Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menunggu awang-awang

Pulau sebesi dan sebuku terkena uupa (redistribusi tanah). ma memenangkan gugatan ahli waris pulau tersebut, keluarga muhammad, tapi ganti rugi sejak 16 tahun silam, belum dibayar semua. (nas)

10 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari seratus juta rupiah terpatok di awang-awang. Tetapi di situlah harapan ahli waris Pulau Sebesi dan Sebuku digantung. Hari-hari ini anak cucu Muhammad Saleh Ali, almarhum, sang pemilik kedua pulau itu, masih mengharap uang Rp 116 juta - sisa ganti rugi tanah milik moyangnya - dibayar pemerintah. Pulau Sebesi dan Sebuku adalah dataran kecil yang terletak di Selat Sunda. Gugusan ini termasuk kawasan Lampung Selatan, yang bisa dicapai dari daratan Sumatera Selatan selama dua jam naik motor tempel. Dan sengketa pemilikan pulau ini dimulai tahun 1961. Saat UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) mulai berlaku. Saat seseorang secara pribadi tidak boleh memiliki tanah lebih dari 20 hektar. Padahal, kala itu Muhammad, yang meneruskan milik turun-temurun ayahnya, memiliki Sebesi dan Sebuku yang total luasnya hampir 4 ribu hektar. "Memang benar kami punya tanah yang kelebihannya begitu luas," ujar seorang anak Muhammad. "Tapi hubungan kami dengan pemilik cukup baik," ujar Ibrahim Miam, 55, yang lahir di pulau itu. Lewat kebijaksanaan landreform, hampir 2 ribu ha tanah Muhammad diredistribusikan bagi 531 kepala keluarga. Tindakan pemerintah itu dilaksanakan Oktober 1972. Waktu itu, ganti rugi ditetapkan Rp 4 per m2. Sehingga seharusnya keluarga pemilik pulau itu menerima uang Rp 66,5 juta. "Tetapi kami tak menerima sepeser pun," ujar anak laki-laki Muhammad. Karena itu, akhir 1973 mereka memasukkan gugatan ke pengadilan. Dua tahun kemudian, PN Tanjungkarang memutuskan menghukum bupati Lampung Selatan sebesar Rp 182 juta. Uang tadi merupakan ganti rugi bagi 3.707 ha tanah yang dijadikan proyek landreform. Tiga tahun kemudian keputusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan. Namun, Mahkamah Agung, 12 September 1979, justru memperkuat keputusan pengadilan tingkat pertama. Bahkan uang ganti rugi naik menjadi hampir Rp 300 juta. Selain harga tanah, pemerintah masih dibebani bunga 6% setahun. Dan bunga yang harus ditanggung selama 16 tahun dihitung mulai 1963. Uang hampir sepertiga milyar itu dimaksudkan sebagai ganti rugi tanah seluas 2.225 ha yang sudah dibagi dan 1.473 ha yang sudah diukur tetapi belum diberikan kepada penduduk. MA juga memperbolehkan ahli waris Muhammad menggarap tanah yang belum dibagi dan diukur. Hingga kini masih ada Rp 116 juta - yang belum dibayar oleh Pemda Lampung. "Padahal, mestinya Agustus 1979, sisa itu sudah harus lunas," kata putra Muhammad tadi. Bupati Lampung Selatan, Dulhadi, tidak bersedia 2 memberi keterangan Sementara itu, Direktur Landreform, Ditjen Agraria, Sanyoto menyatakan bahwa keputusan MA tadi sudah berdasar ketentuan yang berlaku. Masalahnya, bagaimana pembayaran ganti ruginya. Pembayaran yang sudah dilakukan itu diambil dari tanah yang sudah digarap oleh penduduk lewat landreform. "Sisanya menunggu penggarap lainnya, baru nanti diberikan ganti rugi," katanya. Dan ganti rugi yang dimaksud sesuai dengan PP 224/61 sekarang Rp 50 ribu per hektar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus