Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebutir peluru buat ninoy

Bekas senator Benigno S. Aquino, 51 th, mati tertembak sesaat tiba di manila dari pengasingannya di AS. Presiden Marcos diduga terlibat dalam pembunuhan tersebut. (ln)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHAD siang itu Aquino pulang. Tapi bukan untuk mengantarkan ajal. Ada cita-cita yang sejak dulu memacu semangatnya: perjuangan menegakkan demokrasi. Namun bandar udara Manila yang baru diinjaknya beberapa langkah, tiba-tiba saja harus menampung genangan darahnya. Sebuah peluru menembus belakang kepala Ninoy demikian nama populernya -- dan mengirimkan tokoh oposisi yang tangguh itu ke negeri jauh. Di sana tidak ada lagi cita-cita. Dan dari sana tidak pernah ada jalan kembali. Peristiwa kematian bekas senator Benigno Aquino, 51 tahun, merupakan klimaks paling hitam dalam tradisi keras politik Filipina. Ribuan massa yang bersiap-siap menyambut Ninoy seketika direnggut dari luapan suka cita. Pembunuhan di siang bolong itu terasa pahit dan amat mengguncang, mungkin karena terjadi di saat yang paling tidak mereka harapkan. Setelah tiga tahun hidup dalam pengasingan di Amerika Serikat, Aquino yang sejak lama tampil sebagai saingan berat Presiden Marcos, menegaskan tekadnya pulang ke tanah air. Ia tahu hukuman mati, yang dijatuhkan Pengadilan Militer, masih menunggunya. Kabar terakhir dari Manila bahkan menyebutkan adanya indikasi ia akan dibunuh. Tapi politisi kenamaan itu bersikeras untuk pulang ke tanah airnya. Dengan bekal paspor atas nama Marcial Bonifacio (Marcial diambil dari Martial Law, dan Bonifacio nama penjara tempat ia disekap), ia juga menghabiskan sembilan hari sebelum berhasil menumpang pesawat China Airlines dengan nomor penerbangan 811 dari Taipei ke Manila. Ninoy menyamar karena Pemerintah Filipina menolak memperbaharui paspornya dan tidak bersedia memberikan dokumen perjalanan dalam bentuk apa pun. Kehadiran Aquino semula diharapkan bisa memercikkan gairah baru di kalangan oposisi. Sebab mereka, beberapa tahun belakangan ini, nampak teramat lesu. Sebaliknya dengan Presiden Marcos. Ia dikabarkan tidak menghendaki Ninoy. Apalagi jika ia pulang sebelum Presiden Ronald Reagan berkunjung ke Manila, November depan. Jauh sebelum ini, ketika berkunjung ke AS, Imelda Marcos sudah membujuk Ninoy agar mau bekerja sama dengan pemerintah. Gagal membujuk, Imelda, konon, mengancam akan meringkusnya. Tidak lupa ia menuduh seteru suaminya itu terlibat aksi-aksi kekerasan -- di antaranya pengeboman di Manila dan kerja sama dengan penerbit koran oposisi We Forum. "Seluruh tentara Filipina tidak akan sanggup melindungi Aquino dari serangan pembunuh," katanya. Ketika tulisan ini diturunkan belum pasti siapa pelaku pembunuhan, dan siapa pula dalangnya. Diduga tentara. Sehari sebelum ajalnya, Aquino sempat menerima wartawan kantor berita Jepang, Kyodo di Taipei. Seraya menunjukkan jaket tahan peluru yang berlapis linen putih, berucap: "Saya menduga satu kelompok militer akan mencoba membunuh saya." Jaket itu memang dikenakannya beberapa menit sebelum turun dari pesawat, tapi malang, sang pembunuh menyarangkan peluru ke kepalanya. Dugaan Aquino itu dibantah polisi. Keterangan resmi Kepala Kepolisian Manila, Prospero Olivas, menyebutkan Aquino ditembak pemuda berseragam biru Pembunuh, yang diduga petugas kebersihan bandar internasional itu, kemudian tewas ditembak petugas keamanan yang menjaga di sekitar tempat kejadian. Kantor Berita Jepang, Kyodo dalam laporan menyebut adanya dua personil militer mendampingi Aquino turun dari tangga pesawat. Tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka mencabut pistol, dan langsung menembak korban. Tapi saksi lain bercerita bagaimana Ninoy, yang bersetelan putih, turun dari tangga pesawat diantarkan dua petuas imigrasi. Dan belum jauh ia melangkah di landasan, tiba-tiba petugas kebersihan berseragam biru itu langsung menembak kepala si korban. Hampir pada detik bersamaan pemuda tak dikenal itu dihabisi oleh petugas militer. Jenazahnya kemudian dibaringkan di salah satu ruang di terminal dan boleh dilihat para wartawan. Presiden Marcos, yang sedang beristirahat, menjanjikan pengusutan menyeluruh atas pembunuhan Aquino. Dan peristiwa berdarah itu akan dipelajarinya dalam "semangat kesadaran yang jernih". Di AS, putra almarhum, Benigno Aquino III, yakin lambat laun pembunuhan ayahnya akan terungkap. Lorenzo Tanada, tokoh penting pihak oposisi, merasa aneh pembunuh tak dikenal bisa menyusup begitu saja. Bekas Senator Jose Diokno setengah menuding berkata: "Ini merupakan peristiwa yang benar-benar dipersiapkan. Saya tidak tahu apakah militer terlibat, tapi pemerintah tidak dapat mencuci tangan." Pemimpin Gereja Katolik Manila, Kardinal Jaime Sim, mengharapkan supaya rakyat bangkit demi kebutuhan yang mendesak. Terbunuhnya Ninoy bagaimanapun tidak bisa dipisahkan dari persaingan Marcos-Aquino yang sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Menghadapi Pemilihan Umum 1972, Ninoy, yang waktu itu berusia 40 tahun, tampil sebagai calon kuat presiden menggantikan Marcos yang menurut konstitusi tidak berhak lagi dipilih untuk ketiga kalinya. Sadar bahwa karier politiknya akan terhambat, Marcos yang berotak dan berambisi cemerlang tiba-tiba memaklumkan UU Darurat Perang. Hingga tertutuplah kesempatan bagi Aquino untuk jadi presiden Filipina. Sampai tahun 1980, Aquino menjadi tahanan politik yang paling menarik perhatian. Dari balik penjara ia mengatur kampanye pemilihan umum untuk menandingi Imelda Marcos. Partai Liberal-nya kalah, tapi Aquino muncul sebagai lambang oposisi. Dengan izin Marcos, tahun 1980 Ninoy bertolak ke AS untuk operasi jantung. Setelah kesehatannya membaik ia mendapat beasiswa untuk gelar doktor di Harvard University, kemudian di MIT. Meski hidup bersama keluarga, Aquino tidak betah lebih lama mendekam di AS. Ia bisa terlupakan. Pemilihan Majelis Nasional Mei 1984, akan dimanfaatkan untuk melancarkan mekanisme partainya. Diharapkannya dalam tempo beberapa bulan partai yang kedodoran karena pembelotan dan kemandekan, bisa bergerak kembali. Tapi alasan utamanya untuk pulang adalah supaya bisa bertukar pendapat dengan Marcos. Juga agar presiden itu tidak lagi melihat Ninoy sebagai lawan politik yang selalu siap menggulingkannya,. Sikap tulus itu bisa ditemukan dalam pernyataan yang dipersiapkannya untuk publik Manila. "Saya pulang suka rela, dipersenjatai kesadaran yang jernih, dibentengi pikiran bahwa keadilan akhirnya akan menang," bunyi inti pernyataan Ninoy. Ia menambahkan, "Saya tidak mencari gara-gara . . . tapi saya siap untuk kemungkinan paling buruk". Sekian tahun digulung UU Darurat, kehidupan demokrasi di Filipina, yang semula bisa dibilang lumayan, tahun demi tahun digerogoti arus penangkapan tokoh politik, pemberangusan pers bebas, dan semakin terpusatnya kekuasan di tangan Marcos dan Imelda, istrinya. Akibat terlalu banyaknya larangan, partai oposisi semakin lumpuh. Sedangkan golongan militer, karena tuntutan keadaan, menjadi lebih kuat. "Presiden Marcos sakit-sakitan. Negeri ini menghadapi krisis ekonomi, sedangkan pihak militer semakin berkuku. Demokratisasi adalah satu-satunya jalan menyelamatkan Filipina. Jika gagal, negeri ini akan jadi Nikaragua kedua," tutur Aquino dalam sebuah wawancara dengan Newsweek. Tapi tidak semua orang sependapat bahwa kemerosotan ekonomi merupakan titik lemah Filipina. Namun harus diakui, kesulitan memperoleh dana sudah membayangi pembangunan di sana dalam beberapa tahun belakangan. Anggaran belanja tercekik oleh harga bahan bakar yang tinggi di saat komoditi ekspornya tidak cukup kuat menunjang peningkatan devisa. Gambaran suram -- ini diperburuk oleh cara kerja birokrasi yang brengsek. Tahun 1982 defisitnya berkisar US$ 600-800 juta, dan utang luar negeri US$ 14-17 milyar. Negeri yang berpenduduk 48 juta itu kini seperti kapal terancam kandas. Dalam masa jabatannya keenam sebagai presiden, Marcos condong mewariskan kekuasaan pada keluarganya sendiri. Dengan kata lain, ia tidak menunjukkan tanda-tanda mempersiapkan proses alih kekuasaan yang sehat. Sementara itu di luar Istana Malacanang, masyarakat tak sabar menunggu kejatuhan Marcos. Mereka pun agaknya siap untuk akibatnya yang lebih seram. Mereka menunggu khaos. Kejadian seperti inilah barangkali yang ingin dihindarkan Aquino. Karena itu ia pulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus