APAKAH artinya sebuah tanah air? Tidak seorang pun yang agaknya
tahu secara persis. Tapi hari itu di mana-mana mereka menyanyi,
Indonesia Raya.
Di halaman sebuah sekolah desa yang hampir ringsek. Di bukit di
antara kemah-kemah anak muda yang sedang hiking. Di lapangan
volley sebuah kompleks perumahan. Di depan kantor gubernuran. Di
depan Istana Merdeka, di sebuah pos perbatasan ....
Saya sendiri menyaksikan sebuah Merah-Putih yang dinaikkan pada
tiang darurat yang terhunjam di pasir pantai: serombongan orang
yang piknik telah melakukannya dengan khidmat, dengan seorang
pemimpin upacara yang berkaki telanjang dan bercelana jean
pendek, dengan lagu Syukur yang hilang-hilang timbul ditingkah
ombak. Saya tidak tahu kenapa mereka melakukan semua itu.
Saya tidak tahu kenapa orang-orang, termasuk saya barangkali,
bisa mencintai sebuah tanah air -- jika pun saya mengerti apa
artinya kata-kata "mencintai tanah air". Mengapa orang
memperingati Hari Kemerdekaan, juga di tempat-tempat yang
paling ganjil? Apakah arti Indonesia bagi mereka? Apa arti
Indonesia bagi saya?
Barangkali jawabnya karena Indonesia adalah sebuah tempat dari
mana kita hampir tak dapat terlepas lagi.
Jangan salah paham. Indonesia bukan sebuah jebakan. Dari sini
kita memang tidak bisa terlepas bukan karena pantai-pantainya
yang banyak itu telah mengungkung, tapi karena di dalam diri
kita, ada sesuatu yang selalu terpaut padanya: Indonesia,
melalui suatu proses yang disebut "sejarah", telah menjadi suatu
definisi. Indonesia adalah sebuah batasan.
Batasan itu, sering kali secara tidak sadar, merupakan sesuatu
yang kita butuhkan agaknya. Ia memberi bentuk kepada pencarian
kita akan bentuk. Ia merupakan titik pada sebuah peta yang luas
dan kacau sebuah titik yang kita kenali sebagai sebagian dari
diri kita sendiri.
"Setinggi-tinggi terbang bangau," kata pepatah, "akan kembali
jua ke sarangnya". Indonesia itulah sarang. Kita bangau, kita
burung layang-layang. Ada selalu saat kita ingat akan sebuah
dunia ke mana riwayat kita berkait, tiap kali kita menghambur,
mungkin kabur, ke luar.
Barangkali itulah artinya "mencintai tanah air". Bukan suatu
sikap gemuruh, berapi-api dan mendesak untuk diteriakkan, tapi
lebih semacam sebuah sikap menerima, dengan rela ataupun
bersemangat, sebuah "definisi".
Maka kita tidak mencintai sebuah tanah air karena ia indah.
Cantik, indah, adalah soal yang nisbi. Priangan memang "jelita",
Toba "permai", Bali itu "surga", dan seterusnya -- tapi begitu
pula sebuah kota kecil di Negeri Swiss yang bersih dan bersalju.
Begitu pula kebun rimbun dari zaman lama Kyoto, barisan pesisir
putih dengan laut dan lasuardi cemerlang di Sicilia.
Toh kita tak bisa mengatakan bahwa Swiss, Jepang, atau Italia
itu adalah bagian dari diri kita -- sosok geografis yang
terbentuk dalam sejarah kita. Swiss, Jepang, Italia, seperti
gambar-gambar elok di kartu pos berwarna di keda turis, bisa
ditukar-tukar. Tapi Indonesia, bagi kita, tidak.
Saya bukan patriot besar, bukan pula patriot kecil. Tapi
bayangkan Swiss atau Jepang atau Italia diserbu orang, dan
panorama-panorama yang mempesona itu jadi berantakan saya kira
saya akan sedih, tapi tidak akan kehilangan. Kini bayangkan
sebuah pasukan asing menyerbu Aceh, menduduki seluruh Sumatera,
bergerak ke Jakarta saya kira akan banyak di antara kita, juga
yang sering dianggap tak punya lagi rasa kebangsaan, akan
terancam kehilangan -- dan mungkin bersedia mati untuk tidak
kehilangan.
Biarpun kita tahu di sini banyak korupsi, sebuah negeri dengan
jalan raya yang kotor dan kacau, sebuah bangsa yang sepak
bolanya kalah melulu. Biarpun kita sering sebal, dan tak tahu
persis apa artinya sebuah tanah air.
Sebab, agaknya, Indonesia lebih dari sekadar sebidang tempat. Ia
adalah sebuah "idea", biarpun selalu tak mudah untuk dirumuskan
yang telah jadi demikian penting hingga ia seakan-akan telah
merupakan wujud yang hadir bahkan sebelum batas ilmu bumi dan
politiknya jelas. Karena itulah begitu banyak orang berkorban
untuknya sebelum 1949, tatkala kedaulatannya sebagai suatu unit
negara-kebangsaan diakui.
Tentu saja tak berarti bahwa "idea" itu adalah pada mulanya
"idea" tentang suatu tanah air semata-mata. Sebuah tanah air tak
akan ada gunanya tanpa ia merupakan tanah air orang merdeka.
Justru keinginan untuk merdeka itulah yang mendorong lahirnya
keinginan untuk sebuah tanah air. Sajak, Roestam Effendi di
tahun 1926 telah bicara tentang itu dengan bagusnya:
Bilakah bumi bertabur bunga
disebarkan tangan yang tiada terikat
dipetik jari, yang lembah lembut,
ditanai sayap kemerdekaan rakyat?
Bilakah lawang bersinar Bebas
ditingalkan dera yang tiada terkata?
Bilakah susah yang beta benam
dihembus angin kemerdekaan kita?
Dalam perkembangannya kemudian, seperti banyak terjadi di Dunia
Ketiga, di Indonesia pun kebanggaan akan tanah air kadang-kadang
merupakan kebanggaan yang lain dari kebanggaan akan kemerdekaan.
"Tanah air" dan "kemerdekaan" telah nyaris jadi dua pengertian
yang terpisah jauh.
Mungkin karena sementara tanah air telah menjadi suatu wujud
yang kurang lebih melembaga, kemerdekaan hidup dalam fluktuasi,
antara pasang dan surut. Lalu kita pun menyanyi Indonesia Raya,
memperingati 17 Agustus sebagai hari lahir sebuah bangsa --
bukan hari untuk berkepaknya "sayap kemerdekaan rakyat".
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini