Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Tahun Politik

28 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUTAN "tahun politik" yang dilekatkan kepada tahun 2018 ternyata diterima secara luas. Atribusi itu muncul karena pada tahun ini akan digelar aneka peristiwa politik yang berpusat pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di 171 provinsi/kabupaten/kota. Namun sebutan itu membawa risiko tertentu. Ada simplikasi yang cukup berbahaya.

Untuk mengetahui bahaya di balik sebutan itu, lebih dulu perlu ditelusuri pola pikir yang melatarbelakangi kelahirannya. Setelah itu, kita dapat melacak kemungkinan-kemungkinan respons publik yang muncul akibatnya.

Secara morfologis, frasa "tahun politik" dibentuk dengan logika yang sama dengan "rumah tingkat". Penyebut mengasumsikan "tingkat" sebagai ciri paling penting dari rumah yang dirujuknya. Karena dianggap sebagai ciri terpenting, "tingkat" dijadikan penanda khas untuk membedakan rumah itu dengan rumah lainnya.

Sebangun dengan logika itu, peristiwa politik yang dijadwalkan pada 2018 juga dipandang (sebagian) pengguna bahasa sebagai peristiwa paling penting. Karena itulah ia dijadikan penanda khas untuk membedakan 2018 dengan tahun-tahun lain. Di sinilah muncul pertanyaan. Mengapa politik dianggap penting? Penting bagi siapa?

Arsip digital menunjukkan "tahun politik" lahir dari gagasan para analis politik. Atribusi itu menjadi terkenal karena direproduksi massal melalui media. Selain muncul dalam dialog di televisi, ia hadir menjadi wacana di surat kabar dan perbincangan di media sosial. Proses itu membuat penggunaannya makin luas sehingga "tahun politik" mungkin telah digunakan dalam ruang bincang pribadi yang lebih privat.

Analis yang mendesakkan "tahun politik" sebagai wacana publik berpikir bahwa peristiwa politik adalah peristiwa utama pada tahun ini. Peristiwa di bidang lain dianggap sebagai "partai tambahan" sehingga patut dikesampingkan. Inilah yang saya maksud sebagai simplikasi. Ada penyederhanaan yang keterlaluan karena kompleksitas peristiwa pada 2018 justru diabaikan.

Sebagai strategi tutur, menyebut 2018 sebagai tahun politik tampaknya wajar-wajar saja. "Tahun politik" berfungsi sebagai penanda. Bobot sebutan itu sama dengan frasa lain seperti air putih, coretan dinding, atau tisu basah. Tapi, karena pada "tahun politik" ada sengketa kepentingan, di situ ada persoalan yang patut mendapat perhatian.

Analis politik mungkin senang jika wacana "tahun politik" yang dilahirkannya diterima secara luas. Penerimaan demikian akan membuat gagasannya makin diminati dan ilmunya "laku". Ada banyak keuntungan sosial dan ekonomis yang bisa digali dari situ. Di sisi lain, pihak yang tak tertarik pada politik mungkin terganggu. Sebab, bagi dia atau kelompoknya, politik adalah urusan remeh. Di luar itu, ada banyak urusan yang lebih penting dan patut diperjuangkan.

Reproduksi "tahun politik" secara terus-menerus ternyata membawa risiko sosial yang riil. Sebutan itu akan membangkitkan ingatan kolektif publik bahwa politik dipenuhi kegaduhan dan ketegangan. Ingatan yang diperoleh berdasarkan pengalaman pada pemilihan presiden 2014 dan pemilihan Gubernur Jakarta 2017 itu melahirkan implikatur bahwa pada tahun ini akan terjadi kegaduhan yang serupa. Akibatnya, publik cenderung memprediksi bahwa tahun 2018 akan gaduh pula.

Dalam situasi inilah bahasa menemukan fungsinya bukan hanya sebagai penanda realitas, melainkan pembentuk realitas. Melalui frasa "tahun politik", analis dan media berusaha mendesakkan makna tertentu. Makna itu kemudian membentuk perilaku tertentu pula.

Filsuf semacam Wittgenstein (1921) percaya bahwa realitas subyektif dalam pikiran sangat ditentukan oleh kata-kata. Realitas pikiran bagaikan lukisan dan kata-kata adalah kuasnya. Jenis kuas dan teknik sapuan membentuk karakter lukisan sebagaimana kata-kata menciptakan realitas dunia bagi penutur bahasa.

Seorang pengusaha mungkin menunda rencana membuka perseroan karena menilai tahun 2018 bukan waktu yang cocok. Ia menduga tahun ini birokrasi tak akan bekerja dengan terfokus karena dipengaruhi dinamika politik. Daripada tak efisien menggunakan waktu dan energi, ia memutuskan baru membuka bisnisnya tahun depan.

Kemungkinan seperti itu terbuka dengan variasi yang tak terbatas jumlahnya. Karena itu, "tahun politik" sebagai wacana perlu ditandingi wacana lain. Organisasi pengusaha mungkin perlu menyebut 2018 sebagai tahun laba. Para petualang mungkin perlu menyebut tahun bahagia. Adapun para remaja sah-sah saja menyebut 2018 sebagai tahun asmara. Tahun 2018 bisa menjadi tahun apa saja bagi siapa saja. l

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang, Penulis Buku Politik Bahasa Penguasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus