Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nuriye Gulmen tak bisa mengingat berbagai penangkapan sepanjang Desember-Januari lalu. Saking seringnya terjadi penangkapan, dia mengaku kesulitan memperkirakan jarak waktu antara kejadian yang satu dan lain. Ketika didesak, akademikus kiri 34 tahun itu bertanya kepada ¡©temannya, Semih Ozakca, 27 tahun: ¡±Enam hari yang lalu, ya, terakhir kali kita ditahan?¡±
Menurut laporan US News & World Report pada Februari lalu, Gulmen dan Ozakca tak berhenti memprotes pemecatan mereka dari posisi di universitas tempat mereka bekerja karena dituduh terlibat organisasi terlarang. Mereka tak sendirian mengalami nasib semacam itu. Tapi yang sesungguhnya lebih serius adalah akibat dari kesewenang-wenangan itu.
Ketika Aynur Barkin menjadi satu dari 40 ribuan guru yang dipecat setelah kudeta gagal pada pertengahan tahun lalu, dia tak segera diganti. Sekolah tempat dia mengajar di barat Istanbul jadi kekurangan guru. Akibatnya, murid kelas II yang berada di bawah bimbingannya dipaksa bergabung dengan kelas III, sehingga jumlah siswa dalam satu kelas berlipat tiga.
"Saya bisa menaruh perhatian pada setiap anak," kata perempuan 37 tahun itu. "Tapi guru baru mereka tak bisa melakukannya."
Koran The New York Times pekan lalu menyebutkan gelombang penangkapan dan penahanan untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap lawan politik pemerintah itu memang menimbulkan kekacauan di berbagai lembaga di Turki. Hal ini tak terhindarkan karena jumlah yang disingkirkan--diberhentikan atau ditahan--mencapai lebih dari 100 ribu orang. Menurut perkiraan, lebih dari 8.000 tentara, 8.000 polisi, 5.000 akademikus seperti Gulmen, dan 4.000 hakim serta jaksa dipecat. Ini belum termasuk 200-an wartawan.
Dampak sosial pembersihan itu tak bisa diremehkan. Berbagai lembaga pemantau demokrasi menyebutkan sekitar 1.200 sekolah, 50 rumah sakit, dan 15 universitas telah ditutup. Dalam situasi serupa, murid-murid yang terkena akibatnya biasanya bisa pindah ke sekolah lain. Kali ini hal itu mustahil karena orang tua mereka tiba-tiba juga menjadi penganggur.
Sebetulnya Turki menghadapi ancaman keamanan yang lebih nyata, yakni terorisme. Beberapa kali serangan bom, yang menewaskan lebih dari 400 orang, terjadi sebelum dan sesudah kudeta gagal itu. Tapi pemerintah menghadapinya justru dengan membungkam kritik serta media, dan lebih berfokus pada upaya memburu "hantu", mereka yang dicurigai sebagai pendukung Fethullah Gulen, ulama yang tinggal di pengasingan, Amerika Serikat.
Dalam situasi itu, kata Sezgin Yurdakul--yang dipecat dari perusahaan operator feri karena anaknya adalah penerima beasiswa sekolah yang masuk jaringan gerakan sosial Gulen--Turki telah menjadi "seperti penjara terbuka". Nama pria 40 tahun ini ada di daftar hitam nasional, karenanya tak ada satu pun pihak yang mau mempekerjakannya. Seperti banyak orang lain yang bernasib serupa, dia hidup mengandalkan sisa tabungannya.
Berbagai posisi yang ditinggalkan orang seperti Yurdakul belakangan menimbulkan perdebatan. Timbul banyak pertanyaan tentang siapa yang boleh mengisi; banyak pula dugaan tentang siapa atau faksi mana yang diuntungkan. Yang lebih terang-terangan adalah tudingan bahwa yang merebut peluang adalah para loyalis partai penguasa, Partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP. "Mereka ingin menciptakan struktur birokrasi yang menyetujui apa pun perkataan politikus," ujar Kemal Kiricdaroglu, pemimpin Partai Rakyat Republikan atau CHP, oposisi terbesar.
Pemerintah membantah hal itu. Kepada wartawan, juru bicara resmi presiden, Ibrahim Kalin, mengatakan mereka yang dibebastugaskan telah "digantikan oleh orang-orang biasa" yang "semuanya telah melalui pemeriksaan sangat transparan dan terbuka".
Bantahan yang tak cukup meyakinkan, khususnya di kalangan pengkritik Presiden Recep Tayyip Erdogan yang percaya, saking kacaunya keadaan, juga begitu luasnya upaya pembersihan yang dilakukan, bahwa mustahil hanya ada satu kelompok yang diuntungkan. Untuk mengisi kekosongan di birokrasi, menurut mereka, Erdogan terpaksa bergantung pula pada kelompok nasionalis sayap kanan, nasionalis kiri garis keras, pegawai baru, pensiunan yang dipekerjakan lagi, loyalis partainya sendiri, serta kalangan Islam. Dalam kata-kata Orhan Gazi Ertekin--hakim yang memimpin Democratic Judicial Association, organisasi pemantau demokrasi--"mereka kini bersekutu" melawan Gulenis.
Di antara mereka, ada Dogu Perincek. Pemimpin Partai Patriot yang berhaluan ultrasekuler ini pernah dipenjara karena berniat menggulingkan Erdogan. Ketika dibebaskan pada 2014, dia bersumpah akan menghancurkan pemerintah, yang dia tuding telah melemahkan sistem sekuler. Tapi, dalam wawancara baru-baru ini, dia menyatakan tak ada alasan lagi untuk melawan. "Kami sudah sejalan. Mereka kini mengikuti program kita," katanya.
Purwanto Setiadi (The New York Times, US News & World Report, World Politics Review)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo