Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTIRAN putih bening menggunung di sudut gudang PT Garam di Jalan Kapten Darmo Sugondo, Gresik, Jawa Timur. Hanya ada dua karyawan ketika Tempo datang ke sana, Rabu pekan lalu. "Itu 10 ribu ton, sisa impor terakhir," kata Hoday, penjaga gudang. "Sudah ada yang beli, tapi enggak bisa diambil karena disegel polisi."
Markas Besar Kepolisian RI menyegel gudang itu sejak Sabtu dua pekan lalu. Sebab, polisi menduga Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono menyelewengkan izin impor dan distribusi garam. Hari itu juga polisi menangkap Achmad di rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. "Perusahaan mengimpor garam industri, lalu menjualnya sebagai garam konsumsi," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Polri Brigadir Jenderal Agung Setya, Rabu pekan lalu.
Agung menuturkan, perkara ini terbongkar setelah polisi menemukan garam bermerek "Segitiga G" beredar di Surabaya, medio Mei lalu. Polisi curiga terhadap tulisan "Diproduksi oleh PT Garam" pada plastik kemasannya. Dari kemasan itu, menurut Agung, perusahaan seolah-olah membuat garam sendiri. "Padahal mereka mengimpor garam dari Australia dan India."
Polisi lalu menyelidiki dokumen impor PT Garam. "Mereka mendapat penugasan dari pemerintah untuk mengimpor garam konsumsi," kata Agung. "Tapi yang diimpor malah garam industri." Karena mengimpor garam industri, menurut Agung, PT Garam tidak terkena kewajiban bea masuk di pelabuhan. Padahal, jika mengimpor garam konsumsi, perusahaan wajib membayar bea masuk 10 persen. "Ada pendapatan negara yang hilang," ujar Agung.
PT Garam menerima penugasan impor garam konsumsi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada medio Februari lalu. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi, mengatakan impor garam konsumsi terpaksa dilakukan karena petani garam lokal gagal menyediakan kebutuhan nasional akibat kemarau basah pada tahun lalu.
Petani garam hanya bisa memasok 144 ribu ton dari proyeksi kebutuhan garam konsumsi sebanyak 3,6 juta ton pada 2017. Karena pasokan dari dalam negeri begitu jomplang, setelah beberapa kali rapat terbatas, pemerintah menugasi PT Garam mengimpor garam konsumsi. Total jenderal, kata Brahmantya, pemerintah berencana mengimpor sekitar 220 ribu ton garam konsumsi.
Dasar penugasan kepada PT Garam adalah Pasal 11 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Impor Garam. Aturan itu membolehkan pemerintah menunjuk badan usaha milik negara yang bergerak di bidang garam untuk melakukan impor jika terjadi gagal panen raya. Kementerian Kelautan kemudian mengeluarkan rekomendasi impor garam konsumsi untuk PT Garam. Sebelumnya, sejak 2015, PT Garam ditunjuk sebagai importir tunggal garam industri.
Kementerian Kelautan juga bertugas mengawasi impor. Kementerian ini meminta impor dilakukan bertahap. Impor tahap pertama, sebanyak 75 ribu ton, dijadwalkan rampung pada April. "Sisanya bisa dilakukan atau tidak tergantung panen Juni ini," ujar Brahmantya. Demi melindungi petani garam, ada juga aturan yang melarang impor garam konsumsi satu bulan sebelum sampai dua bulan sesudah panen raya.
Pada akhir Februari lalu, PT Garam mengumpulkan 53 perusahaan pengolah garam. "Yang kami datangkan garam mentah atau krosak, jadi harus diolah lagi menjadi garam konsumsi," tutur pelaksana tugas Direktur PT Garam, Budi Sasongko.
Di samping membagi-bagi jatah pengolahan, dalam pertemuan tersebut PT Garam membuat kesepakatan harga jual ke perusahaan pengolah. Perusahaan pengolah, kata Budi, sepakat membeli pada kisaran harga Rp 935 per kilogram--di bawah harga pasar, sekitar Rp 1.800 per kilogram. "Kami tidak mencari untung banyak karena ini sifatnya penugasan," ujar Budi.
PT Garam kemudian membuka lelang pengadaan garam pada awal Maret lalu. Enam perusahaan mendaftar. Dua perusahaan berasal dari Australia dan empat lainnya dari India. Pertengahan bulan itu, PT Garam menunjuk Dampier Salt Limited, asal Australia, dan Kandla Agro & Chemicals Pvt, asal India.
Dampier Salt mendapat jatah 55 ribu ton garam dengan harga US$ 35,6 per ton atau setara dengan Rp 473 per kilogram dalam kurs per Juni. Sisa 20 ribu ton didatangkan Kandla Agro dengan harga US$ 25,5 per ton atau sekitar Rp 339 per kilogram.
Pada 22 April lalu, sebanyak 26 ribu ton garam impor masuk ke Indonesia sebagai bagian dari impor tahap pertama. Garam dari Australia masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Adapun garam dari India masuk lewat Pelabuhan Belawan, Medan. Kementerian Kelautan, menurut Brahmantya, membatasi pintu masuk di dua pelabuhan itu untuk memudahkan pengawasan.
Belakangan, Markas Besar Polri mempermasalahkan impor garam tersebut. Polisi menyalahkan Achmad Boediono karena memenangkan perusahaan asal Australia dan India yang menjual garam dengan kadar natrium klorida (NaCl) di atas 97 persen. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan, garam konsumsi memiliki kandungan NaCl 94,7 persen sampai 97 persen. "Bila NaCl lebih dari 97 persen, itu garam industri," kata Agung.
Polisi juga menyalahkan PT Garam yang menjual lagi garam impor ke 53 perusahaan pengolahan. Polisi menuding PT garam menabrak Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 yang melarang importir garam menjual atau mengalihkan garam industri ke pihak lain.
Dengan menjual lagi garam industri sebagai garam konsumsi, menurut polisi, PT Garam memperoleh keuntungan besar. "Harga garam industri lebih murah daripada garam konsumsi," ujar Agung. Berdasarkan perhitungan polisi, PT Garam setidaknya menangguk untung Rp 30 miliar. Itu selisih dari harga pembelian garam dari Australia dan India, sekitar Rp 40 miliar, dengan harga jual ke industri pengolahan di Indonesia, sekitar Rp 70 miliar.
Polisi juga menuduh PT Garam sengaja membeli garam industri dari Australia dan India untuk menghindari bea masuk 10 persen. Menurut Agung, itu melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk. "Aturan bea masuk garam konsumsi untuk melindungi petani lokal," kata Agung.
Karena PT Garam tak membayar bea masuk, menurut polisi, negara kehilangan pendapatan sekitar Rp 3,5 miliar. Atas dugaan penghindaran bea masuk itu, polisi menjerat Achmad dengan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini mengatur tindakan memperkaya diri atau orang lain dengan melanggar hukum dan merugikan negara.
Dari 75 ribu ton garam industri yang diimpornya, menurut polisi, PT Garam menjual sendiri sekitar seribu ton untuk konsumsi. Garam itu dikemas sebagai garam konsumsi dengan merek "Segitiga G". Pada bagian belakang kemasan ada juga keterangan, "Garam ini terbuat dari bahan baku lokal." Menganggap barang yang tercantum pada kemasan tak sama dengan isi barangnya, polisi menjaring Achmad Boediono dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. "Dia diduga menipu pembeli dengan mengatakan itu garam konsumsi," ujar Agung.
Belum cukup dengan dua tuduhan itu, polisi juga menjerat Achmad dengan pasal Undang-Undang Pencucian Uang. Tapi polisi tak menjelaskan alasan pemakaian pasal tersebut.
Seorang penegak hukum yang mengikuti jalannya kasus ini mengatakan polisi mencampuradukkan sejumlah aturan yang tidak relevan untuk membidik PT Garam. Misalnya, polisi merujuk pada definisi garam konsumsi dan industri dalam Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015. "Definisi dalam aturan itu sudah usang karena ada aturan baru," ujar sumber ini.
Si penegak hukum memaparkan, pada awal 2017, terjadi perubahan nomor daftar penggolongan dan penomoran komoditas secara internasional. Penomoran internasional yang dikenal sebagai harmonized system (HS) itu menjadi acuan dalam penentuan bea dan klasifikasi barang. Garam termasuk komoditas yang tunduk pada aturan internasional itu. Indonesia telah mengikatkan diri pada aturan dunia tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2017, yang mulai berlaku pada 1 Maret lalu.
Selain mengubah kode, aturan HS terbaru mengubah penggolongan garam industri dan konsumsi. Peraturan Menteri Keuangan terbaru pun hanya membedakan klasifikasi garam berdasarkan kandungan NaCl-nya. Pertama, garam yang mengandung NaCl minimal 60 persen dengan batas atas 97 persen dan sudah diperkaya dengan yodium. Tipe garam dengan kode HS 2501.00.91 ini sudah diolah ketika diimpor. Kedua, garam mentah dengan kandungan NaCl 97-99 persen. Kode HS untuk jenis garam ini adalah 2501.00.92.
Dalam rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga pada medio Februari lalu, Kementerian Perdagangan sepakat merevisi Peraturan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Impor Garam. Menurut Direktur Impor Kementerian Perdagangan Veri Anggriono, revisi aturan itu sedang berjalan.
Di samping disesuaikan dengan ketentuan HS baru, menurut Veri, revisi merujuk pada dua aturan lain, yakni Standar Nasional Indonesia tentang garam konsumsi beryodium dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88 Tahun 2014 tentang Peta Pengembangan Industri Garam.
Kedua aturan itu memang masih mengklasifikasi garam industri dan konsumsi. Namun batasan kandungan NaCl-nya lebih luwes. Garam konsumsi dalam Peraturan Menteri Perindustrian, misalnya, adalah garam dengan NaCl minimal 94 persen tanpa batas atas. Angka 94 persen ini merujuk pada garam olahan petani lokal.
Karena ada perubahan standar HS dan Peraturan Menteri Keuangan, PT Garam mengajukan pergantian surat persetujuan impor (SPI) ke Kementerian Perdagangan. Alasannya, SPI nomor 42 yang mereka pegang masih mencantumkan kode yang sama untuk garam industri dan garam konsumsi: 2501.00.90. Yang membedakan kedua jenis barang itu hanya definisinya.
PT Garam akhirnya mengantongi SPI Nomor 43 yang menjadi dasar menggelar lelang. Menurut Budi Sasongko, dalam SPI nomor 43, PT Garam mengantongi izin impor garam dengan kode 2501.00.92, yakni bahan baku garam dengan kandungan NaCl dari 97 persen sampai 99 persen. "Jadi, sejak awal, kami memang ditugasi mendatangkan garam konsumsi mentah," kata Budi.
Menurut Budi, PT Garam mendatangkan garam mentah agar industri pengolahan bisa tetap berproduksi. Bila PT garam langsung mendatangkan garam beryodium, usaha pengolahan garam di dalam negeri terancam mati. "Itu juga bagian dari rekomendasi Kementerian Kelautan," ucap Budi.
Brahmantya membenarkan penjelasan Budi. Kementerian Kelautan meminta PT Garam membagi garam mentah yang diimpornya ke industri pengolahan kelas kecil dan menengah. Hanya 33 persen dari kuota impor yang dijatahkan untuk usaha pengolahan besar. "Biar usaha skala kecil dan menengah tidak gulung tikar," ujar Brahmantya.
Menurut Budi, selisih dari penjualan garam impor ke industri pengolah juga masih tergolong wajar. Angka yang dikantongi PT Garam tidak sampai Rp 30 miliar seperti perhitungan polisi. Soalnya, masih ada beberapa kewajiban yang harus dibayar PT Garam, termasuk pajak pendapatan.
Menurut seorang pejabat pemerintah yang mengetahui seluk-beluk impor garam, polisi juga tak bisa membidik PT Garam dengan tuduhan menggelapkan bea masuk. Alasannya, Indonesia telah meratifikasi perjanjian negara-negara Asia Tenggara dengan Australia dan Selandia Baru.
Kementerian Keuangan telah memasukkan perjanjian soal bea masuk itu ke Peraturan Nomor 28/PMK.010/2017. Menurut aturan terbaru, garam dari Australia dengan kode HS 2501.00.92 termasuk yang bebas bea masuk. Aturan ini berlaku per 1 Maret lalu, jauh sebelum PT Garam menunjuk perusahaan pemasok asal Australia.
Toh, kepolisian telanjur bergerak jauh. Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri juga menyelidiki dugaan permainan dalam perubahan izin impor PT Garam. "Saya mendukung PT Garam menjadi importir tunggal garam konsumsi untuk memutus rantai mafia garam," kata Agung. "Tapi penegakan hukum harus jalan."
Syailendra Persada, Robby Irfani (Jakarta), Artika Rachmi (Surabaya)
Silang Tafsir di Banyak Pasal
Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono sebagai tersangka dugaan penyelewengan izin impor. Polisi berpegang pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Impor Garam serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk. Berikut ini regulasinya.
Definisi Garam
Polisi
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015
l Pasal 1.2
Garam industri adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku atau penolong kebutuhan industri dengan kadar NaCl paling sedikit 97 persen dihitung dari basis kering.
Pos tarif atau HS: 2501.00.90.10.
l Pasal 1.3
Garam konsumsi adalah garam yang dipergunakan untuk konsumsi dengan kadar NaCl paling sedikit 94,7 persen sampai dengan kurang dari 97 persen dari basis kering.
Pos tarif atau HS: 2501.00.90.10.
Penjelasan:
"PT Garam mendapat tugas impor konsumsi, tapi yang datang garam dengan NaCl 97 persen. Artinya, ini industri."
--Brigadir Jenderal Agung Setya, Direktur Tindak Pidana
Ekonomi Khusus Polri
Kementerian/PT Garam
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan
Tarif Bea Masuk
l Kode HS 2501.00.91: Garam dengan kandungan NaCl lebih dari 60 persen tetapi kurang dari 97 persen dihitung dari basis kering dan beryodium.
l Kode HS 2501.00.92: Garam lain-lain dengan kandungan NaCl 97 persen sampai 99 persen.
2. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88 Tahun 2014 tentang Peta Panduan Pengembangan Garam
l Penjelasan B.1.1: Garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan kandungan NaCl minimal 94 persen, tanpa menyebut batas atas.
l Penjelasan B.2: Garam industri adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku proses produksi. Ada enam jenis industri yang masing-masing memiliki batas minimal NaCl.
3. Standar Nasional Indonesia 3556:2016
l Garam konsumsi adalah garam dengan kandungan NaCl minimal
94 persen dan beryodium. Tanpa batas atas.
Berbagi Kuota Garam
Polisi
Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015
l Importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri yang telah diimpor kepada pihak lain.
Kementerian/PT Garam
l Budi Sasongko, pelaksana tugas Direktur PT Garam:
"Rekomendasi Kementerian Kelautan memperbolehkan kami membagi kuota untuk keberlangsungan industri pengolahan."
Bea Masuk 10 Persen
Polisi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk
l Lampiran Nomor 1729:
Garam dengan kandungan NaCl lebih dari 60 persen tetapi kurang dari 97 persen dihitung dari basis kering dan beryodium kena bea 10 persen.
l Lampiran Nomor 1730:
Garam lain-lain dengan kandungan NaCl 97 persen sampai 99 persen tidak kena bea masuk.
Penjelasan:
"PT Garam sengaja menaikkan NaCl 97 persen agar masuk kategori industri sehingga bebas bea masuk."
--Agung Setya
Kementerian/PT Garam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.010/2017 tentang Tarif Bea Masuk dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area
l Nomor lampiran 1729: Kode HS 2501.00.91
Garam dengan NaCl 60 sampai 97 persen bebas bea masuk.
l Nomor lampiran 1730: Kode HS 2501.00.92
Garam dengan NaCl di atas 97 persen bebas bea masuk.
Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo