JALANAN sepi, bangunan tak hanya hancur tapi juga rontok
perlahan-lahan batu demi batu. Phnom Penh sungguh seperti kota
mati. Sukar untuk bertemu dengan orang yang berkaca-mata.
Maklum, ketika Pol Pot masih berkuasa hampir semua orang
membuang kaca matanya -- khawatir kalau dituduh intelektual.
Rejim Pol Pot menganggap kaum intelektual itu musuh dan 'sah'
untuk dibunuh. Tidaklah mengherankan kalau gedung perpustakaan
nasional sekarang pun masih seperti kandang babi, berantakan.
Suatu gambaran yang suram memang. Sementara semua penduduk
diharuskan menjadi petani untuk menciptakan masyarakat tanpa
kelas. Banyak mesin dihancurkan karena Pol Pot ingin membangun
suatu masyarakat baru yang lepas dari ketergantungan pada negara
lain. Dengan eksperimen ini Pol Pot menggugah perhatian dunia.
Sekitar 3 juta penduduk Kambodia mati sejak dia berhasil
menggulingkan rejim Lon Nol yang didukung Amerika Serikat,
sampai dia sendiri digulingkan oleh Heng Samrin dengan bantuan
Vietnam.
Kambodia yang pada tahun 1970 berpenduduk 7 juta sekarang
tinggal 4 juta. Itu pun sebagian besar hidup dalam ancaman
bahaya kelaparan. Tapi kepunahan sebagian bangsa Kambodia ini,
menurut sebagian orang, bukan melulu hasil 'pembunuhan' yang
dilakukan rejim Pol Pot. Pemboman dahsyat yang dilakukan Amerika
Serikat ke wilayah Kambodia pada masa perang Vietnam juga ikut
membantai penduduk negeri itu.
Waktu itu -- 1970 s/d 1975 -- sebagian wilayah Kambodia
merupakan tempat pelarian gerilya Viet Cong, yang berjuang
membebaskan Vietnam Selatan dari rejim Nguyen Van Thieu. Selain
itu, tentara Vietnam Utara juga ketika itu memasuki wilayah
Kambodia, yang dikenal dengan Ho Chi Minh trail untuk merembes
ke Vietnam Selatan. Pihak Amerika telah terpaksa membomnya
secara besar-besaran dan, tentu saja, membabi-buta yang akhirnya
banyak timbul korban di kalangan penduduk.
Kemudian terjadi program 're-edukasi' yang dilancarkan Pol Pot
dan kawannya, Menlu leng Sary, dengan memaksa penduduk keluar
dari Phnom Penh untuk bekerja di pedesaan. Hampir disepakati
bahwa pemaksaan tadi adalah penyebab utama berkurangnya secara
besar-besaran bangsa itu. Tidak sedikit kalangan terpelajar,
bahkan juga dokter, terpaksa bekerja dengan tangan di
persawahan, yang secara perlahan-lahan membunuh mereka karena
perbedaan lingkungan. Tapi dalam suatu wawancaranya dengan Der
Spiegel, Mei 1977, leng Sary mengatakan bahwa 800.000 penduduk
Kambodia mati selama perang menghadapi rejim Lon Nol yang
didukung AS.
HAMPIR sulit untuk dipercaya bahwa Kambodia, yang 10 tahun lalu
hijau dengan tumbuh-tumbuhan dan penuh damai, harus mengalami
nasib seperti sekarang ini. Di tengah konflik militer yang
berlangsung di negara tetangganya, Vietnam Selatan waktu itu,
Kambodia masih sanggup mengekspor beras. Sekarang, foto hasil
pemotretan satelit mengungkapkan hanya 10% tanah di wilayah itu
ditanami padi. Dan itu terletak di bagian barat Kambodia yang
dari dulu terkenal dengan kesuburannya.
Di sebuah kamp, 7 km dari Phnom I'enh, berdiam puluhan ribu
orang yang tak memiliki tempat tinggal. Sebagian besar di antara
mereka mengidap penyakit dan kelaparan. Tak ada yang mereka
kerjakan kecuali menunggu saat bisa kembali lagi ke Phnom Penh.
Kalau akhirnya bisa kembali ke kota, mereka mungkin akan
menambah kesulitan karena langkanya air minum dan listrik.
Jalan menuju Phnom Penh ramai belakangan ini dengan orang yang
membawa buntelan barang. Mereka tampaknya sudah tak kuat lagi
hidup di desa. Wartawan Australia, John Pilger yang berkunJung
ke Phnom Penh September lalu melaporkan bahwa penduduk desa
mendapat jatah beras hanya 3 kg per bulan.
Sebagian besar penduduk menderita busung lapar. Untuk mengatasi
kekurangan makanan ini mereka memakan daun pisang. Seorang wakil
organisasi pemberi bantuan yang juga berkunjung ke sana
mengatakan, "kelihatannya tak ada jalan yang mungkin buat mereka
bisa bertahan dalam beberapa bulan lagi, kecuali apa yang
tersedia sekarang ini."
Di Bukit Takong Krao, suatu daerah yang masih dikuasai gerilya
Pol Pot dan tak begitu jauh dari perbatasan Kambodia-Muangthai,
ribuan penduduk menggigil. Lapar dan malaria menyerang mereka
sekaligus.
Ada rumah sakit darurat khusus untuk tentara wanita di Takong
Krao. Kaum wartawan dari Bangkok yang berkunjung ke daerah itu
melaporkan bahwa rumah sakit itu penuh dengan gadis yang sedang
menderita penyakit malaria. Sekitar 2 atau 3 orang di situ
meninggal setiap hari karena penyakit tersebut. Makanan boleh
dikata tak ada Schari-harinya pasien hanya makan se dikit
sayuran dan sup encer.
Walaupun keadaan begitu buruk, hampir tak ada pcnduduk ataupun
gerilyawan yang berani melarikan diri. Karcna bila ketahuan,
hukuman bagi mereka cukup berat. Yaitu dipukulin sampai mati.
"Untuk menghemat peluru," kata seorang penduduk.
Umumnya wartawan yang pernah berkunjung ke daerah itu mengatakan
bahwa para gerilyawan Khmer Merah itu memiliki disiplin baja.
Atau mungkin karena tak ada pilihan lain. Kehidupan mereka jelas
-- dalam pengertian jatah makanan -- jauh lebih baik dari rakyat
biasa.
Hal yang sama juga dijumpai di Desa Phnom Malai, 35 km dari
perbatasan Muangthai. Sebagian besar penduduk di situ kelihatan
pucat dan lesu akibat penyakit malaria. Cuma ketika didatangi
wartawan, mereka mencoba tersenyum untuk menunjukkan bahwa
mereka cukup makan.
Gadis-gadis dengan senjata buatan AS atau Soviet berkeliaran di
Phnom Malai dengan wajah yang dingin sama sekali. Sementara
anak-anak kelihatannya tidak begitu banyak. Juga suara binatang
peliharaan hampir tak pernah kedengaran, sesuatu yang asing bila
dibanding dengan daerah pedesaan lainnya di Asia Tenggara, tulis
seorang wartawan Barat sekembalinya dari Phnom Malai.
Taluang, seorang anak berusia 14 ta hun kelihatan tak sepantar
dengan umurnya. Dia lahir dan dibesarkan di dae rah itu. Orang
tuanya sejak dulu sudah ikut dengan gerilya Khmer Merah.
Sementara ayahnya berada di hutan melawan rejim Heng Samrin,
Taluang bekerja merawat para gerilya yang diantar pulang ke
Phnom Malai.
Seperti Taluang, nasib ratusan ribu orang Kambodia lainnya di
dekat perbatasan Muangthai sekarang menunggu jalan keluar kalau
perang berkecamuk lagi waktu selesai musim hujan Nopember ini.
Nasib mereka sama saja -- menempati gubuk darurat, menderita
kelaparan sementara anak-anak dalam keadaan kekurangan gii yang
luar biasa. Dan malaria menjangkiti mereka.
"Dalam seminggu sebagian besar dari kami akan mati," kata
Pangeran Norodom Soriyavong (lihat box). Dia bersama pengikut
yang berjumlah 20 ribu orang berdiam di Sisophon, desa di bagian
utara perbatasan Muangthai. Selama ini mereka mendapat bahan
makanan dari penyelundupan yang dilakukan pedagang Muangthai
dengan harga yang cukup tinggi, blasanya berlangsung secara
barter. Pedagang itu mempertaruhkan nyawa kalau memasuki wilayah
tersebut. Segera setelah jual-beli selesai, mereka lari ke
wilayah Muangthai kembali.
Masih ada lagi yang cukup menderita tapi berada di luar
Kambodia. Yaitu mereka yang sekarang jadi pengungsi di wilayah
Muangthai -- sekitar 200 ribu orang. Seorang pejabat PBB, yang
barusan melawat ke sepanjang daerah perbatasan, mengatakan 80%
di antara anak-anak pengungsi itu mengalami kekurangan gizi yang
luar biasa. Dengan kata lain, kalau tak cepat mendapat
pertolongan, mereka akan segera mati. "Selama 17 tahun saya
bekerja di PBB belum pernah melihat keadaan seburuk ini. Mereka
butuhkan sangat pertolongan," kata pejabat PBB itu.
Itulah masalahnya. Bantuan datang tak sebagaimana yang
dijanjikan. "Setiap hari ada saja pernyataan yang menJanJikan
bantuan baik negara atau lembaga," kata Joseph Curtain dari
Pelayanan Bantuan Katholik di Bangkok. Tapi sering terjadi
bantuan itu -- yang dikirim dengan truk ke kamp
pengungsi-sebagian hilang di tengah jalan. Supir truk yang
bekerjasama dengan orang tertentu seringkali menyelewengkannya.
Pemerintah Heng Samrin yang berkuasa di Phnom Penh tak bisa
menerima kalau bantuan ini diberikan kepada kaum gerilya dan
penduduk yang berdiam di wilayah yang masih dikuasai Pol Pot.
Namun sebagian dari bantuan itu ternyata sampai juga ke tangan
mereka. Seperti yang ditemui wartawan di Phnom Malai, bantuan
itu masuk melalui Muangthai.
Joan Baez, penyanyi folk-song terkenal dari AS, baru-baru ini
meninjau beberapa kamp pengungsi di Asia Tenggara. Banyak
orang Amerika tidak mengetahui tentang arus pengungsi ke
Muangthai sebagai akibat konflik di Kambodia, katanya. Dia yang
juga aktivis hak asasi manusia itu berkata: "Memang sulit
menyentuhkan penderitaan umat manusia kepada mereka yang
hidupnya sudah okay." Tak pedulikah rakyat Amerika?
Kemungkinan tambahan bantuan international untuk orang
Kambodia sudah terdengar juga dari Washington. Presiden Jimmy
Carter pekan lalu menjanjikan bantuan sebesar $ 69 juta termasuk
9 juta untuk pengungsi Kambodia di Muangthai. Carter menyamakan
keadaan kelaparan di Kambodia ini dengan penghancuran umat
manusia pada perang Dunia II. "Kita mesti bertindak
secepatnya," kata Carter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini