Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata-kata bisa menjadi hantu. Kalau Anda pernah patah hati di Ancol, jatuh terkilir di Ancol, dan kecopetan di Ancol, maka "Ancol" bukan sekadar pantai dengan barisan nyiur yang meliuk-liuk. Begitu juga kata "korupsi" bagi bangsa Korea Selatan.
Lima tahun silam, Presiden Kim Young-sam terjungkal dari kursinya gara-gara kasus uang sogok yang melibatkan anaknya. Skandal korupsi dan penggelapan pajak yang bernilai miliaran dolar itu dipercaya sebagai salah satu pencetus krisis keuangan yang kemudian menyapu perekonomian Korea Selatan.
Dan kini, Presiden Kim Dae-jung, yang menggantikan posisi Young-sam berkat kegigihannya memerangi korupsi, tampaknya akan dihantui perkara yang sama: tiga anaknya dituduh makan uang suap. Bahkan seorang di antaranya, Kim Hong-gul, 39 tahun, telah digiring petugas keamanan memasuki penjara Seoul, Sabtu dua pekan lalu.
Di layar televisi, rakyat Korea Selatan melihat bagaimana Hong-gul, anak bungsu pejuang antikorupsi itu, melangkah gontai keluar dari ruang pemeriksaan kantor kejaksaan negara. Parasnya pucat seperti semangka muda. Jasnya lusuh, kancing kemejanya terbuka tanpa dasi. "Saya minta maaf," katanya ter-bata-bata di depan kamera.
Sesungguhnya Hong-gul terbang ke Seoul dari kediamannya di Los Angeles untuk memberikan kesaksian pada sidang Choi Kyu-sun. Pengadilan menuduh Kyu-sun, seorang pelobi top di Seoul, telah menyuap Hong-gul agar melicinkan jalan bagi Tiger Pools International memperoleh izin penyelenggaraan lotre nasional. Menurut jaksa penuntut, Kyu-sun memberikan uang sogok 1,32 miliar won (sekitar Rp 9 miliar) kepada Hong-gul. "Saya lupa jumlah persisnya," kata Hong-gul, "tapi saya memang menerima uang." Atas pengakuan ini, hakim langsung membuatkan surat penahanan.
Penangkapan Hong-gul merupakan cobaan kesekian bagi Rumah Biru, sebutan untuk istana pesiden di Seoul. Awal Mei lalu, Kwon Ro-gap, politisi terkenal Korea Selatan sekaligus salah satu kepercayaan Dae-jung, ditahan karena dituduh telah menerima uang pelicin US$ 39 ribu (Rp 350 juta) dari seorang pengusaha. Jauh sebelumnya, November tahun lalu, sejumlah pejabat tinggi negara juga ditangkap karena keterlibatannya dalam pelbagai kasus korupsi. "Menyedihkan melihat sejarah berulang dalam waktu lima tahun," kata Go Gye-hyeon dari Citizens Council for Economic Justice.
Menghadapi skandal beruntun ini, Presiden Dae-jung tak bisa berbuat lain kecuali minta maaf kepada publik. "Saya tak menemukan kata-kata untuk menggambarkan rasa bersalah saya," katanya melalui juru bicara kepresidenan. "Kini saya mengisi hari-hari dengan menelan kepedihan...." Selain meminta maaf, Dae-jung yang dikenal sebagai tokoh demokrasi itu juga menyatakan keluar dari partai yang didirikannya, Millennium Democratic Party (MDP). November tahun lalu, Dae-jung sudah mengundurkan dari posisinya sebagai ketua MDP.
Skandal korupsi ini mungkin tak sampai mengusik Dae-jung dari kursi presiden. Meskipun partai oposisi Grand National Party (GNP) akan berusaha melakukan impeachment, banyak yang menilai Dae-jung akan tetap menyelesaikan tugasnya hingga Februari nanti. Setelah itu, penerima Nobel Perdamaian 2000 ini memang tak akan terpilih lagi karena konstitusi Korea membatasi jabatan presiden hanya satu periode.
Namun sulit dibantah, skandal korupsi ini paling tidak telah menjatuhkan citra partai yang berkuasa sekaligus menyulitkan Roh Moo-hyun, kandidat presiden dari MDP, untuk menang dalam pemilu Desember nanti. Dalam jajak pendapat yang digelar awal Mei lalu setelah skandal korupsi meledak, popularitas Moo-hyun menurun drastis. Dulu, Moo-hyun masih unggul 20 persen suara dari calon GNP, Lee Hoi-chang, tapi kini selisihnya tinggal 8 persen.
Kalau tak ingin MDP dan Moo-hyun kehilangan banyak suara, sudah seharusnya Presiden Kim Dae-jung melakukan pelbagai pembenahan, antara lain berupaya agar moral warganya tidak merosot. Gelombang demonstrasi besar-besaran, oleh buruh pabrik, sopir taksi, dokter, dan paramedis sepanjang pekan lalu, bisa jadi ganjalan serius bagi Korea Selatan yang sedang menggelar Piala Dunia.
Juga tak kurang penting: menjaga agar semangat melawan korupsi tidak pernah padam, termasuk menyerahkan proses hukum bagi anak-anaknya ke pengadilan.
Raihul Fadjri (The Korea Herald, The Korea Times, Reuters, Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo