TAK banyak duta besar yang memulai tugasnya seperti Paul D. Wolfowitz. Delapan belas hari setelah upacara penyerahan surat kepercayaannya kepada Presiden Soeharto, ia hadir di Bali untuk menyongsong kehadiran presiden negaranya. Pria yang murah senyum dengan tinggi yang sedang ini segera terlibat dalam kesibukan mempersiapkan kunjungan Presiden Reagan dan anggota delegasinya. Termasuk hampir 400 wartawan khusus Gedung Putih yang mencarter sebuah Boeing 747 Pan-Am dan tiba satu jam lebih awal. Adalah kehadiran para wartawan elite dari AS ini yang segera menguji kepandaian berdiplomasi doktor lulusan Universitas Chicago itu. Bahwa, akhirnya, dua dari empat wartawan Australia diperkenankan meliput kunjungan Presiden Reagan ini dapat dianggap sebagai keberhasilan atau mungkin juga - kegagalannya yang pertama. Yang jelas, Wolfowitz kukuh memegang teguh prinsip quiet diplomacy yang dicanangkan Reagan. "Saya percaya, banyak hal dapat diselesaikan dengan melakukan pembicaraan tertutup," katanya. Sebaliknya, bekas Pembantu Menlu urusan Asia Timur dan Pasifik itu beranggapan, "Jika segala pembicaraan hasil pertemuan segera kita kemukakan kepada publik, biasanya sulit untuk mencapai kesepakatan." Kendati begitu, bukan berarti pejabat yang baru berusia 42 ini tertutup terhadap pers. Ia justru tampak tangkas untuk memanfaatkannya. Dengan pengetahuannya yang cukup mendalam tentang Indonesia, Wolfowitz ternyata mampu mengajak para wartawan AS ke sebuah persawahan di Bali, 30 April lalu. Sempat berkunjung lima kali ke Indonesia sebelum ditunjuk menjadi duta besar di sini, Wolfowitz ternyata mampu mengalihkan perhatian para wartawan AS itu terhadap hal positif yang dilakukan Indonesia. Padahal, pada mulanya ia selalu dibombardir dengan pertanyaan tentang hak asasi manusia dan kebebasan pers. Suatu topik yang melekat erat di kepala para wartawan yang menyaksikan penolakan masuk dua rekan mereka ke Indonesia, karena bekerja untuk media Australia dan warga negara Australia. Kunci keberhasilan Wolfowitz, mungkin, terletak pada kesadarannya atas kerja wartawan profesional: yang selalu mencoba melihat sebuah permasalahan dari dua sisi yang berbeda. Karena itu, ia tak membantah adanya sisi yang buruk, tapi menekankan pada kehadiran sisi yang baik. Masalah yang dihadapi Wolfowitz dan stafnya tentu tak terbatas pada persoalan para kuli tinta saja. Masalah logistik dan keamanan merupakan persoalan tersendiri. Tak kurang dari dua buah pesawat C-5 Galaxi - pesawat angkut terbesar yang dimiliki AS - harus mondar-mandir antara Bali dan AS. Selain membawa kendaraan khusus antipeluru kepresidenan AS, pesawat yang berdaya angkut 120 ton ini juga mengangkut 28 ton peralatan khusus telekomunikasi kepresidenan. Sebab, di mana pun Reagan berada, ia harus selalu siap menghadapi kemungkinan negaranya diserang musuh. Terutama dari serangan nuklir. Di lepas pantai Bali, kesibukan juga terjadi. Kapal penyerbu amfibi USS New Orleans berjaga-jaga di lepas pantai Nusa Dua. Dua puluh helikopter yang dibawanya sibuk mengangkut peralatan dan personel. Sebanyak 609 awak kapal ini serta 1.746 anggota marinirnya selalu waspada terhadap segala kemungkinan buruk. Rumah sakit lengkap di kapal ini, agaknya, menyebabkan kapal berbobot 11.432 DWT ini dianggap paling cocok untuk menyertai kunjungan Presiden Reagan. Dan disko-disko di Kuta pun ramai dikunjungi oleh pria bertubuh tegap dengan potongan rambut crew cut. Agaknya pihak keamanan Indonesia cukup meyakinkan mereka bahwa peristiwa seperti yang terjadi di disko La Belle, Berlin Barat, tak akan terjadi di Kuta. Dan kunjungan Reagan memang berakhir dengan aman. "Selain isu kehadiran 11 warga Libya yang dilansir pers dan ternyata tak berdasar, tak ada satu kecelakaan pun terjadi," puji Wolfowitz. Ia, tampaknya, cukup akrab mengenal tata cara Indonesia. Mungkin ayah dua anak ini banyak belajar dari istrinya, Clare Segin, yang, sewaktu di SMA, pernah setahun tinggal di Yogya. Berikut adalah petikan wawancara khusus Bambang Harymurti dari TEMPO dengan Dubes Wolfowitz di kantornya, Senin pekan ini. Beberapa petikan: Kunjungan Presiden Reagan sempat dibayangi oleh penolakan pemberian visa bagi beberapa wartawan asing. Pendapat Anda tentang penolakan ini. Dampak jangka panjangnya bisa diabaikan. Yang disayangkan, pada hemat saya, adalah kenyataan bahwa peristiwa ini mendapat liputan yang lebih besar daripada gambaran tentang Indonesia yang utuh. Tapi saya berkeyakinan kebanyakan wartawan dan semua pejabat pemerintah AS mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang Indonesia, baik mengenai hal positif maupun permasalahan yang ada. Kita memang mempunyai pandangan yang berbedatentang peran pers serta derajat kebebasannya. Tapi kebanyakan orang juga tahu ada elemen perselisihan antara Indonesia dan Australia dalam kasus ini. Jadi, untuk jangka panjang, saya kira, tak ada masalah. Walaupun untuk waktu pendek hal ini membuat semua orang senewen (tertawa). Menurut Menteri Luar Negeri George Shultz, masalah hak asasi dan kebebasan pers dibicarakan dengan pihak Indonesia, tapi ia menolak menyatakan lebih terinci. Dapatkah Anda menjelaskannya? Ia tidak menjawab, karena itu saya juga tak ingin menjawabnya. Tapi akan saya jelaskan mengapa Shultz menolak. Adalah kebijaksanaan pemerintahan Reagan untuk melakukan pembicaraan tertutup jika menyangkut masalah peka antara dua negara seperti masalah ini. Yaitu yang menyangkut urusan dalam negeri masing-masing. Dengan cara ini kami beranggapan titik terang dapat ditemukan. Sebaliknya, jika semua yang dibicarakan serta-merta diutarakan kepada publik, biasanya titik terang sulit ditemukan. Jadi, Menlu Shultz bertindak bijak dengan membatasi keterangan yang diberikannya. Itulah sebabnya saya juga tak hendak menjelaskan antara siapa pembicaraan ini dilakukan dan pada tingkat apa. Yang jelas, pembicaraan dilakukan baik pada pertemuan formal maupun informal. Mengenai perbedaan persepsi RI dan AS dalam menilai ancaman Rusia dan RRC? Ada perbedaan, tapi sulit untuk mengatakan berapa besarnya. Kami setuju bahwa ancaman paling serius bagi negara di kawasan Asia Tenggara berasal dari dalam. Karena itu, kami beranggapan pembangunan ekonomi adalah hal yang paling penting dilihat dari segi keamanan. Saya mendengar sendiri dari beberapa pihak Indonesia yang menyatakan mereka akan menangani masalah ancaman dari dalam. Bukan berarti mereka tak mengakui adanya ancaman Rusia, tapi mereka menganggap Rusia terlalu besar untuk dihadapi sendiri. Jadi, kamilah yang harus menghadapi. Kami punya pendapat yang berbeda. Indonesia kabarnya sedang menjajaki ide bebas nuklir, terutama untuk Selat Malaka. Bagaimana sikap AS mengenai hal ini? Kami masih mempelajari konsep zona bebas nuklir di Pasifik Selatan apakah bisa diterima atau tidak. Di Amerika Latin ide yang mirip bisa kami terima. Yaitu selama hak yang paling esensial, kebebasan untuk berlayar diperkenankan. Yang menjadi masalah di Pasifik adalah tertutupnya akses bagi kapal angkatan laut AS di Selandia Baru karena pihak angkatan laut tak dapat menyatakan kapal mana yang membawa nuklir dan mana yang tidak. Sejauh yang saya tahu, kehadiran angkatan laut AS di kawasan ini diterima baik, dalam arti dibandingkan dengan kekuatan RRC, Jepang, atau Rusia. Betul ide ZOPFAN adalah suatu ide yang menarik sebagai suatu gagasan abstrak. Tapi untuk mewujudkannya menjadi kenyataan tentu memerlukan waktu - yang mungkin cukup lama. Nah, dalam waktu menunggu itu kehadiran kami bermanfaat. Jika ide Selandia Baru ingin ditiru, AS jelas keberatan. Sebab, itu berarti kapal kami tak bisa lewat, sementara kapal Soviet lewat bebas karena mereka berbohong menyatakan kapalnya tidak bersenjata nuklir. Apa sebabnya AS menjanjikan kenaikan komponen hibah pada bantuan luar negerinya terhadap Indonesia? Kami mendapat tekanan untuk menciutkan anggaran dan kami harus melakukan itu, termasuk memotong bantuan luar negeri. Untuk melunakkan akibatnya terhadap negara yang memerlukan bantuan, kami mencari jalan lain. Memanfaatkan yang tersisa sebaik mungkin, antara lain dengan meluweskan persyaratan bantuan itu. Indonesia misalnya terpaksa menciutkan anggarannya. Maka, kami mencoba menaikkan komponen hibah serta meluweskan persyaratan komponen lokalnya. Kongres harus menyetujui niat ini. Tapi berdasarkan pengalaman masa silam, saya tak menganggap akan banyak hambatan. Betulkah AS menerima konsep wawasan Nusantara? Apa yang terjadi sebenarnya merupakan hasil samping upaya menghilangkan hambatan pajak berganda dalam hubungan dagang bilateral. Agar perjanjian ini dapat berlangsung, masing-masing harus mengakui wilayah teritorial dahulu. Dalam konteks ini kami menerima wawasan Nusantara, untuk pertama kalinya, secara tertulis. Tapi memang kami tak pernah menolak ide wilayah kepulauan ini dalam hukum laut internasional. Yang kami pegang keras dalam hukum laut internasional adalah masalah kebebasan untuk melakukan penambangan di laut dalam. Jika Anda harus memberi nilai 1 hingga 10 untuk menilai sukses tidaknya kunjungan ini, berapa nilai Anda berikan? 9 1/2, saya tak memberi 10 karena saya percaya tak ada yang sempurna dan saya sebenarnya berharap para wartawan AS dapat melihat Indonesia dalam gambaran yang lebih utuh dan tak hanya terpusat pada peristiwa yang menimpa wartawan Australia. Atau juga tak terlalu terpikat pada berita bocornya reaktor nuklir Rusia itu. Berapa sebenarnya biaya pertemuan ini dan siapa yang menanggung? Saya tak tahu persis, dan kalaupun saya tahu saya tak akan mengatakannya. Pembiayaan memang ditanggung bersama, tapi porsi utama dibayar oleh AS. Menurut Anda, biaya itu layak dibanding hasil yang dicapai? Sangat layak. Bahkan saya berharap Presiden Reagan dapat berkunjung ke Indonesia lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini