperti Berlin Barat setelah Perang Dunia II: menjadi pulau di tengah wilayah negeri lain. Soalnya, sebagian wilayah Bosnia-Hercegovina kini berada di tangan militer Serbia. Situasi itu hanya membuktikan, munculnya perdana menteri baru di Serbia pertengahan Juli lalu tak membantu apa pun terhadap perang di Yugo kini. Milan Panic, perdana menteri baru yang punya dua kewarganegaraan Amerika dan Yugo sebentar setelah dilantik, mengusulkan jalan keluar. Yakni, demiliterisasi wilayahwilayah yang menjadi ajang peperangan. Tapi suara ahli ekonomi pasar itu ditelan dentuman meriam. Beberapa hari setelah ia resmi menjadi kepala pemerintahan Serbia, segera peperangan di ibu kota Bosnia meledak lagi. Sampaisampai pasukan PBB di sana mengumumkan bahwa bandar udara Sarajevo, yang semula dibuka untuk penerbangan pesawat pembawa bantuan kemanusiaan, dinyatakan tertutup kembali. Beberapa pengamat malah menyimpulkan, tampaknya Panic, yang lahir di Amerika, dan karena itu secara otomatis memiliki kewarganegaraan AS, sengaja dipasang oleh Serbia untuk mengobarkan peperangan. Soalnya, ia merangkap menjadi menteri pertahanan. Padahal, di Serbia, konon, militernya sangat tidak suka diperintah oleh sipil. Pernyataan perdana menteri baru itu pada wartawan pun terdengar janggal di tengah suasana perang. "Saya bertekad untuk mendirikan sistem kapitalisme di Yugoslavia," katanya. Lalu apa yang hendak dijualbelikan di pasar bebas? Senjata? Yang jelas, tembakmenembak di Bosnia, terutama di Sarajevo, semakin kacau. Menurut kabar, tentara PBB pun hampir terlibat pertempuran karena diprovokasi oleh militer Serbia. Dalam keadaan begini, yang dicemaskan banyak negara di Eropa Barat bisa diduga: mengalirnya arus pengungsi. Akhir Juli lalu saja dikabarkan sekitar 3.000 warga muslim Bosnia mengungsi ke markas pasukan PBB di perbatasan Kroasia, bekas negara bagian Yugo yang sudah terlebih dahulu melepaskan diri dari Federasi Yugoslavia. Di Jerman kini mengungsi sekitar 275.000 orang eks Yugo. Inggris dan Prancis menampung lebih dari 1.000 orang. Di Hungaria, 50.000 orang eks Yugo mencari perlindungan. Repotnya, dunia belum menemukan cara mengatasi persoalan seperti di Yugo itu. Campur tangan militer dari luar dikhawatirkan bakal menjadi preseden buruk, mengingat ini perang antaretnis. Membiarkan semua berlangsung terus tapi menutup pintu bagi pengungsi sipil, sama saja membiarkan pembantaian. Konon, sejumlah orang sipil Bosnia dibawa dengan kereta api oleh tentara Serbia, dan selama lima hari tak diberi apa pun. Mengepung Serbia dengan sanksi ekonomi dan menampung pengungsi berapa pun, mungkin jalan terbijaksana, sepanjang belum ada cara lain. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini