DUA puluh delapan bulan sesudah tentara Israel menyerbu Libanon, Perdana Menteri Simon Peres mencetuskan rencana penarikan pasukannya dari sana. "Saya akan membicarakannya dengan Presiden Reagan," ujar Peres kepada wartawan di pesawat terbang yang membawanya ke Washington, awal bulan ini. Gagasan Peres memang dirasakan sebagai angin segar, tapi penerapannya tidak bisa lancar. Menlu Yitzak Shamir, misalnya, seolah-olah menyabot gagasan itu dengan keterangan bahwa tentara Israel tidak akan ditarik mundur, kecuali jika pemerintah Libanon dan Syria menandatangani sebuah perjanjian keamanan bersama. Penarikan itu sendiri, menurut Shamir, belum merupakan keputusan kabinet yang resmi. Adanya dualisme seperti ini jelas sangat merugikan Peres. Tapi Radio Israel, Ahad lalu, menyiarkan bahwa tentara Israel benar-benar akan ditarik dari Libanon Selatan dalam tempo enam bulan dengan atau tanpa persetujuan keamanan dengan Syria. Hanya di seberang Lembah Bekaa, tentara Israel tetap siaga menghadapi Syria. Agar Syria tidak tergoda menduduki wilayah yang dikosongkan Israel, Peres mengharapkan tentara PBB, Unifil, dapat berpatroli di sektor itu, bergantian dengan Tentara Libanon Selatan (ASL) yang dipimpin Jenderal Antoine Lahad. Mereka diperlukan guna menjamin keamanan perbatasan utara Israel dari penyusupan gerilyawan PLO yang dikhawatirkan sewaktu-waktu mengacau di sana. Di lain pihak, Syria juga berkepentingan melumpuhkan PLO. Bertolak dari kebutuhan yang sama ini, mestinya, Israel dan Syria dapat mencapai satu kompromi, setidaknya dalam usaha menciptakan ketertiban di Libanon. Dalam pandangan Simon Peres, Libanon yang tenteram di bawah pengawasan Syria pasti lebih baik dari Libanon merdeka, tapi rawan karena anarki. Berbeda dengan Shamir, baginya penarikan tentara Israel tidak usah dibarengi penarikan tentara Syria. Tapi komprom yang diharapkan masih merupakan tanda tanya, apalagi diplomasi bolakbalik diplomat AS Richard W. Murphy tampak belum membawa hasil. Asisten menlu Amerika Serikat itu memang sibuk menjajaki suhu politik di Damaskus dan Yerusalem bahkan sebelum Peres berangkat ke Washington. Agaknya, keengganan Presiden Reagan untuk tidak banyak terlibat dalam urusan Libanon juga menghambat gerak Murphy. Sebegitu jauh, pemerintah koalisi nasional Libanon belum bereaksi. Dan Beirut tetap merupakan kota bencana yang tidak ada duanya di dunia. Militansi sekelompok pemuda Syiah tiap kali memancing pertumpahan darah di Beirut Barat. Baku bunuh terjadi antara kelompok Syiah dan Druze, sedangkan teror muncul sllih berganti. Sesudah ledakan bom di kedutaan besar Amerika Serikat, bulan lalu, duta besar Spanyol Pedro Manuel de Aristegui diculik, pekan silam. Ia beruntung segera bisa dibebaskan, berkat bantuan kelompok Syiah Amal di Beirut Barat. Tapi sampai kini masih ada dua diplomat dan seorang wartawan yang dinyatakan hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini