Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILIPINA
Pembredelan Rappler Dinilai Politis
PEMERINTAH Filipina menepis tudingan New York Times bahwa penutupan situs berita Rappler bermotif politik. Dalam suratnya kepada tim editorial New York Times, Rabu pekan lalu, Duta Besar Filipina untuk Amerika, Jose Manuel Romualdez, mengatakan keputusan Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) mencabut izin media itu pada 14 Januari lalu tidak ada pengaruh dari Presiden Rodrigo Duterte. "Mendorong adanya motivasi politik dalam kasus ini sangat merugikan Teresita Herbosa (Ketua SEC) dan institusi yang dipimpinnya," kata Romualdez, seperti diberitakan Rappler.
Editorial New York Times edisi 17 Januari mendesak dunia mengutuk "upaya pembungkaman suara independen" di Filipina dengan ditutupnya Rappler. Human Rights Watch dan Komisi Ahli Hukum Internasional juga mengecam keputusan SEC.
SEC mencabut izin Rappler setelah menganggap ada entitas asing dalam kepemilikan saham situs berita besutan Maria Ressa itu. Ressa, Kepala Eksekutif Rappler, membantah tudingan itu dan menyebut langkah tersebut bermotif politik. "Kami tahu ini hasutan pemerintah. Kami telah diserang secara online dan offline selama hampir satu setengah tahun," kata Ressa.
Sejak berdiri pada 2012, Rappler menjadi salah satu jaringan media online dan blog opini terbesar di Filipina. Ia juga punya kantor cabang di Jakarta. Sejak Duterte menjabat pada Mei 2016, Rappler selalu bersikap kritis. Mereka kerap menyoroti kampanye antinarkotik Duterte.
AMERIKA SERIKAT
Dokter Atlet Dihukum 175 Tahun Penjara
BEKAS dokter tim senam Amerika Serikat, Larry Nassar, divonis penjara hingga 175 tahun. Nassar dinyatakan terbukti melecehkan 160 perempuan atlet senam sepanjang kariernya. "Saya telah menandatangani surat kematian Anda," kata Rosemarie Aquilina, hakim Pengadilan Distrik Ingham, Michigan, seperti dikutip Reuters, Rabu pekan lalu.
Nassar, 54 tahun, pernah menjadi dokter tim senam Amerika dalam empat Olimpiade. Kasus yang menghebohkan ini pertama kali mencuat saat Rachael Denhollander, salah seorang korban, melayangkan tuduhan ke Nassar secara terbuka pada 2016.
SURIAH
Turki Gempur Pasukan Kurdi
TURKI kembali menggempur milisi Kurdi di dekat perbatasan Suriah. Sejak 20 Januari lalu, militer Turki melancarkan operasi "Ranting Zaitun" di Afrin, daerah di sebelah barat laut Suriah yang dikuasai pasukan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG).
Ankara menilai YPG merupakan organisasi teroris yang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Di mata pemerintah, PKK ibarat duri dalam daging karena telah melancarkan perlawanan terhadap Ankara selama puluhan tahun. "Organisasi-organisasi teroris itu terus menjadi ancaman bagi kami," kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, seperti diberitakan kantor berita Anadolu, Rabu pekan lalu.
Selain memicu ribuan warga Kurdi di Afrin mengungsi, serangan Turki menimbulkan ketegangan dengan Amerika Serikat. Apalagi Turki akan melanjutkan operasi ke Manbij, wilayah di timur Afrin yang juga dikuasai milisi Kurdi dan pernah mereka gempur pada 2016.
Dalam perang melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), milisi YPG merupakan sekutu terkuat militer Amerika. YPG juga bagian dari Pasukan Demokratik Suriah (SDF), aliansi pemberontak Suriah yang didukung Negeri Abang Sam. Dalam perang sipil di Suriah, Amerika ingin menjungkalkan Presiden Bashar al-Assad.
AFGANISTAN
Rentetan Teror Menyerang Kabul
SERANGKAIAN serangan teroris belum berhenti mengguncang Kabul, Afganistan. Serangan terbaru terjadi di Hotel Intercontinental, Sabtu dua pekan lalu. Milisi Taliban menyerang hotel mewah tersebut dan menewaskan sedikitnya 30 orang. Sebagian di antara para korban tewas adalah warga Amerika Serikat dan Ukraina. "Kami pastikan ada empat warga Amerika tewas dan dua terluka," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Heather Nauert, seperti dikutip Radio Free Europe.
Pada akhir Desember 2017, giliran milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang menyerang Kabul. Serangan bom di pusat kebudayaan Syiah itu menewaskan 41 orang dan melukai 80 lainnya. Sebelumnya, Taliban dan ISIS bergantian melancarkan serangan di kota tersebut.
Kabul menjadi tempat paling mematikan di Afganistan dalam beberapa bulan terakhir. Dua kelompok militan, Taliban dan ISIS, saling berebut pengaruh. "Taliban meningkatkan serangan, ISIS memperluas kehadirannya di negara itu," demikian diberitakan The Guardian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo