Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HYON Song-wol, penyanyi pop yang dijuluki "Spice Girl"-nya Pyongyang, tak berbicara sepatah kata pun ketika tiba di Stasiun Dorasan di daerah perbatasan Korea Utara dan Selatan, Senin malam pekan lalu. Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada para wartawan ketika masuk ruang imigrasi stasiun untuk kembali ke Korea Utara, tanah airnya.
Bekas pacar Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara, itu baru saja selesai memimpin delegasi negerinya meninjau beberapa tempat yang akan digunakan untuk Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Provinsi Gangwon, Korea Selatan, bulan depan.
Dua pekan lalu, Korea Utara dan Selatan bersepakat untuk mengirimkan tim gabungan hoki es perempuan buat Olimpiade itu. Mereka juga akan berbaris bersama di bawah bendera "Korea bersatu"- bendera bergambar Semenanjung Korea berwarna biru- pada upacara pembukaan Olimpiade.
Korea Utara dan Selatan secara teknis masih berperang setelah Perang Korea pada 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata. Perseteruan kedua negara memanas pada tahun lalu setelah Kim Jong-un menggelar beberapa kali uji coba misil berhulu ledak nuklir yang mampu mencapai Jepang dan Amerika Serikat. Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menilai partisipasi Korea Utara dalam Olimpiade kali ini sebagai peluang untuk merekatkan kembali hubungan kedua negara.
Sejauh ini Korea Utara menunjukkan dukungannya untuk memperbaiki hubungan dengan Selatan. Kim Jong-un telah menyatakan akan membuka dialog dengan Seoul. Kamis pekan lalu, kantor berita Pyongyang, KCNA, bahkan menyerukan kepada "semua orang Korea di dalam dan luar negeri" agar melakukan terobosan untuk reunifikasi Korea tanpa bantuan negara lain. "Mari kita mempromosikan hubungan, wisata, kerja sama, dan pertukaran antara Utara dan Selatan dalam skala luas dan aktif menciptakan atmosfer bagi rekonsiliasi dan reunifikasi nasional," demikian siaran KCNA.
Pyongyang rencananya akan mengirimkan 550 delegasi, termasuk atlet dan pendukung, ke Olimpiade itu. Namun kelompok terbesar adalah para perempuan pemandu sorak, yang mencapai 230 orang. Mereka inilah yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Korea Selatan.
Media Korea Selatan menjuluki para pemandu sorak ini sebagai "tentara cantik". Mereka mulai populer ketika muncul dalam Asian Games di Busan, Korea Selatan, pada 2002. Kala itu media Korea Selatan meliput mereka habis-habisan. "Akibatnya, para penonton jadi lebih tertarik kepada para pemandu sorak itu daripada pertandingannya," tulis German Kim dalam buku The Northern Region of Korea: History, Identity, and Culture.
ADA pepatah lama Korea: Namnam, pungnyo. Artinya, di selatan- lelaki, di utara- perempuan. Maksudnya, pria Korea lebih tampan di kawasan selatan, sedangkan perempuan lebih cantik di kawasan utara. Bisa jadi pepatah ini turut menjelaskan popularitas para pemandu sorak Korea Utara.
Jaringan radio pemerintah terbesar Cina, China Radio International (CRI), menyatakan bahwa sejak dulu para pemandu sorak Korea Utara dirancang untuk bereputasi tinggi: cantik secara alami, berdisiplin, dan teratur. Menurut Kim Gyeong-sung, kepala badan pertukaran olahraga sipil Korea, seperti dikutip CRI, ada beberapa syarat untuk menjadi pemandu sorak.
Mereka, kata Gyeong-sung, harus berusia sekitar 20 tahun, cantik, cerdas, dan ramah. Ada juga yang lebih muda, seperti Ri Sol-ju, yang kemudian menjadi istri Kim Jong-un, yang baru berusia 16 tahun ketika jadi pemandu sorak dalam Kejuaraan Atletik Asia pada 2005. "Tinggi mereka harus lebih dari 163 sentimeter dan dari keluarga baik-baik," ujar Anh Chan-il, pembelot dari Korea Utara yang kini mengelola World Institute for North Korea Studies di Korea Selatan.
Latar belakang keluarga adalah hal penting untuk masuk tim ini. Sebagian dari mereka adalah putri pejabat tinggi Korea Utara. Yang punya hubungan dengan Jepang, musuh Korea Utara, atau pembelot akan langsung dicoret dari daftar calon.
Mereka umumnya dipilih di antara mahasiswa universitas, anggota pasukan propaganda, dan siswa sekolah musik. Setelah dipilih, mereka akan menghabiskan waktunya untuk menjalani latihan bersorak dan bernyanyi. "Yang memainkan alat musik itu dari grup band dan yang lain kebanyakan mahasiswa dari kampus elite Universitas Kim Il-Sung," ucap Chan-il.
Menurut Jiro Ishimaru, pembuat film dokumenter Jepang yang mengelola jaringan rahasia jurnalis warga di Korea Utara, para remaja itu dari keluarga terpandang sehingga tak mungkin membelot. Di samping memandu sorak, kata dia, peran mereka adalah melawan persepsi umum bahwa Korea Utara adalah negara terbelakang yang rakyatnya kekurangan gizi. "Mereka keluar untuk membuat orang-orang terkesan, khususnya orang Korea Selatan," ujarnya.
Mereka adalah alat propaganda dan "senjata rahasia" Kim Jong-un. "Sangat tak mungkin atlet Korea Utara meraih medali, maka nilai propaganda jauh lebih besar daripada nilai olahraganya," kata Chan-il. "Adakah negara lain yang akan mengirimkan pemandu sorak seperti itu ke Olimpiade kecuali Korea Utara?"
Pada kenyataannya, para pemandu sorak itu memang "tentara" Kim Jong-un. Kesetiaan mereka hanya kepada sang pemimpin. Ke mana pun pergi, mereka menunjukkan kesetiaan kepada Pyongyang, termasuk dalam Olimpiade Musim Dingin 2003 di Daegu, Korea Selatan.
Di Daegu, setelah tampil dalam salah satu pertandingan, mereka kembali ke penginapan dengan bus. Di tengah jalan, mereka melihat sebuah poster Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un, basah karena hujan. Mereka memaksa kendaraan berhenti dan turun untuk menyelamatkan poster itu. "Kok, bisa Anda meletakkan jenderal kami di tempat semacam itu?" ucap salah seorang pemandu sorak kepada pemandu mereka. "Dia pantas dihormati. Kami tak tahan untuk hal semacam ini."
Tapi kehidupan pemandu sorak ini juga berisiko tinggi. Sedikit terpeleset, penjara menanti mereka. Lee Myeong-ho, bekas tahanan kamp konsentrasi Daeheung di Korea Utara yang membelot ke Cina pada 2006, mengaku melihat 21 perempuan ditahan di kamp itu sejak akhir 2005. "Kemudian aku tahu bahwa mereka adalah anggota tim pemandu sorak yang pernah pergi ke Korea Selatan," ujar Myeong-ho kepada surat kabar Korea Selatan, Chosun Ilbo.
Menurut rumor yang beredar, kata dia, mereka ditahan karena bercerita tentang apa yang mereka lihat di Korea Selatan. Pembelot lain, yang tak disebut namanya oleh Chosun Ilbo, mengatakan para pemandu sorak memang harus menandatangani surat perjanjian yang diberi cap 10 jari. Intinya, bila ke Korea Selatan, mereka harus berjuang sebagai tentara pimpinan Kim Jong-il, pemimpin Korea Utara saat itu. Ketika pulang, mereka tak boleh berbicara tentang apa yang mereka lihat dan dengar di Korea Selatan.
Hal ini tak pernah dibantah atau dibenarkan oleh Pyongyang. Namun pemerintah Korea Utara selalu menekankan bahwa mereka tak pernah melanggar hak asasi manusia. Tapi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengklaim bahwa negeri itu telah menyekap 200 ribu tahanan politik.
Bagaimanapun, para "tentara cantik" ini akan mempesona dunia. Simon Cockerell, pemimpin umum Koryo Tours di Cina yang sering berkunjung ke Korea Utara, memperkirakan para pemandu sorak itu akan membuat para atlet jadi kurang penting. "Media internasional akan berfokus pada mereka, seperti yang mereka lakukan sebelumnya, karena Korea Utara adalah sumber misteri, kecemasan, dan eksotisme- dan karena para gadis itu cantik," katanya.
Tapi Jepang mengingatkan negara-negara lain agar tidak buta terhadap "pesona serangan" Pyongyang belakangan ini, seperti kesediaannya untuk berdialog dengan Seoul dan kampanye reunifikasi. Maka orang mungkin menilai bahwa sanksi terhadap Korea Utara harus dicabut atau negeri itu harus diberi berbagai bantuan. "Jujur saja, pandangan seperti itu naif. Saya percaya bahwa Korea Utara hanya menunda waktu untuk melanjutkan program misil nuklirnya," ujar Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono.
Iwan Kurniawan (yonhap, Chosun Ilbo, The Guardian, Reuters, Bbc, Cri, Afp)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo