Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Sempat Lama Jadi Tahanan Israel, Berikut Profil Yahya Sinwar yang Gantikan Ismail Haniyeh Memimpin Hamas

Terpilih menggantikan Ismail Haniyeh untuk memimpin Hamas, siapakah Yahya Sinwar? Ia pernah menjadi tahanan Israel dalam waktu lama.

12 Agustus 2024 | 09.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hamas menunjuk Yahya Sinwar sebagai Kepala biro politik Hamas menggantikan Ismail Haniyeh yang tewas dalam sebuah pembunuhan di Tehran pada 31 Juli 2024. Penunjukan Sinwar ini diumumkan secara resmi oleh Hamas pada Selasa, 6 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dipilihnya Sinwar diharapkan bisa memperkuat jalan perjuangan Hamas yang dimulai sejak serangan 7 Oktober 2023. Sinwar adalah arsitek serangan paling mematikan pada Israel selama beberapa dekade. Dia selama ini bersembunyi di Gaza, menantang segala upaya Israel untuk membunuhnya sejak meletupnya perang Gaza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinwar sempat menghabiskan separuh hidupnya di penjara Israel. Dia telah menjadi salah satu pemimpin Hamas paling berkuasa yang masih hidup setelah kematian Ismail Haniyeh. Peristiwa pembunuhan pada Haniyeh telah membuat kawasan timur tengah diambang konflik, khususnya setelah Israel berjanji akan melakukan pembalasan yang keras. 

Mengenal Yahya Sinwar

Dilansir dari britannica.com, Yahya Sinwar, lahir pada 29 Oktober 1962 di kamp pengungsi Khan Younis, Jalur Gaza. Ia adalah pemimpin Hamas yang memiliki pengaruh besar dalam pergerakan dan kebijakan kelompok tersebut.

Sinwar tumbuh dalam kondisi yang sangat sulit di kamp pengungsi Khan Younis. Orang tuanya merupakan pengungsi yang dipaksa meninggalkan rumah mereka di Ashkelon akibat Perang Arab-Israel 1948. Seperti banyak warga Palestina lainnya, keluarga Sinwar hidup dalam kemiskinan, bergantung pada bantuan dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). 

Kondisi kehidupan yang keras ini, di tengah kemiskinan dan pengasingan, membentuk pandangan dunia Sinwar sejak usia muda. Pada awal 1980-an, Sinwar melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Islam Gaza. Di universitas ini, dia belajar bahasa Arab dan terlibat aktif dalam organisasi mahasiswa. 

Pada saat itu, banyak pemuda Palestina yang kecewa dengan kegagalan pan-Arabisme untuk menyelesaikan konflik dengan Israel dan mulai beralih ke Islamisme sebagai solusi alternatif. Sinwar, dengan karisma dan kemampuan organisasinya, dengan cepat naik menjadi salah satu pemimpin mahasiswa yang berpengaruh.

Namun, aktivitas politik Sinwar menarik perhatian otoritas Israel dan pada 1982, ia ditahan karena partisipasinya dalam organisasi-organisasi tersebut. Meskipun tidak ada tuduhan resmi yang diajukan, penahanan ini menandai awal dari perjalanan panjang Sinwar dalam pergerakan bawah tanah yang akhirnya membawanya ke puncak Hamas.

Pada 1985, sebelum terbentuknya Hamas, Yahya Sinwar ikut mendirikan al-Majd, sebuah jaringan pemuda Islam yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi informan Palestina yang bekerja untuk Israel. 

Al-Majd kemudian menjadi bagian integral dari struktur keamanan Hamas setelah kelompok tersebut didirikan pada 1987. Setahun kemudian, pada 1988, al-Majd ditemukan memiliki senjata oleh pihak Israel yang mengakibatkan penangkapan Sinwar. 

Pada 1989, dia dihukum seumur hidup oleh pengadilan Israel atas tuduhan pembunuhan terhadap warga Palestina yang dituduh berkolaborasi dengan Israel. Selama masa penahanannya yang berlangsung lebih dari dua dekade, Sinwar menjadi figur yang berpengaruh di kalangan tahanan Palestina. 

Sinwar dikenal keras terhadap tahanan yang diduga sebagai informan, bahkan pernah memimpin aksi mogok makan massal oleh 1.600 tahanan Palestina. Selain itu, Sinwar menghabiskan banyak waktu di penjara dengan mempelajari musuh-musuhnya, khususnya Israel. 

Dia membaca surat kabar Israel dan belajar bahasa Ibrani hingga fasih. Pengetahuan mendalam tentang Israel ini kelak menjadi salah satu aset strategisnya saat memimpin Hamas. Selama masa penahanan Sinwar, peta politik Palestina dan Israel mengalami perubahan signifikan. 

Pada awal 1990-an, Kesepakatan Oslo antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel menghasilkan proses perdamaian yang bertujuan untuk menciptakan negara Palestina yang berdampingan dengan Israel.

Namun, proses ini terganggu oleh serangan bom bunuh diri oleh Hamas dan pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin oleh ekstremis Yahudi pada 1995. Kekecewaan terhadap PLO dan kegagalan Kesepakatan Oslo tercermin dalam pemilihan umum 2006, di mana Hamas memenangkan mayoritas suara di Jalur Gaza.

Sinwar akhirnya dibebaskan pada tahun 2011 sebagai bagian dari pertukaran tahanan yang terkenal, di mana lebih dari 1.000 tahanan Palestina dibebaskan oleh Israel sebagai ganti pembebasan Gilad Shalit, seorang tentara Israel yang ditangkap oleh Hamas pada 2006. 

Pembebasan Sinwar tidak hanya menandai kembalinya ke panggung politik, tetapi juga mempercepat kebangkitannya dalam hierarki Hamas. Tak lama setelah dibebaskan, pada April 2012, Sinwar terpilih menjadi anggota biro politik Hamas di Jalur Gaza.

Sinwar dikenal karena kemampuannya dalam menyatukan faksi-faksi yang berbeda di dalam Hamas dan mendorong kompromi. Pada 2017, Sinwar terpilih sebagai kepala Hamas di Jalur Gaza, menggantikan Ismail Haniyeh yang memegang posisi yang lebih tinggi di organisasi tersebut. 

Pada saat yang sama, situasi di Gaza semakin memburuk akibat konflik yang terus-menerus dengan Israel dan isolasi internasional yang semakin parah. Pada tanggal 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan besar-besaran terhadap Israel yang dikenal sebagai “Operasi Al-Aqsa Flood.”

Serangan ini yang disebut sebagai yang paling mematikan sejak pendirian negara Israel, melibatkan peluncuran lebih dari 2.200 roket dalam waktu 20 menit yang memberikan perlindungan bagi sekitar 1.500 militan Hamas untuk menyusup ke wilayah Israel melalui berbagai titik di sepanjang perbatasan yang dijaga ketat. 

Serangan ini menargetkan pos-pos militer serta membunuh warga sipil, termasuk keluarga-keluarga di rumah mereka dan peserta festival musik di luar ruangan. Dalam beberapa jam, sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 240 lainnya diculik.

Serangan ini menunjukkan ciri khas taktik Sinwar yang sebelumnya telah menekankan pentingnya mengambil sandera untuk digunakan dalam pertukaran tahanan. Dampak serangan ini sangat besar, tidak hanya dalam hal korban jiwa, tetapi juga dalam meningkatkan eskalasi konflik antara Hamas dan Israel.

MICHELLE GABRIELA  | REUTERS 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus