TERLAMBAT lebih baik daripada tidak sama sekali, memang. Ahad kemarin, 380.000 warga yang terperangkap di Sarajevo, ibu kota Bosnia yang dikepung sejak enam bulan lalu, bisa agak menarik napas lega. Pesawat yang mengangkut bantuan internasional berhasil mendarat di kota yang menjadi sarang penembak gelap itu. Inilah pasokan bantuan PBB melalui jalur udara pertama, sejak dihentikan awal bulan lalu -- setelah insiden ditembaknya pesawat pengangkut bantuan Italia di dekat Sarajevo. Pesawat ini, selain membawa makanan dan lain-lain, juga radar, untuk dipasang di bandara Sarajevo, guna memandu pesawat bila cuaca memburuk, musim dingin nanti. Saat penerbangan perdana Ahad kemarin saja, cuaca buruk sudah menghalangi pendaratan lima pesawat pengangkut bantuan ke Sarajevo. Memang, meski misi penerbangan bantuan sudah jalan lagi, jumlah bantuan untuk penduduk Sarajevo saja sudah tak mencukupi. Jangan ditanya lagi untuk 800.000 warga yang membutuhkan bantuan di seantero Bosnia lainnya, yang juga menghadapi keganasan perang dan udara beku. Kelihaian untuk bertahan hidup dengan bekal amat minim memang diperlukan untuk penduduk republik yang dikoyak perang antaretnis ini. Sementara itu, meski konperensi damai kembali dilanjutkan di Jenewa pekan ini, pesawat-pesawat tempur Yugos lavia malah kian gencar menggempur pusat-pusat perlawanan tentara Bosnia. Berita terakhir dari Kroasia menyebutkan sebuah pesawat tempur Yugo ditembak jatuh oleh pihak Bosnia. Kalau berita ini benar, tampaknya pasokan senjata dari luar untuk pasukan Bosnia bukan sembarangan. Toh tetap saja dunia internasional masih melihat ketidakimbangan persenjataan kubu Serbia -- dibantu militer Yugo -- dengan pihak Bosnia. Dengan pasokan senjata yang seperti tak habis-habisnya, pasukan Serbia sampai kini masih saja melakukan gempuran senjata berat dan tetap menjalankan apa yang disebut sebagai pembersihan etnis. Dalam 24 jam Ahad pekan lalu saja, tercatat 49 jiwa melayang dan 130 orang cedera di seantero Bosnia. Dan terus saja pengungsi mengalir dari negeri yang pelan-pelan mulai dilingkupi udara beku itu. Di kamp-kamp pengungsi di Zagreb, ibu kota Kroasia, misalnya, pengungsi terus saja mengalir. Meski, menurut laporan wartawan TEMPO Wahyu Muryadi, yang pekan lalu berada di Zagreb, resminya Kroasia sudah tak bersedia menerima pengungsi sejak 13 Juli lalu. Tapi tak seorang pun tega menolak mereka yang datang dengan sengsara itu. Maka, belakangan ini pemandangan di Zagreb sungguh menyedihkan. Anak-anak Bosnia berkeliaran, mengemis di restoran-restoran. "Kami sudah tak kuat memberi makan mereka," kata Dr. Adal beki Rebik, kepala Kantor Urusan Pengungsi Kroasia. "Juli lalu saja kami menghabiskan lebih dari 70 juta dolar untuk pengungsi." Bisa jadi, karena laporan-laporan itu pula, Jumat pekan lalu, presiden AS George Bush menyatakan dukungan atas rencana menerapkan "zone larangan terbang" di Bosnia. Gedung Putih tampaknya berniat membuat kubu Serbia menepati janji tak menggunakan pesawat tempur, seperti yang dijanjikan para pemimpin Serbia di konperensi damai di London Agustus silam. Harapannya, antara lain, arus pengungsi bisa berkurang. Dalam penilaian pihak intelijen Amerika, pasukan Serbia tak bakal berani secara langsung menantang larangan terbang, seandainya sanksinya berupa menembak jatuh pelanggar larangan. (Meski panglima AU Yugoslavia bulan lalu pernah mengancam akan membalas setiap intervensi asing di bekas negara Yugoslavia. Tak jelas memang, apakah penerapan zone larangan terbang oleh PBB diang gap semacam intervensi asing oleh militer Yugo). Sebenarnya, di Gedung Putih, masalah penerapan zone larangan terbang di Bosnia masih diperdebatkan. Panglima angkatan bersenjata AS, Jenderal Collin Powell, menentang rencana semacam itu, karena bakal menarik keterlibatan militer AS lebih jauh dalam krisis Bosnia. Tapi Bush berpendapat lain dan bersikeras hendak mengegolkan rencana ini di sidang Dewan Keamanan PBB dalam waktu dekat ini. Adakah ini berarti AS akhirnya memutuskan mempertahankan peran "polisi dunia"-nya? Kalau benar begitu, kekhawatiran bakal munculnya Kamboja dan Libanon baru di Eropa bisa menjadi kenyataan. Tanda-tanda ke arah itu sudah tampak. Pemimpin Serbia di Bosnia, Radovan Karadzic, Senin pekan ini kembali mengancam bakal menarik diri dari upaya damai, seandainya Dewan Keamanan PBB jadi menerapkan zone larangan terbang di Bosnia. Alasan Karadzic, yang kini memimpin delegasi Serbia di konferensi damai di Jenewa, karena langkah semacam itu secara strategis bakal menguntungkan kubu pasukan Bosnia. Ada pendapat bahwa yang diperlukan di Bosnia adalah penempatan lebih banyak pejabat PBB di medan tempur. Yakni untuk membujuk pihak-pihak yang bertikai meng hentikan pertempuran. Mungkin dengan hadirnya lebih banyak tokoh dunia di wilayah pertempuran, aksi kekerasan di Bosnia bisa sedikit dikurangi. Soalnya, selama ini, meski ada lebih dari 2.000 pasukan pelindung PBB di Bosnia -- dan bakal ditambah menjadi 7.000 orang -- pertempuran tak juga padam. Pasukan PBB seperti macan ompong, dengan perangkat senjata seadanya dan cuma bertugas melindungi pasokan bantuan kemanusiaan ke wilayah perang di Bosnia. Konon, itu menyebabkan pelaksanaan hasil pertemuan London yang lalu sulit: pengawasan senjata berat kedua belah pihak agar tak digunakan untuk menyerang permukiman sipil. Adapun konperensi damai lanjutan di Jenewa tampak masih belum menghasilkan terobosan apa pun sampai awal pekan ini. Pihak-pihak yang bertikai, walau tetap hadir, masih sibuk dengan tuntutannya sendiri. Perlu napas panjang memang, untuk melaksanakan pembicaraan damai semacam itu, yang mungkin bakal berjalan bulanan, bah kan tahunan, untuk sampai pada titik temu. Celakanya mortir terus bicara, yang disebut pembersihan etnis jalan terus. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini