Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sengketa di Bungalo Lee

Dua saudara Lee Hsien Loong menuduh sang Perdana Menteri melanggar surat warisan mendiang ayahnya. Demi kepentingan politik.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah dua lantai bercat putih itu berdiri di Oxley Road 38, tak jauh dari Orchard Road, pusat belanja terkenal Singapura. Bungalo yang terletak di tanah seluas sekitar separuh Istana Merdeka Jakarta itu adalah bangunan bersejarah bagi Negeri Singa.

Inilah rumah tempat bekas Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew tinggal selama hampir tujuh dekade. Pada 1954, sejumlah politikus berkumpul di lantai dasar rumah inipertemuan yang menjadi api perjuangan pembebasan Singapura dari kekuasaan Inggris. Pada November tahun itu pula Partai Aksi Rakyat, partai politik utama negeri itu, didirikan di sana.

Kini bungalo itu menjadi pusat sengketa keluarga Lee. Rabu pekan lalu, dua anak Lee Kuan Yew, Lee Hsien Yang, 60 tahun, dan Lee Wei Ling, 62 tahun, mengaku merasa terancam oleh kakak sulung mereka, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, 65 tahun, sehingga berencana meninggalkan negeri itu. Mereka menuduh Hsien Loong punya kepentingan pribadi atas rumah itu.

"Kami merasa terancam oleh Hsien Loong, yang menyalahgunakan posisi dan pengaruhnya pada pemerintah Singapura dan lembaganya untuk mendorong agenda pribadinya," kata mereka. "Kami merasa sangat tak nyaman dan diintai lekat-lekat di negeri kami sendiri. Kami tak percaya lagi kepada Hsien Loong, baik sebagai saudara maupun pemimpin."

Wei Ling adalah neurolog terkenal dan bekas Direktur Institut Neurosains Nasional. Hsien Yang adalah purnawirawan jenderal yang telah memimpin berbagai perusahaan penting, termasuk SingTel, perusahaan telekomunikasi pemerintah. Hsien kini memimpin Otoritas Penerbangan Sipil Singapura.

Tak cuma mengkritik Perdana Menteri Lee, mereka juga menyerang istri Lee, Ho Ching, CEO Temasek Holdings, perusahaan investasi pemerintah Singapura. Mereka menuduh keduanya punya ambisi politik untuk anak mereka, Li Hongyi. Menurut mereka, Lee dan istrinya ingin masuk rumah di Oxley Road 38 untuk "memperkuat mandat yang diwarisi Lee Hsien Loong untuk dirinya dan keluarganya".

Perdana Menteri Lee buru-buru membantah tudingan saudaranya itu. Dia mengaku sangat sedih terhadap tuduhan mereka. "Bila saudara-saudara saya punya pandangan berbeda, saya percaya bahwa perbedaan itu seharusnya tetap tinggal di dalam keluarga saja. Pernyataan saudara-saudara saya itu telah melukai wasiat ayah kami," katanya.

Percekcokan keluarga ini berpangkal pada nasib bungalo di Oxley Road 38. Gedung itu dibangun seabad lalu oleh seorang pedagang Yahudi dan termasuk jenis bangunan tua yang langka: rumah besar dengan beranda dan atap menjulur yang menyatukan gaya arsitektur rumah Melayu dan pengaruh kolonial Inggris. Meski punya nilai sejarah dan budaya yang begitu penting, bungalo yang harganya kini diperkirakan oleh konsultan properti, menurut The Straits Times, mencapai Rp 231 miliar itu akan dihancurkan.

Ini sesuai dengan keinginan Lee Kuan Yew. Pada 17 Desember 2013, Lee menulis di surat wasiat bahwa "Keinginan saya, dan keinginan almarhum istri saya, Kwa Geok Choo, bahwa rumah kami di Oxley Road 38, Singapura segera dihancurkan setelah saya wafat." Wasiat itu disertai catatan bahwa jika putri Lee, Wei Ling, ingin terus tinggal di rumah itu, penghancuran rumah itu dilakukan setelah Wei Ling meninggalkan rumah itu.

Lee ingin rumah itu dihancurkan karena tak ingin masyarakat "terbebani" oleh rumah tersebut setelah dia wafat. "Saya telah melihat rumah-rumah lain, seperti rumah Nehru dan Shakespeare. Rumah-rumah itu menjadi porak-poranda," katanya kepada The Straits Times pada 2011.

Sebulan setelah Lee meninggal pada 23 Maret 2015 pada usia 91 tahun, Hsien Yang dan Wei Ling membuat pernyataan bersama bahwa keinginan ayahnya agar rumah itu dihancurkan harus dihormati. Pada Januari 2016, jajak pendapat YouGov, perusahaan riset pemasaran Inggris, terhadap 1.000 orang Singapura menunjukkan bahwa mayoritas rakyat (77 persen) setuju rumah itu dihancurkan untuk menghormati wasiat Lee.

Namun Hsien Yang dan Wei Ling menuduh bahwa Perdana Menteri Lee berencana menjadikan rumah itu sebagai cagar budaya "untuk menaikkan modal politiknya". Menurut mereka, pencagaran rumah itu akan membuat Lee "mewarisi monumen nyata atas otoritas Lee Kuan Yew".

Namun posisi politik Lee Hsien Loong sebenarnya sudah kuat. Memang, partainya, Partai Aksi Rakyat, sempat terpukul karena hanya meraih 60,1 persen suara dalam pemilihan umum 2011, turun 7 persen dari pemilu 2006. Namun Lee segera membenahi diri dan mengambil kebijakan populer, termasuk menyubsidi biaya kesehatan dan melonggarkan kebijakan imigrasi. Hasilnya, partainya meraih 70 persen suara dalam pemilihan umum 2015. Namun tekanan yang dihadapinya kini bukan dari pesaing politik, melainkan dari keluarganya sendiri.

Hsien Yang dan Wei Ling pertama kali mengkritik Perdana Menteri Lee setelah perayaan setahun wafatnya Lee Kuan Yew pada 23 Maret 2016. Menurut BBC, sedikitnya 100 acara digelar di mana-mana, dari upacara resmi dan doa hingga menanam pohon serta lomba kayak. Patung lilin Lee dan istrinya dipajang di muka umum dengan bunga bertaburan di kaki mereka. Buku pelajaran sekolah tentang nilai-nilai Lee juga diluncurkan.

Dua hari setelah perayaan itu, Wei Ling menyatakan bahwa mendiang ayahnya pasti tak setuju pada perayaan semacam itu. "Setiap penghormatan punya dampak berlawanan dan mendorong generasi masa depan Singapura berpikir bahwa tindakan-tindakan ayah saya didorong oleh keinginannya untuk terkenal atau menciptakan sebuah dinasti," tulisnya di Facebook. Dia menuduh pemerintah ingin membesar-besarkan ayahnya.

Wei Ling menulis surat ke editor The Straits Times dan menyebut Perdana Menteri Lee sebagai "anak yang membawa malu" dan telah menyalahgunakan kekuasaannya. Lee membantah tuduhan itu dan mengaku "sangat sedih" atas tindakan saudaranya tersebut.

Hsien Yang dan Wei Ling juga meributkan soal kepemilikan dan penggunaan transkrip rekaman sejarah lisan oleh Lee Kuan Yew dari tahun 1980-an yang ditemukan di bungalo itu. Keduanya memohon ke pengadilan untuk mengklaim rekaman itu, tapi pengadilan tinggi menolak permohonan mereka pada September tahun lalu. Mereka mengajukan permohonan banding, tapi pengadilan banding mengukuhkan putusan pengadilan sebelumnya pada April lalu. Kejaksaan Singapura, yang mewakili pemerintah, menegaskan bahwa keluarga hanya punya akses terbatas atas transkrip itu.

Dalam putusannya, pengadilan menyatakan Lee Kuan Yew menekankan bahwa materi tersebut sensitif secara politik dan perlunya dilindungi kerahasiaannya. Transkrip itu juga dilindungi oleh Undang-Undang Kerahasiaan Negara, sehingga keluarga Lee tak dapat mengakses atau memakainya tanpa izin pemerintah.

Kini pemerintah juga campur tangan dalam urusan bungalo Lee. Sosiolog Terence Chong dan sejarawan arsitek Yeo Kang Shua meminta pemerintah membentuk panel untuk menentukan kelayakan rumah itu dilindungi. Otoritas Pembangunan Kembali Kota dan Dewan Warisan Nasional menanggapi dengan menyatakan bahwa, jika rumah dihancurkan, "Pemerintah mungkin tidak akan mengizinkan pembangunan kembali yang akan mengurangi nilai sejarahnya, misalnya, untuk pembangunan komersial atau perumahan intensif."

Kabinet telah membentuk komite kementerian internal untuk menangani perkara tersebut. "Komite dibentuk untuk menimbang opsi-opsi bagi Oxley Road 38 dan implikasi dari opsi itu. Ini termasuk melihat semua aspek, seperti nilai sejarah dan warisan rumah itu, juga menimbang pemikiran dan keinginan Lee Kuan Yew mengenai rumah itu," kata Sekretaris Kabinet Tan Kee Yong dalam pernyataannya pada Rabu pekan lalu.

Pernyataan itu keluar untuk menanggapi tuduhan Hsien Yang dan Wei Ling bahwa Perdana Menteri Lee membentuk komite itu untuk mempertahankan rumah tersebut. Tapi Tan Kee Yong membantahnya. "Perdana Menteri tidak terlibat dalam diskusi-diskusi kabinet mengenai komite ini. Seperti yang dia nyatakan sebelumnya, dia mundur dari semua keputusan pemerintah mengenai rumah itu," ujarnya. Pemerintah, kata dia, tak punya niat melakukan apa pun terhadap rumah itu selama Wei Ling bermukim di sana.

Sengketa ini tampaknya akan terus berlanjut hingga pemerintah mengambil keputusan tentang bungalo Lee. Joan C. Henderson, guru besar madya di Nanyang Technological University, Singapura, dalam artikelnya mengenai warisan Lee di International Journal of Heritage Studies, Desember 2015, memaparkan bahwa Singapura punya sedikit monumen mengenai kelahiran negeri itu. "Menyelamatkan rumah ini akan menjadi kesempatan langka untuk menambah daftar tersebut dan mengenang Lee," tulisnya.

Kurniawan (The Straits Times, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus