Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua serba gres di panggung politik Prancis kali ini: presiden termuda Emmanuel Macron, 39 tahun, dan partai anyar besutannya, La République En Marche!. Setidaknya, hingga lima tahun mendatang, rakyat Prancis bakal akrab dengan Macron dan partainya.
Seperti Macron, capaian La République En Marche! gemilang. Berawal dari sebuah gerakan politik En Marche!, partai berhaluan sentris itu sukses memenangi putaran pertama pemilihan anggota legislatif, Ahad pekan lalu. En Marche!--yang berarti "Bergerak Maju"--baru berumur 14 bulan. "Prancis telah kembali," kata Edouard Philippe, perdana menteri pilihan Macron, menanggapi kemenangan telak La République En Marche!.
Partai besutan Macron itu meraih 32,3 persen suara. Posisi kedua ditempati partai konservatif kanan-tengah, Les Républicains, dengan selisih lebih dari 10 poin. Sedangkan Front National, partai ekstrem kanan yang dikomandoi Marine Le Pen, bertengger di peringkat ketiga. "Tiga kali berturut-turut, jutaan dari Anda mendukung kebijakan presiden untuk pembaruan, penyatuan, dan penaklukan kembali republik," ucap Philippe.
Dari 577 daerah pemilihan, yang terwakili oleh 577 kursi di Majelis Nasional, para calon legislator La République En Marche! tercatat unggul di 449 wilayah. Lembaga survei Kantar Public memprediksi En Marche! bakal meraup 400-440 kursi setelah putaran kedua pemilihan anggota legislatif. "Partai Macron bersiap mendominasi Majelis Nasional, badan legislatif yang lebih berkuasa daripada Senat," begitu menurut harian The New York Times.
Dengan sokongan mayoritas di parlemen, Macron berpeluang kuat mengegolkan program-program probisnisnya. Selama masa kampanye pemilihan presiden, Macron mencuat sebagai kandidat pro-Uni Eropa dan probisnis. Menteri keuangan di kabinet sosialis Francois Hollande itu pendatang baru di panggung politik nasional Prancis. "Mari beri dia kesempatan," kata seorang pemilih di Villeurbanne, kota industri di timur Lyon.
Langkah politik Macron tak terbendung. Pria kelahiran Amiens, kota sejauh 144 kilometer ke arah utara dari Paris, itu telah meraih tiga kemenangan: dua kali saat pemilihan presiden dan satu kali dalam pemilihan anggota legislatif. Besar kemungkinan Macron bakal membawa La République En Marche! kembali memuncaki putaran final pemilihan anggota legislatif. "Angin topan yang terlalu kuat," ujar Jean-Christophe Cambadélis, sekretaris pertama Partai Sosialis Prancis.
"Angin topan" yang dimaksud Cambadélis adalah terpilihnya Macron sebagai presiden. Tak ada yang menyangka bahwa Macron, yang sempat dicap sebagai politikus amatir, bakal menang. Di putaran pertama, 23 April lalu, Macron menggulung sepuluh kandidat lain, termasuk Francois Fillon, Jean-Luc Mélenchon, dan Benoit Hamon. Di babak final, dua pekan kemudian, Macron melibas rivalnya, Marine Le Pen, dengan selisih 22 persen suara.
Kobar kemenangan Macron itu rupanya terus menyala hingga pemilihan anggota legislatif. Berbekal popularitas yang tinggi, Macron kembali mengobrak-abrik status quo. Ini pertama kali Presiden Prancis tidak berasal dari Partai Sosialis atau Les Républicains, dua partai yang merajai politik negeri itu sejak 1958. Untuk pertama kali pula parlemen Prancis dikuasai partai debutan, La République En Marche!, bukan dua partai kawakan.
Sukses La République En Marche! bermula pada 6 April tahun lalu, saat Macron resmi mendirikan En Marche! di Amiens. Saat itu, Macron melihat ceruk politik yang belum tergarap oleh partai tradisional kanan dan kiri. "Saya cukup terkejut melihat cepatnya dia belajar politik," kata Alain Minc, rekan dan mentor politik yang telah mengenal Macron selama 15 tahun. Minc salah seorang yang menyaksikan kelahiran En Marche!.
Macron menggarap En Marche! sejak ia masih tergabung dalam kabinet Hollande. Macron menggandeng Liegey Muller Pons, firma rintisan politik di Paris. Tiga orang pendiri firma itu, Guillaume Liegey, Arthur Muller, dan Vincent Pons, menjadi relawan kampanye Barack Obama saat pemilihan Presiden Amerika Serikat 2008. "Setelah Obama menang, mereka mengadopsi taktik gaya Obama ke Prancis," begitu diberitakan The Atlantic.
Macron, yang pernah tercatat sebagai anggota Partai Sosialis, rupanya terinspirasi Hollande. Pada 2012, firma Liegey Muller Pons membantu Hollande merebut kemenangan tipis atas Nicolas Sarkozy, kandidat inkumben Les Républicains. Saat itu, Liegey Muller Pons melancarkan kampanye berbasis relawan. Sebanyak 80 ribu relawan pro-Hollande bergerak mendatangi rumah-rumah pemilih, membidik 5 juta pintu di seantero Prancis.
Tim kampanye En Marche! menerapkan strategi senada. Namun mereka mengerahkan pasukan yang lebih besar. Hanya dalam kurun satu tahun setelah terbentuk, En Marche! telah beranggotakan 250 ribu relawan. Mereka melancarkan Grande Marche, kampanye dari pintu ke pintu berskala nasional. Grande Marche cara bagi Macron untuk secara tak langsung memperkenalkan dirinya ke pemilih. Dengan cara itu, Macron juga menyerap aspirasi para pemilih, termasuk apa saja yang tidak mereka sukai dari politik Prancis.
Liegey mengatakan strategi kampanye En Marche! bukan untuk langsung meraup suara. "Tapi memberi pengalaman bagi para relawan," ujarnya. Menurut dia, banyak relawan En Marche! tak pernah berkampanye dari rumah ke rumah. "Mereka menyukainya," ucap Liegey. Dalam tiga bulan pertama, 5.000 relawan En Marche! mengetuk 300 ribu pintu dan berbicara kepada 100 ribu orang. Dari situ, mereka memetakan daerah basis pendukung.
Pada 2008, Obama boleh jadi tak mengandalkan mesin politik Partai Demokrat. Namun langkah Macron agak berbeda: ia melaju lewat jalur independen. Lihai menjaga jarak dari Partai Sosialis dan Les Républicains yang popularitasnya terpuruk, Macron menatap Marine Le Pen dan Front National sebagai rival terberat. Sedangkan Le Pen menguarkan sentimen supranasionalis dan anti-imigran. "Orang-orang memilih populisme saat mereka merasa tersesat," kata Laurent Saint-Martin, salah seorang ketua tim relawan En Marche! di Paris.
Itu sebabnya En Marche! terus merangkul pendukung mereka. Lewat bermacam kegiatan dan diskusi di posko-posko En Marche!, para relawan telaten "merawat" rasa jengah pemilih terhadap wajah rezim lawas. "Anda bisa dekat dengan mereka karena Anda hadir," kata Saint-Martin, yang mengetuai relawan di 17th arrondissement.
Soal kejengahan pemilih juga disinggung François Baroin. Pejabat senior Les Républicains itu menyoroti tingkat partisipasi pemilih yang hanya 49 persen dari 47 juta orang. "Satu dari dua orang Prancis memilih. Angka terendah sejak 1958," ujarnya. Dari sayap kiri, suara senada muncul dari pentolan Partai Sosialis, Jean-Christophe Cambadélis. "Hasil ini tanda kelelahan demokrasi yang luar biasa," ucapnya, menyentil kemenangan En Marche!.
Le Pen juga meringis. Partai besutannya, Front National, hanya meraup 13,2 persen. Angka itu bahkan jauh di bawah 21,3 persen, perolehan suara Le Pen dari 10,5 juta pendukungnya saat melawan Macron. Di parlemen, Front National bakal mendapat maksimal 15 kursi. "Kita harus mempertanyakan sistem yang membuat jutaan pemilih tidak mendatangi bilik suara," ujar Le Pen, yang menyoroti "bencana abstain" tersebut.
Kemenangan gemilang membuat La République En Marche! sangat berkuasa di parlemen. "Tidak ada oposisi," kata Rachida Dati, legislator dari Les Républicains, yang lima tahun terakhir menjadi penyeimbang kekuatan Partai Sosialis. Gael Sliman, peneliti dari lembaga jajak pendapat Odoxa, menilai rendahnya jumlah pemilih menggambarkan bahwa Macron sebenarnya tak sepopuler yang dikira. "Tapi mereka tak ingin menghalangi jalan Macron."
Mahardika Satria Hadi (The Local, Newsweek, The New York Times, Politico)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo