AHAD siang itu Aquino pulang. Tapi bukan untuk mengantarkan
ajal. Ada cita-cita yang sejak dulu memacu semangatnya:
perjuangan menegakkan demokrasi. Namun bandar udara Manila yang
baru diinjaknya beberapa langkah, tiba-tiba saja harus menampung
genangan darahnya. Sebuah peluru menembus belakang kepala Ninoy
demikian nama populernya -- dan mengirimkan tokoh oposisi yang
tangguh itu ke negeri jauh. Di sana tidak ada lagi cita-cita.
Dan dari sana tidak pernah ada jalan kembali.
Peristiwa kematian bekas senator Benigno Aquino, 51 tahun,
merupakan klimaks paling hitam dalam tradisi keras politik
Filipina. Ribuan massa yang bersiap-siap menyambut Ninoy
seketika direnggut dari luapan suka cita. Pembunuhan di siang
bolong itu terasa pahit dan amat mengguncang, mungkin karena
terjadi di saat yang paling tidak mereka harapkan.
Setelah tiga tahun hidup dalam pengasingan di Amerika Serikat,
Aquino yang sejak lama tampil sebagai saingan berat Presiden
Marcos, menegaskan tekadnya pulang ke tanah air. Ia tahu hukuman
mati, yang dijatuhkan Pengadilan Militer, masih menunggunya.
Kabar terakhir dari Manila bahkan menyebutkan adanya indikasi ia
akan dibunuh.
Tapi politisi kenamaan itu bersikeras untuk pulang ke tanah
airnya. Dengan bekal paspor atas nama Marcial Bonifacio (Marcial
diambil dari Martial Law, dan Bonifacio nama penjara tempat ia
disekap), ia juga menghabiskan sembilan hari sebelum berhasil
menumpang pesawat China Airlines dengan nomor penerbangan 811
dari Taipei ke Manila. Ninoy menyamar karena Pemerintah Filipina
menolak memperbaharui paspornya dan tidak bersedia memberikan
dokumen perjalanan dalam bentuk apa pun.
Kehadiran Aquino semula diharapkan bisa memercikkan gairah baru
di kalangan oposisi. Sebab mereka, beberapa tahun belakangan
ini, nampak teramat lesu. Sebaliknya dengan Presiden Marcos. Ia
dikabarkan tidak menghendaki Ninoy. Apalagi jika ia pulang
sebelum Presiden Ronald Reagan berkunjung ke Manila, November
depan.
Jauh sebelum ini, ketika berkunjung ke AS, Imelda Marcos sudah
membujuk Ninoy agar mau bekerja sama dengan pemerintah. Gagal
membujuk, Imelda, konon, mengancam akan meringkusnya. Tidak lupa
ia menuduh seteru suaminya itu terlibat aksi-aksi kekerasan --
di antaranya pengeboman di Manila dan kerja sama dengan penerbit
koran oposisi We Forum. "Seluruh tentara Filipina tidak akan
sanggup melindungi Aquino dari serangan pembunuh," katanya.
Ketika tulisan ini diturunkan belum pasti siapa pelaku
pembunuhan, dan siapa pula dalangnya. Diduga tentara. Sehari
sebelum ajalnya, Aquino sempat menerima wartawan kantor berita
Jepang, Kyodo di Taipei. Seraya menunjukkan jaket tahan peluru
yang berlapis linen putih, berucap: "Saya menduga satu
kelompok militer akan mencoba membunuh saya." Jaket itu memang
dikenakannya beberapa menit sebelum turun dari pesawat, tapi
malang, sang pembunuh menyarangkan peluru ke kepalanya.
Dugaan Aquino itu dibantah polisi. Keterangan resmi Kepala
Kepolisian Manila, Prospero Olivas, menyebutkan Aquino ditembak
pemuda berseragam biru Pembunuh, yang diduga petugas kebersihan
bandar internasional itu, kemudian tewas ditembak petugas
keamanan yang menjaga di sekitar tempat kejadian.
Kantor Berita Jepang, Kyodo dalam laporan menyebut adanya dua
personil militer mendampingi Aquino turun dari tangga pesawat.
Tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka mencabut pistol,
dan langsung menembak korban. Tapi saksi lain bercerita
bagaimana Ninoy, yang bersetelan putih, turun dari tangga
pesawat diantarkan dua petuas imigrasi. Dan belum jauh ia
melangkah di landasan, tiba-tiba petugas kebersihan berseragam
biru itu langsung menembak kepala si korban. Hampir pada detik
bersamaan pemuda tak dikenal itu dihabisi oleh petugas militer.
Jenazahnya kemudian dibaringkan di salah satu ruang di terminal
dan boleh dilihat para wartawan.
Presiden Marcos, yang sedang beristirahat, menjanjikan
pengusutan menyeluruh atas pembunuhan Aquino. Dan peristiwa
berdarah itu akan dipelajarinya dalam "semangat kesadaran yang
jernih". Di AS, putra almarhum, Benigno Aquino III, yakin lambat
laun pembunuhan ayahnya akan terungkap.
Lorenzo Tanada, tokoh penting pihak oposisi, merasa aneh
pembunuh tak dikenal bisa menyusup begitu saja. Bekas Senator
Jose Diokno setengah menuding berkata: "Ini merupakan peristiwa
yang benar-benar dipersiapkan. Saya tidak tahu apakah militer
terlibat, tapi pemerintah tidak dapat mencuci tangan." Pemimpin
Gereja Katolik Manila, Kardinal Jaime Sim, mengharapkan supaya
rakyat bangkit demi kebutuhan yang mendesak.
Terbunuhnya Ninoy bagaimanapun tidak bisa dipisahkan dari
persaingan Marcos-Aquino yang sudah berlangsung lebih dari
sepuluh tahun. Menghadapi Pemilihan Umum 1972, Ninoy, yang waktu
itu berusia 40 tahun, tampil sebagai calon kuat presiden
menggantikan Marcos yang menurut konstitusi tidak berhak lagi
dipilih untuk ketiga kalinya. Sadar bahwa karier politiknya akan
terhambat, Marcos yang berotak dan berambisi cemerlang tiba-tiba
memaklumkan UU Darurat Perang. Hingga tertutuplah kesempatan
bagi Aquino untuk jadi presiden Filipina.
Sampai tahun 1980, Aquino menjadi tahanan politik yang paling
menarik perhatian. Dari balik penjara ia mengatur kampanye
pemilihan umum untuk menandingi Imelda Marcos. Partai
Liberal-nya kalah, tapi Aquino muncul sebagai lambang oposisi.
Dengan izin Marcos, tahun 1980 Ninoy bertolak ke AS untuk
operasi jantung. Setelah kesehatannya membaik ia mendapat
beasiswa untuk gelar doktor di Harvard University, kemudian di
MIT. Meski hidup bersama keluarga, Aquino tidak betah lebih lama
mendekam di AS. Ia bisa terlupakan. Pemilihan Majelis Nasional
Mei 1984, akan dimanfaatkan untuk melancarkan mekanisme
partainya. Diharapkannya dalam tempo beberapa bulan partai yang
kedodoran karena pembelotan dan kemandekan, bisa bergerak
kembali.
Tapi alasan utamanya untuk pulang adalah supaya bisa bertukar
pendapat dengan Marcos. Juga agar presiden itu tidak lagi
melihat Ninoy sebagai lawan politik yang selalu siap
menggulingkannya,.
Sikap tulus itu bisa ditemukan dalam pernyataan yang
dipersiapkannya untuk publik Manila. "Saya pulang suka rela,
dipersenjatai kesadaran yang jernih, dibentengi pikiran bahwa
keadilan akhirnya akan menang," bunyi inti pernyataan Ninoy. Ia
menambahkan, "Saya tidak mencari gara-gara . . . tapi saya siap
untuk kemungkinan paling buruk".
Sekian tahun digulung UU Darurat, kehidupan demokrasi di
Filipina, yang semula bisa dibilang lumayan, tahun demi tahun
digerogoti arus penangkapan tokoh politik, pemberangusan pers
bebas, dan semakin terpusatnya kekuasan di tangan Marcos dan
Imelda, istrinya. Akibat terlalu banyaknya larangan, partai
oposisi semakin lumpuh. Sedangkan golongan militer, karena
tuntutan keadaan, menjadi lebih kuat. "Presiden Marcos
sakit-sakitan. Negeri ini menghadapi krisis ekonomi, sedangkan
pihak militer semakin berkuku. Demokratisasi adalah satu-satunya
jalan menyelamatkan Filipina. Jika gagal, negeri ini akan jadi
Nikaragua kedua," tutur Aquino dalam sebuah wawancara dengan
Newsweek.
Tapi tidak semua orang sependapat bahwa kemerosotan ekonomi
merupakan titik lemah Filipina. Namun harus diakui, kesulitan
memperoleh dana sudah membayangi pembangunan di sana dalam
beberapa tahun belakangan. Anggaran belanja tercekik oleh
harga bahan bakar yang tinggi di saat komoditi ekspornya tidak
cukup kuat menunjang peningkatan devisa. Gambaran suram -- ini
diperburuk oleh cara kerja birokrasi yang brengsek. Tahun 1982
defisitnya berkisar US$ 600-800 juta, dan utang luar negeri US$
14-17 milyar.
Negeri yang berpenduduk 48 juta itu kini seperti kapal terancam
kandas. Dalam masa jabatannya keenam sebagai presiden, Marcos
condong mewariskan kekuasaan pada keluarganya sendiri. Dengan
kata lain, ia tidak menunjukkan tanda-tanda mempersiapkan proses
alih kekuasaan yang sehat. Sementara itu di luar Istana
Malacanang, masyarakat tak sabar menunggu kejatuhan Marcos.
Mereka pun agaknya siap untuk akibatnya yang lebih seram. Mereka
menunggu khaos. Kejadian seperti inilah barangkali yang ingin
dihindarkan Aquino. Karena itu ia pulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini